Remisi, Hak Narapidana atau Dagangan?
Sungguh enak menjadi Tommy Soeharto. Dengan mulus, jalan tol di penjara telah dilewatinya sehingga putra bungsu mantan presiden Soeharto ini bisa menghirup udara bebas pada 30 Oktober, tanpa harus menyelesaikan hukuman 10 tahun penjara. Bila saja narapidana kasus pembunuhan Hakim Agung Syafiuddin Kartasasmita itu bukan Tommy, apakah remisi (potongan hukuman) juga deras mengucur dan pembebasan bersyarat diberikan?
Tommy bisa dibilang bernasib mujur. Di pengadilan negeri, mantan suami Tata ini divonis 15 tahun atas pembunuhan berencana, kepemilikan senjata ilegal, dan melarikan diri. Namun, ironisnya, majelis hakim peninjauan kembali di Mahkamah Agung, yang notabene adalah rekan Hakim Agung Syafiuddin, malah mendiskon vonisnya menjadi 10 tahun. Selama menjalani penahanan, Tommy dikabarkan menjadi anak emas karena sering kali bisa mendapatkan kemudahan menggunakan fasilitas mewah dan juga gampang keluar-masuk lembaga pemasyarakatan.
Kemujuran Tommy juga terkait dengan potongan pidana total 31 bulan. Dengan potongan ini, Tommy terhitung sudah menjalani dua pertiga masa pidana sehingga dia mendapat pembebasan bersyarat. Meski sudah bisa menghirup udara bebas, Tommy masih tersandung masalah hukum atas dugaan korupsi dalam proyek mobnas dan kasus lainnya. Namun, ini bergantung pada keberanian kejaksaan dalam mengusutnya.
Adanya perlakuan istimewa terhadap Tommy selama menjalani pidana itu memunculkan banyak tudingan adanya kongkalikong dengan aparat hukum. Namun, semua bisa dijawab oleh pihak Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia dengan berlindung di balik undang-undang yang memang memungkinkan pemberian remisi dan pembebasan bersyarat. Memang, pemberian hak-hak agar bisa keluar cepat dari penahanannya diatur dalam undang-undang, yaitu dalam UU Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan jo Keputusan Presiden Nomor 174 Tahun 1999 jo Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2006. Hak-hak itu meliputi remisi, asimilasi, pembebasan bersyarat, atau cuti menjelang bebas.
Remisi, asimilasi, pembebasan bersyarat, ataupun cuti menjelang bebas adalah hak setiap napi atau anak pidana. Namun, yang perlu dikritik saat ini adalah soal transparansi pemberian hak-hak itu. Setiap tahun pada 17 Agustus atau pada hari raya keagamaan, masyarakat selalu disuguhi statement dari pihak Departemen Hukum dan HAM bahwa ada sekian ribu jumlah napi yang mendapat remisi. Semua hanya soal kuantitas, tapi tidak diketahui kelayakan napi dalam penerimaan hak itu. Karena itu, publik hanya bisa meraba-raba. Begitu juga kelayakan pemberian remisi atau pembebasan bersyarat bagi seseorang bernama Tommy yang telah terlibat pembunuhan seorang hakim agung.
Faktor lain yang perlu dikritik adalah tidak adanya keterlibatan pihak eksternal dalam pemberian hak itu, baik dalam penilaian maupun sekadar pengecekan kelayakan. Akibatnya, hak-hak itu sangat rentan dijadikan dagangan bagi aparat LP atau rumah tahanan yang dititipi napi hingga pejabat di atasnya. Tentu masalah bisnis jual-beli hak ini susah pembuktiannya, karena ada simbiosis antara napi yang ingin keluar cepat dari penjara dan aparat yang kesejahteraannya minim.
Menurut prosedur, pemberian hak ini dimulai dengan adanya penilaian dari tim pengawas atau penilai yang merupakan orang dalam LP atau rutan, yang kemudian diajukan ke kepalanya. Yang dinilai oleh tim di antaranya apakah si napi berkelakuan baik untuk mendapatkan hak itu. Selanjutnya, terserah kepala LP atau rutan apakah mengajukan nama itu ke Direktorat Jenderal Pemasyarakatan. Ini juga membuat faktor subyektivitas penguasa tahanan berperan penting.
Adanya faktor pemberian hak dengan sistem berjenjang ini semangatnya adalah untuk meminimalkan permainan. Namun, kenyataannya sistem ini bisa disimpangkan. Misalnya saja dalam pemberian remisi kepada Rahardi Ramelan, terpidana kasus korupsi Bulog. Setelah peninjauan kembalinya ditolak, Rahardi mendatangi sendiri kejaksaan untuk menjalani hukuman pada 15 Agustus 2005 dan langsung masuk ke Cipinang. Anehnya, dua hari sesudahnya, pada 17 Agustus 2005, dia langsung mendapat remisi yang ditandatangani Hamid Awaludin. Proses itu tentu superkilat, bahkan tidak sesuai dengan aturan. Dalam Keppres Nomor 174 Tahun 1999 ataupun PP Nomor 28 Tahun 2006 ditegaskan bahwa napi atau anak pidana yang berhak mendapat remisi syaratnya berkelakuan baik selama di tahanan dan telah menjalani pidana 6 bulan.
Pemberian Remisi ini tentu juga menggelitik. Bila mengacu pada undang-undang, yang bisa mendapat remisi adalah napi yang sudah menjalani pidana minimal 6 bulan dan berkelakuan baik. Seharusnya, semua tahanan mempunyai hak yang sama dan diperlakukan sama seperti yang sudah dijamin oleh undang-undang. Bila melihat aturannya, sebenarnya sudah cukup terperinci. Sayangnya, tidak adanya keterlibatan faktor eksternal, kurangnya kesejahteraan aparat LP ataupun rutan, dan lemahnya kontrol bisa membuat hak napi rentan dijadikan dagangan. Untuk itu, perlu dipikirkan agar pelaksanaan pemberian hak ini memungkinkan pelibatan pihak eksternal.
Illian Deta Arta Sari, ANGGOTA STAF BIDANG HUKUM DAN MONITORING PERADILAN INDONESIA CORRUPTION WATCH
Tulisan ini disalin dari Koran Tempo, 1 November 2006