Remisi untuk Koruptor
Friday, 26 August 2016 - 00:00
Pemerintah melalui Kementerian Hukum dan HAM sedang membahas revisi PP No 99/2012 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan.
Upaya ini sebagai salah satu alternatif mengurai persoalan kelebihan kapasitas lembaga pemasyarakatan (lapas). Jika mengacu data yang tersaji dalam Sistem Database Pemasyarakatan, dapat dilihat bahwa per Juli 2016 total tahanan dan narapidana di lapas berjumlah 198.815 orang. Jumlah ini melebihi kapasitas normal yang hanya mampu menampung 118.969 orang.
Upaya merevisi PP No 99/ 2012 untuk mengurangi kelebihan kapasitas adalah kebijakan yang harus sepenuhnya didukung. Persoalan kelebihan kapasitas lapas adalah persoalan nyata dan butuh desain criminal policy yang integral. Namun, sayangnya, upaya revisi ini luput dalam melihat persoalan korupsi dan jalan panjang pemberantasannya.
Salah satu isu krusial dalam revisi PP No 99/2012 adalah terkait pelonggaran remisi bagi narapidana korupsi, narkoba, terorisme, kejahatan terhadap keamanan negara, kejahatan hak asasi manusia yang berat, serta kejahatan transnasional terorganisasi lainnya. Dalam hal ini, PP No 99/2012 memperketat syarat pemberian remisi bagi narapidana kejahatan luar biasa.
Untuk narapidana korupsi, misalnya, yang bersangkutan haruslah menyandang status justice collaborator(JC) atau pelaku yang bekerja sama dengan penegak hukum dalam membongkar kasus korupsi. Tanpa adanya status JC, pelaku atau narapidana kasus korupsi tidak berhak mendapatkan remisi atau pengurangan hukuman.
Pada prinsipnya, penanganan kasus korupsi harus dilakukan secara paripurna. Semua aktor yang terlibat harus diproses secara hukum dan mempertanggungjawabkan perbuatannya. Namun, pada praktiknya, upaya membongkar kasus korupsi yang bersifat kompleks dan rumit dalam pembuktian sering kali terganjal banyak hambatan. Karena itu, keberadaan JC menjadi penting sebagai salah satu pintu masuk membongkar kasus korupsi dan menjerat aktor yang terlibat.
Dalam konteks pemidanaan, kejahatan korupsi yang merupakan kejahatan luar biasa harus dihukum dengan hukuman yang berat. Remisi yang notabene adalah upaya mengurangi hukuman narapidana jelas tidak sejalan dengan semangat pemberatan pidana bagi pelaku korupsi. Karena itu, pengetatan remisi bagi narapidana korupsi menjadi sesuatu yang logis dilakukan. Pengetatan tersebut dikecualikan bagi narapidana yang mau bekerja sama dengan penegak hukum untuk membongkar kasus korupsi lebih luas.
Pengetatan pemberian remisi tidak menghapuskan hak mendapatkan pengurangan hukuman bagi narapidana korupsi. Pengetatan merupakan konsekuensi logis adanya perbedaan karakter jenis kejahatan yang dilakukan narapidana, perbedaan sifat berbahayanya kejahatan yang dilakukan, dan akibat yang ditimbulkan oleh tindak pidana yang dilakukan narapidana.
Hilangnya syarat JC
Rancangan perubahan PP No 99/2012 kenyataannya menghilangkan syarat status JC sebagai syarat penting diberikannya remisi bagi narapidana korupsi. Dengan kata lain, narapidana korupsi dapat dengan bebas menerima remisi seperti narapidana kasus kejahatan biasa lainnya.
Dihilangkannya syarat JC sebagai bagian dari kebijakan pengurangan kapasitas lapas merupakan usulan yang tak memiliki basis argumentasi yang jelas. Keterkaitan antara remisi dan kelebihan kapasitas pada prinsipnya tidak linear. Namun, pemerintah cenderung mengaitkannya dengan problem kepadatan lapas. Secara sederhana, pemberian remisi yang dipermudah akan memberikan dampak positif dengan berkurangnya jumlah narapidana di lapas.
Argumentasi tersebut dapat dibenarkan jika sasaran kebijakan ini adalah bagi narapidana yang terjerat kasus narkoba. Ini karena narapidana kasus narkoba merupakan narapidana dengan jumlah terbanyak. Karena itu, kebijakan dancriminal policy dalam upaya mengurangi kepadatan lapas haruslah menyentuh segmentasi dengan jumlah yang signifikan.
Dari data Sistem Database Pemasyarakatan dapat dilihat, mayoritas narapidana lapas adalah narapidana kasus narkoba. Per Juli 2016, ada 40.424 narapidana narkoba yang dikategorikan sebagai bandar/pengedar dan 20.469 narapidana narkoba yang dikategorikan sebagai pengguna. Total ada 60.893 narapidana kasus narkoba.
Sayangnya, kebijakan ini juga menyasar narapidana kejahatan korupsi, di mana jumlah narapidana kasus korupsi hanya 3.632 orang. Jumlah ini sangat kecil jika dibandingkan narapidana kasus narkoba. Jumlahnya yang kecil tentu tidak signifikan mengurangi kepadatan lapas. Dengan begitu, kebijakan pemerintah dalam revisi PP No 99/2012 menjadi salah sasaran.
Selain itu, dalam Laporan Tren Vonis Korupsi ICW sejak 2013 hingga Juni 2016, mayoritas pelaku korupsi hanya divonis pidana ringan. Kategori hukuman ringan yang paling banyak adalah hukuman 12 bulan hingga 18 bulan penjara. Hukuman pidana yang ringan plus pelonggaran pemberian remisi tentu tak akan memberi efek jera bagi pelaku. Selain itu juga tentu tidak sejalan dengan harapan publik yang menginginkan koruptor dihukum seberat-beratnya.
Rumusan pasal dalam revisi PP No 99/2012 haruslah mengecualikan pelonggaran pemberian remisi bagi narapidana kasus korupsi. Selain jumlahnya yang tak signifikan, keberadaan status JC masih diperlukan untuk membongkar kasus korupsi. Tanpa status JC sebagai syarat pemberian remisi, dikhawatirkan tak ada lagi pelaku yang mau bekerja sama dalam upaya membongkar kasus korupsi dan menjerat aktor-aktor lain.
Aradila Caesar Ifmani Idris, Peneliti Hukum Indonesia Corruption Watch
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 24 Agustus 2016, di halaman 7 dengan judul "Remisi untuk Koruptor".