Remunerasi Hakim Agung; Tidak Menjamin Bebas Korupsi
Setelah Perpres No 5/2008 yang memberikan jabatan baru Wamenlu (wakil menteri luar negeri) saat injury time masa pemerintahan SBY dinilai beberapa kalangan sebagai memboroskan, mulai 1 April 2008 kontroversi itu kembali terjadi. Kali ini, tunjangan di lingkungan Mahkamah Agung dan pengadilan tinggi naik sangat fantastis. Angka kenaikannya bahkan mencapai 300 persen.
Setelah Perpres No 5/2008 yang memberikan jabatan baru Wamenlu (wakil menteri luar negeri) saat injury time masa pemerintahan SBY dinilai beberapa kalangan sebagai memboroskan, mulai 1 April 2008 kontroversi itu kembali terjadi. Kali ini, tunjangan di lingkungan Mahkamah Agung dan pengadilan tinggi naik sangat fantastis. Angka kenaikannya bahkan mencapai 300 persen.
Dalam Perpres No 19/2008 tentang Kinerja Hakim dan Pegawai Negeri di Lingkungan MA dan Peradilan di Bawahnya disebutkan, besaran tunjangan untuk ketua MA Rp 31,1 juta dan wakil ketua MA Rp 25,8 juta. Sementara untuk ketua pengadilan tinggi Rp 13 juta, hakim biasa pengadilan tinggi Rp 10 juta, dan hakim pengadilan tinggi kelas II Rp 4,2 juta.
Dalam hal ini, yang perlu dicermati, kenaikan tersebut tidak termasuk gaji pokok. Perpres-perpres kontroversi itu tidak akan pernah bisa diakses masyarakat karena selama ini penyusunan dan publikasinya cenderung tertutup.
Oleh karena itu, wajar kalau beberapa pihak, terutama kalangan pegiat antikorupsi, menilai kenaikan tunjangan tersebut sangat berlebihan. Apa yang dituangkan dalam perpres itu senyatanya memang tidak kondusif dan terkesan mengabaikan ketentuan di atasnya.
Bukan karena disampaikan dalam waktu yang tidak tepat, yakni di saat krisis bahan pokok melanda tanah air, melainkan juga sifat perpres yang tidak mengikuti ketentuan UU No 17/2003 tentang Keuangan Negara.
Dalam Pasal 3 Ayat 1 UU Keuangan Negara jelas disebutkan, keuangan negara dikelola secara tertib, taat pada peraturan perundang-undangan, efisien, ekonomis, efektif, transparan, dan bertanggung jawab dengan memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan.
Di negara-negara yang sudah maju seperti Jepang dan China, remunerasi yang berarti tunjangan atau imbalan sudah menjadi hal yang biasa baik di kantor pemerintah maupun swasta. Alasan remunerasi tentu harus berdasar pertimbangan agar mereka bekerja lebih efisien dan maksimal sehingga memberikan out put yang setara pula.
Pada gilirannya, itu akan mencegah perilaku korupsi atau menyimpang lainnya. Intinya, tujuan remunerasi adalah membuat setiap pegawai berhasrat kerja tinggi karena yakin semakin efisien dan profesional, dia akan memperoleh imbalan yang tinggi pula.
Dalam konteks pemerintahan SBY, remunerasi di lingkungan MA dan PT tentunya bertujuan mewujudkan reformasi birokrasi dengan cara sistem penggajian jelas dan terbuka. Yang pada gilirannya, itu menghindarkan para wakil Tuhan di muka bumi dari berperilaku atau berbuat menyimpang. Yang menjadi pertanyaan, benarkah hakim-hakim kita telah bertindak dan bekerja dengan hasrat yang tinggi dalam menuntaskan berbagai kasus yang merugikan negara belakangan ini sehingga layak memperoleh imbalan yang pantas pula?
Seiring dengan masih banyaknya dijumpai putusan yang dalam pandangan pemerhati hukum dinilai tidak memenuhi rasa keadilan masyarakat dan begitu tingginya perkara yang belum terselesaikan di MA, tentu remunerasi itu mengundang setumpuk kontroversi.
Apakah itu bukan sebuah disorientasi pemahaman reformasi birokrasi, yang berarti lebih menyederhanakan proses yang bertele-tele pada birokrasi hukum dengan out put keadilan yang baik karena menjadi cepat dan murah.
Dalam pandangan hakim, remunerasi tersebut tentu tidak salah karena parameter hakim sekarang, kesejahteraan itu dinilai dari seberapa besar penghasilan seorang hakim sehingga dia menjadi hidup layak di tengah-tengah masyarakat yang serba mengukur keberhasilan seseorang dari kacamata kesuksesan materi.
Dalam kasus Jaksa Agung Muda Kemas Yahya -yang diduga memiliki rumah bernilai miliaran- untuk syukuran naik pangkat saja menghabiskan ratusan juta rupiah, padahal dia cuma punya gaji Rp 7 juta (Tempo, 24 Maret 2008).
Karena itu, terjawab sudah bahwa remunerasi di lingkungan birokrasi keadilan saat ini tidak identik dengan peningkatan mutu keadilan. Sebab, dengan gaji yang rendah, toh dia mampu membeli dan memiliki barang-barang mewah. Dalam eksaminasi BLBI, yang muncul justru tindakan konglomerat yang merugikan uang negara triliunan rupiah itu bukan tindak pidana korupsi.
Artinya, kalau toh model remunerasi itu diberlakukan di Indonesia dan diawali dari gaji hakim, sesungguhnya model itu hanya berlaku bagi pemberantasan korupsi kelas teri semacam Hakim PN Jakarta Selatan Herman Alesitondi yang dihukum karena memeras saksi Jamsostek. Atau tidak beda dengan seorang jaksa Urip Tri Gunawan yang ditangkap karena diduga menerima uang haram dari Arthalyta. Sementara perkara pokoknya, kasus korupsi triliunan rupiah yang dilakukan Samsul Nursalim, dianggap sudah selesai.
Memang tidak bisa disalahkan jika muncul pertanyaan ada apa di balik remunerasi hakim agung yang fantastis itu? Sebab, pemberantasan korupsi dari waktu ke waktu hanya sebatas pada retorika. Di sisi lain, terjadi pemandangan yang sangat tidak menyenangkan. Yakni, masyarakat antre beli minyak tanah, tidak mampu mengobatkan anaknya yang sakit, dan tidak bisa menyekolahkan anaknya. Bahkan, ada yang mati kelaparan karena membeli beras atau nasi aking sekalipun, mereka tidak mampu.
Ironis memang, Perpres tentang Remunerasi di Lingkungan MA dan Hakim Tinggi itu muncul justru pada saat ketimpangan sosial terjadi di mana-mana. Apakah kita memang telah mati rasa atas semua ketimpangan itu.
Perpres No 19/2008 akan sangat berarti bila telah dibarengi dengan peningkatan kinerja hakim yang ditandai dengan out put keadilan yang jauh lebih baik. Misalnya, koruptor BLBI dihukum mati atau dihukum seumur hidup. Bukan hukumannya dikorting seperti David Nusa Wijaya atau dibebaskan cukup dengan hitung-hitungan kertas seperti kasus Anthony Salim dan Samsul Nursalim.
Muhammad Taufiq SH MH, ketua Peradi (Perhimpunan Advokat Indonesia) Surakarta dan peserta training corporate governance di Tokyo, 19 Februari-2 Maret 2008
Tulisan ini disalin dari Jawa Pos, 10 April 2008