Rokhmin Dahuri Diperiksa; Statusnya Jadi Tersangka
Rokhmin Dahuri, Menteri Kelautan dan Perikanan pada masa pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri, diperiksa Komisi Pemberantasan Korupsi, Selasa (28/11). Rokhmin yang didampingi pengacaranya diperiksa bukan dalam kapasitas sebagai saksi melainkan sebagai tersangka.
Rokhmin, yang mengenakan batik berwarna kuning, terlihat wajahnya tegang. Ia menolak memberikan komentar tentang status dirinya yang sudah ditingkatkan sebagai tersangka. Rokhmin hanya menegaskan kalau pungutan 1 persen itu bukan atas perintah dirinya.
Kuasa hukumnya, Herman Kadir, juga menolak memberikan komentar tentang peningkatan status kliennya sebagai tersangka. Saya belum bisa komentar sekarang karena pemeriksaan belum selesai, ujar Herman.
Informasi yang diperoleh Kompas, status Rokhmin sudah ditingkatkan menjadi tersangka pada Selasa kemarin. Sehari sebelumnya, KPK telah menahan mantan Sekjen Departemen Kelautan dan Perikanan Andien H Taryoto dengan dugaan menjalankan perintah Rokhmin Dahuri untuk mengoordinasi dana tidak sah sebesar 1 persen dari dana dekonsentrasi, baik yang di pusat maupun yang ada di dinas-dinas di seluruh Indonesia.
Instruksi itu, menurut KPK, diberikan di sela-sela rapat kerja nasional (rakernas) tahun 2002 periode Maret-April agar Andien selaku sekjen memungut dana 1 persen itu. Dari periode 18 April 2002-23 Maret 2005 terkumpul dana Rp 15 miliar.
Rokhmin adalah anggota Kabinet Gotong Royong yang terjerat kasus korupsi. Sebelumnya, Menteri Agama Said Aqil Husin Al Munawar juga terjerat kasus korupsi. Selain kedua menteri, Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BPKM) Theo Toemion juga terkena kasus korupsi.
Vonis korupsi DKP
Secara terpisah, di Pengadilan Khusus Tindak Pidana Korupsi, majelis hakim yang dipimpin Kresna Menon memvonis dua pegawai Departemen Kelautan dan Perikanan Julles Fullope Pattiasina dan Dasirwan dengan pidana penjara empat tahun. Adapun rekanannya, Direktur Utama PT Tirta Kencana Wahana, divonis enam tahun penjara.
Dasirwan dan Julles diminta membayar uang yang mereka nikmati, yaitu masing-masing Rp 60 juta dan Rp 11,5 juta. Adapun Tirta yang disidangkan terpisah harus membayar uang pengganti sebesar Rp 2,5 miliar dan denda sebesar Rp 500 juta. (vin)
Sumber: Kompas, 29 November 2006