RPP Intersepsi; Pengaturan Penyadapan Seharusnya Dihentikan
Pemerintah diharapkan menghentikan penyusunan Rancangan Peraturan Pemerintah atau RPP tentang Penyadapan. Selain substansinya bermasalah, RPP itu menyalahi prosedur hukum. Jika pemerintah ingin mengatur penyadapan seharusnya dilakukan dengan undang-undang.
Pendapat itu disampaikan Direktur Pusat Kajian Antikorupsi (Pukat) Universitas Gadjah Mada Zainal Arifin Muchtar dan peneliti hukum Indonesia Corruption Watch (ICW), Febri Diansyah, di Jakarta, Rabu (16/12). ”Dalam negara hukum boleh saja ada lembaga independen yang tak dicampuri pemerintah. Keberadaan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dengan kewenangan penyadapannya itu boleh di mata hukum,” kata Zainal.
Zainal menambahkan, secara konstitusional, kewenangan KPK melakukan penyadapan juga dibenarkan UU. Mahkamah Konstitusi (MK), dalam dua putusannya tahun 2003 dan 2006, memerintahkan pengaturan kewenangan penyadapan dalam UU.
Febri menilai, substansi RPP Penyadapan dikhawatirkan dapat melemahkan KPK. ”Saat ini negara membutuhkan lembaga super untuk memberantas korupsi, termasuk mengawasi korupsi di lingkungan penegak hukum lain,” kata dia.
Secara terpisah, Rabu di Jakarta, Ketua MK Mahfud MD menyatakan, RPP Penyadapan yang mengatur izin penyadapan, subyek dan obyek penyadapan, tak dapat dibenarkan dari sudut ilmu perundang-undangan. Materi itu, sesuai konstitusi, harus diatur oleh UU.
Menurut Mahfud, RPP hanya diperbolehkan mengatur tentang mekanisme penyadapan. Izin pengadilan itu harus diatur dalam UU. (aik/ana)
Sumber: Kompas, 17 Desember 2009