RPP Penyadapan dan "Quango"
Usai sudah riuh rendah kontroversi kasus Wakil Ketua (nonaktif) Komisi Pemberantasan Korupsi Bibit Samad Rianto dan Chandra M Hamzah. Akal sehat publik berhasil menundukkan kejemawaan kejaksaan dan Polri.
Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan telah mengeluarkan surat ketetapan penghentian penuntutan perkara Bibit-Chandra yang diyakini publik sebagai bagian dari skenario besar pelemahan KPK.
Namun, ibarat film sekuel, skenario besar itu agaknya tidak tamat begitu saja. Cerita panjang masih terbentang di depannya. Setidaknya Indonesia Corruption Watch mengendus upaya pelemahan KPK lewat regulasi berupa Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Tata Cara Penyadapan. Jika RPP disahkan, KPK tidak bisa lagi bebas menggunakan kewenangan penyadapan yang selama ini menjadi salah satu kekuatan untuk menjerat koruptor (Kompas, 2/12/2009).
Masalahnya, sahihkah RPP menjadi pilihan pemerintah untuk mengatur materi muatan yang cenderung membatasi sebuah lembaga independen seperti KPK? Tidakkah ini menyalahi Pasal 3 UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK yang menegaskan, KPK adalah lembaga negara yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan mana pun? Jika demikian, salahkah publik memercayai adanya skenario besar pelemahan KPK lewat regulasi berupa RPP?
Materi muatan PP
PP merupakan instrumen hukum presiden untuk menjalankan undang-undang sebagaimana mestinya yang diakui Pasal 5 Ayat (2) UUD 1945. Kekuasaan presiden menetapkan peraturan pemerintah inilah yang disebut—meminjam istilah Prof Soepomo—sebagai kekuasaan membentuk peraturan selain undang-undang yang merupakan konsekuensi logis kedudukan presiden sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan.
Frase ”sebagaimana mestinya” itu ditafsirkan oleh penjelasan Pasal 10 UU No 10/2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dengan menegaskan, yang dimaksud dengan ”sebagaimana mestinya” adalah materi muatan yang diatur dalam PP tidak boleh menyimpang dari materi yang diatur dalam UU yang bersangkutan.
Dalam ilmu perundang-undangan, PP dapat merupakan (1) peraturan pelaksanaan yang berfungsi menyelenggarakan aneka ketentuan UU yang bersumber dari kewenangan delegasi; atau (2) peraturan otonom yang bersumber dari kewenangan atribusi (Maria Farida Indrati, 1998). Sederhananya, PP dapat ditetapkan baik atas maupun tanpa perintah UU sepanjang materi muatannya tidak menyimpang dari UU.
Sampai di sini, tidak menjadi masalah apakah RPP tentang Tata Cara Penyadapan diperintahkan oleh UU KPK atau tidak. Namun, beberapa ketentuan yang seharusnya menjadi materi muatan UU dipaksakan masuk ke dalamnya, seperti persyaratan penyadapan berupa harus adanya bukti permulaan cukup lebih dahulu, waktu maksimal izin penyadapan, bahkan birokratisasi penyadapan dengan membentuk Pusat Intersepsi Nasional. Itu semua menunjukkan, RPP dimaksudkan sebagai hukum formil yang akan menegakkan hukum materiil, termasuk yang mengatur wewenang penyadapan oleh KPK yang diatur dalam Pasal 12 Ayat (1) Huruf a UU KPK. Artinya, RPP itu secara tidak langsung menyejajarkan diri dengan UU KPK, sebuah irasionalitas politik hukum tak terkira.
Apalagi Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 006/PUU-I/2003 dan Nomor 012-016-019/PUU-IV/2006 telah mendudukkan posisi penyadapan dan perekaman pembicaraan sebagai pembatasan terhadap hak-hak asasi manusia, di mana pembatasan demikian hanya dapat dilakukan dengan undang-undang.
Mencederai kodrat ”quango”
Patut dicatat, dengan adanya RPP itu pemerintah lupa bahwa KPK adalah lembaga negara mandiri yang bersifat pendukung organ-organ negara utama yang membawa semangat kritis organisasi nonpemerintah (LSM). Karena itu, lembaga semacam ini termasuk ke dalam rumpun apa yang dikenal dengan istilah ”LSM semu” atau ”quango” yang merupakan akronim dari quasi-autonomous non-governmental organization.
Artinya, di satu sisi, KPK merupakan lembaga negara yang karena ”darurat korupsi” di Indonesia diinjeksikan fungsi, wewenang, dan tugas tertentu melalui UU sembari pada sisi lain menjadi agen penghubung masyarakat saat berhadapan dengan negara.
Karena itu, mengatur kewenangan ”quango” dengan RPP adalah cacat ketatanegaraan tak termaafkan dan mencederai kodrat ”quango” yang bersifat independen, berjarak dari lembaga lain apa pun, apalagi pemerintah.
Atau sekuel pelemahan KPK benar-benar sedang disiapkan?
A AHSIN THOHARIPengajar di Fakultas Hukum Universitas Trisakti, Jakarta
Tulisan ini disalin dari Kompas, 4 Desember 2009