RSBI Harus Dievaluasi
Peringatan Hari Pendidikan Nasional 2 Mei 2011, Koalisi Pendidikan mencatat ada sejumlah permasalahan yang hingga kini belum terpecahkan. Dua diantaranya yang paling mencuat, tidak meratanya akses dan mutu pendidikan, serta munculnya bibit radikalisme di sekolah.
Rintisan Sekolah Berstandar Internasional (RSBI) dinilai telah menciptakan kastanisasi pendidikan, karena menghambat akses masyarakat miskin untuk memperoleh pendidikan. Sekolah yang disebut-sebut bertaraf internasional yang ditandai dengan penggunaan Bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar pelajaran ini mensyaratkan biaya tinggi bagi siswa. "Sekolah bersikap komersil, dan melakukan diskriminasi karena hanya siswa kaya yang dapat masuk ke RSBI," ujar Retno Listyarti, anggota Koalisi Pendidikan yang juga guru SMA Negeri 13 Jakarta Utara, dalam jumpa pers di sekretariat ICW, Senin (2/4/2011).
Retno mengatakan, mahalnya biaya pendidikan di RSBI tidak selalu berbanding lurus dengan kualitas lulusannya. Pembelajaran di sekolah mengacu pada standar dan kurikulum luar negeri, yang berbeda dengan kondisi aktual di Indonesia. "RSBI menjauhkan siswa dari budaya bangsa," kata Retno.
Sistem pendidikan berstandar internasional ini juga dikritisi oleh Direktur Sekolah Tanpa Batas, Bambang Wisudo. Menurut Bambang, telah terjadi alienasi dalam pembelajaran. Siswa seakan dicerabut dari akar komunitasnya, dipaksa mempelajari hal-hal abstrak yang telah ditentukan oleh sistem pendidikan. Dinas Pendidikan melanggengkan sistem yang hegemonik, yang mengacu pada standar tunggal. "Bahkan, guru di kelas pun tidak memiliki otoritas untuk memilih bahan ajar dan menentukan kelulusan anak didik. Semua harus ikut pada satu sistem tunggal, yang sama untuk seluruh Indonesia," tukas Bambang.
Hegemoni dalam sistem pendidikan ini, menurut anggota Koalisi Pendidikan Lody Paat, memunculkan siswa yang tidak mampu bersikap kritis. Padahal, menurut Lody, ketajaman analisis dan daya kritis siswa sangat diperlukan untuk melawan paham radikalisme yang coba ditanamkan ke generasi muda. "Karena itu, tidak mengherankan kalau survei menyebutkan bibit radikalisme justru berkembang di sekolah," kata Lody.
Radikalisme
Bibit radikalisme berkembang di sekolah karena sistem pendidikan mengabaikan prinsip multikulturalisme. Retno menyebut, banyak guru yang bahkan tak memahami prinsip mutikulturalisme, dan memaksakan ideologi mayoritas kepada seluruh anggota komunitas sekolah. "Di sekolah publik, praktik-praktik seperti istighosah semalaman suntuk menjelang pelaksanaan ujian nasional terus saja terjadi. Atas nama mayoritas, akhirnya bibit radikalisme itu berkembang," tutur Retno.
Bambang menambahkan, pendidikan agama di Indonesia selama ini hanya menitik beratkan pada penanaman dogma dan tingkat keimanan, tanpa menyentuh aspek sosiologis dan kemasyarakatan. Akibatnya, pemahaman terhadap agama cenderung dogmatis dan tidak toleran. "Bahkan UU Sisdiknas melarang pendidikan tentang agama selain kepada penganutnya. Bagaimana siswa bisa menghormati pemeluk agama lain kalau mereka tidak mengetahui sistem nilai agama-agama tersebut?" tukas Bambang.
Tak ada jalan lain, kata Lody, para guru harus dibekali pemahaman mendalam mengenai multikulturalisme, agar tak menebar bibit radikalisme di kalangan anak muda. "LPTK harus bertanggung jawab mendidik guru yang memiliki semangat multikulturalisme," pungkas Lody. Farodlilah