Rugi Terus, Bisnis TNI Siap Dilepas; Hanya 10 dari 200-an Raih Laba
Dulu tidak mudah menelisik praktik bisnis TNI. Pengelolaannya yang tertutup menyulitkan publik yang ingin menjelajah wilayah bisnis korps baju hijau itu. Tapi, era reformasi mengubah semua. Menteri Pertahanan Juwono Sudarsono lebih terbuka mendiskursuskan wajah bisnis TNI.
Tentara Nasional Indonesia (TNI) tidak sekadar menjadi aktor utama pertahanan dan keamanan negara. Sisi lain TNI yang tidak banyak terungkap secara terbuka ke publik adalah kemampuannya merambah wilayah bisnis. Mesin bisnis TNI yang sudah beroperasi puluhan tahun itu sedikit banyak membantu menjaga dapur prajurit TNI tetap mengepul.
Sayangnya, dalam mengelola bisnis itu, TNI tidak dilengkapi kemampuan manajerial yang baik. Buktinya, banyak entitas bisnis milik TNI yang makin keropos dan tak mampu lagi mengeruk laba.
Kalau sudah begitu, haruskah TNI mempertahankan bisnisnya? Kalau dilego, bisakah APBN memenuhi anggaran militer TNI? Menteri Pertahanan Juwono Sudarsono sendiri masih pusing memberikan jawaban.
Menurut Juwono, sejak 1952, negara tidak pernah mampu memenuhi anggaran militer. Selain itu, negara juga belum mampu memberikan gaji prajurit TNI sehingga mereka bisa hidup layak. Karena itu, Yayasan Markas Besar ABRI (Yamabri) menjadi mesin pendulang uang yang bisa menutup kelemahan itu.
Persoalan yang muncul kemudian adalah terlalu jauhnya keterlibatan militer dalam dunia bisnis. Akibatnya, kinerja dan profesionalitas mereka sebagai alat pertahanan dan keamanan negara menurun. Ini yang terus kita evaluasi, kata Menhan.
Berdasar data yang tercatat, TNI memiliki 219 unit bisnis. Yang menyedihkan, di antara jumlah itu, hanya sepuluh unit yang mampu meraih laba. Sisanya berat untuk dipertahankan. Karena buruknya manajemen unit usaha TNI, saya memprediksi tak lebih dari 10 unit yang bisa bertahan dalam kondisi sehat, kata Juwono.
Di antara 200 lebih unit usaha itu, disebut-sebut yang terbanyak milik Angkatan Darat. Benarkah? Panglima Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Kostrad) Letnan Jenderal Hadi Waluyo membantah. Menurut Hadi, kesatuannya hanya memilih tiga bidang usaha bisnis.
Tiga bidang usaha milik Kostrad itu adalah PT Mandala Airlines (dengan kepemilikan 100 persen saham), PT Bandar Mandala Cargo (25 persen), dan Rumah Sakit Dharma Medika. Kalau zaman dulu, TNI AD bisa memiliki berbagai usaha, tetapi kini tidak mungkin lagi. Sudah ada peraturan yang mengaturnya, papar Hadi.
Regulasi yang dimaksud Hadi adalah UU No. 34 Tahun 2004 tentang TNI. Dalam pasal 76 ayat 1 ditegaskan bahwa dalam waktu lima tahun sejak berlakunya UU tersebut (16 Oktober 2004), pemerintah harus mengambil alih seluruh aktivitas bisnis yang dimiliki dan dikelola oleh TNI, baik secara langsung maupun tidak langsung.
Langkah itu sungguh patut didukung. Apalagi, kebanyakan unit usaha TNI berasal dari nasionalisasi perusahaan Belanda, Amerika, dan Inggris, pada 1945, 1964, dan 1965. Mereka bergerak di bidang perkebunan, pertambangan, transportasi, hingga perbankan. Pengelolaan berbagai unit usaha besar tersebut diserahkan kepada TNI oleh Presiden Soekarno dengan tujuan mendapatkan dukungan politis.
Berbagai unit usaha tersebut berkembang pesat pada masa Soeharto. Beberapa nama yayasan yang sering disebut-sebut, antara lain, Yayasan Eka Paksi, Yayasan Dharma Putra Kostrad, dan Yamabri. Masing-masing diketahui membawahkan ratusan unit usaha, mulai yang berskala kecil hingga yang beraset miliaran rupiah. Semua pernah digenggam TNI-AD.
Bagaimana kesatuan yang lain, seperti AL dan AU. Sama saja. Kondisi keuangan unit usaha AL juga tidak lebih baik daripada AD. Menurut peneliti dari The Ridep Institute M. Nurhasim, sebagian besar bisnis AL berbentuk yayasan dan koperasi.
Di antara 29 unit usaha milik Yayasan TNI AL yang berorientasi bisnis, yang sudah dijual 16 unit. Saat ini ada enam aset lagi yang masuk daftar lego. Diperkirakan hanya empat unit yang akan dipertahankan. Selain 29 unit usaha itu, AL melalui Yayasan Bhumyamca juga memiliki 36 perusahaan yang beroperasi di sektor usaha. Antara lain, Perusahaan Jala Bhakti Yasbhum Holding Company, Pelayaran Admiral Lines, Trisila Laut (transportasi penyeberangan dengan 32 feri), Yala Mina Yashburn (perikanan), Yala Gada (perdagangan umum), EMKL Yala Gita Dwi (kargo laut), Bhumyamca Sekawan (kawasan industri Cilandak dan properti), Yala Trada (perdagangan umum), Sekolah Hang Tuah (pendidikan).
Begitu juga AU. Unit usaha kesatuan ini yang dikelola Yayasan TNI-AU Adi Upaya dan unit-unit usaha di bawah Induk Koperasi TNI-AU juga harus direstrukturisasi. Sebenarnya, semua unit usaha TNI-AU tidak terlalu sakit. Tapi, juga tidak terlalu sehat. Yang jelas, kami siap menyerahkan hasil inventarisasi bisnis kami ke Departemen Pertahanan, ujar Kepala Dinas Penerangan TNI-AU Marsekal Muda Sagom Tamboen.
AD, AU, maupun AL kini memang harus siap memverifikasi aset bisnisnya. Dengan begitu, jika nanti diserahkan ke pemerintah melalui Dephan, tidak terlalu ambrol posisi finansialnya. Beberapa kesatuan seperti Kostrad bahkan selangkah lebih maju dan sudah siap mendivestasi Mandala Airlines-nya ke investor strategis.
Pangkostrad Hadi Waluyo juga mengakui bahwa sejak lima tahun terakhir, Mandala rugi. Bahkan, operasi bisnis penerbangan tersebut mendapat subsisi dari Yayasan Dharma Putra Kostrad. Jadi, sekarang ini kita sedang mengupayakan penyelamatan Mandala, jelasnya.
Yang jelas, banyak pihak sepakat bisnis TNI harus ditertibkan. Amanat UU 34/2004 yang mengatur penertiban bisnis militer juga telah direspons positif oleh Panglima TNI Jenderal Endriartono Sutarto. Bahkan, panglima mematok waktu dua tahun untuk menyelesaikan proses penertiban tersebut. Kalau dalam UU-nya, diberi waktu lima tahun. Saya yakin hanya dalam waktu dua tahun akan selesai, tegasnya dalam suatu kesempatan.
Hal itu dibuktikan dengan penyerahan daftar unit usaha milik TNI pada 27 September 2005. Ada 219 unit usaha di daftar tersebut. Menurut Menhan, langkah awal yang akan dilakukan adalah verifikasi terhadap keberadaan unit usaha tersebut.
Empat departemen terkait, yakni Dephan, Kementerian BUMN, Depkumham, dan Depkeu, sedang bekerja bersama untuk mencari formulasi baru terbaik bagi bisnis militer yang akan dikelola oleh pemerintah untuk pengembangan kekuatan pertahanan dan kesejahteraan tentara itu. Untuk tahap pertama, empat departemen tersebut telah menyerahkan kewenangan verifikasi unit usaha TNI kepada PT Bahana dan PT Danareksa. Juwono yakin seluruh proses penertiban bisnis TNI itu bisa diselesaikan pada 2007. Kita lihat saja. (candra kurnia h.)
Sumber: Jawa Pos, 21 November 2005