Rumah Sakit Arogan Dan Antikritik, Pasien Bisa Alami Kematian!
Press Release
Rumah Sakit jangan arogan dan antikritik menghadapi keluhan pasien miskin. Sikap ini dikhawatirkan akan merugikan rumah sakit dan pasien miskin. Rumah sakit akan kehilangan informasi penting dari keluhan pasien miskin untuk meningkatkan mutu pelayanannya. Selain itu, pasien juga gagal mendapatkan hak layanan kesehatan bermutu, semakin menderita dan mungkin berujung kematian karena pihak rumah sakit enggan menangani penyakit pasien.
Respons pihak rumah sakit akhir-akhir ini terkait keluhan pasien miskin cenderung bias dan kurang bijaksana. Pengelola rumah sakit cenderung defensif dan menyalahkan pasien yang mengungkapkan keluhan pelayanan rumah sakit pada publik. Pasien miskin yang berani mengungkapkan keluhan pelayanan rumah sakit justru diperlakukan diskriminatif, diabaikan dan dipersulit dalam pelayanan rumah sakit.
Masalah ini dialami oleh dua pasien miskin pemegang kartu Jamkesmas dan SKTM, Aswanah dan Asmiah, yang memberikan testimoni pelayanan rumah sakit dihadapan tiga pejabat Kemenkes. Pasca testimoni, dua pasien miskin ini ternyata belum mendapatkan perawatan dan tindakan signifikan dari pihak RSUD Tangerang. Sebaliknya, dua pasien ini diduga mendapatkan informasi bias tentang penyakit dan pelayanan rumah sakit. Informasi tersebut antara lain seperti, “mata pasien akan buta kalau operasi tetap dilakukan” atau “RSUD Tangerang tak mampu mengoperasi mata Aswanah dan harus menunggu dokter ahli dari Jakarta”.
Begitu juga dengan Asmiah yang akhirnya dirujuk ke RSCM. Pihak RSUD Tangerang menyatakan bahwa “peralatan medis rumah sakit tak lengkap dan dokter tidak mampu mengoperasi penyakit Asmiah”.
Hal ini telah menimbulkan pertanyaan, mengapa RSUD Tangerang tiba-tiba terkesan enggan menangani Aswanah dan Asmiah? Bukankah ketika kunjungan pertama bulan november 2009, RSUD Tangerang sudah siap mengoperasi mata Aswanah dengan menyatakan syarat uang operasi Rp 20 juta? Apakah RSUD Tangerang benar-benar tak memiliki peralatan medis dan dokter yang memadai untuk mengoperasi penyakit Asmiah ? inilah pertanyaan yang muncul terkait pelayanan rumah sakit pasca pengungkapan keluhan pasien miskin pada publik.
Keluhan Pasien = Emas
Keluhan merupakan salah satu hak pasien yang dijamin oleh UU No 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit. Dalam pasal 32 point r dengan tegas ditetapkan bahwa pasien dapat mengeluhkan pelayanan rumah sakit melalu media cetak dan elektronik. Bahkan, pasien juga dapat menggugat dan menuntut rumah sakit apabila rumah sakit diduga memberikan pelayanan tidak sesuai standar.
Selain itu, dalam undang-undang ini juga dinyatakan bahwa rumah sakit berkewajiban untuk memberikan informasi yang benar tentang pelayanan rumah sakit (pasal 29 ayat (1) point a).
Namun demikian, mengapa pasien masih menghadapi kendala mendapatkan pelayanan kesehatan rumah sakit? Apakah pelayanan rumah sakit harus didapatkan setelah pasien miskin harus menderita penyakit lebih parah lagi dan terkadang menemui ajal agar rumah sakit mau memberikan pelayanannya?
Kejadian yang dialami oleh dua pasien miskin di RSUD Tangerang ini merupakan gunung es diantara kasus lain yang menimpa pasien rumah sakit. Para pasien miskin ini mengalami ketakutan ketika berhadapan dengan buruknya pelayanan rumah sakit. Mereka khawatir pengungkapan keluhan tersebut akan berdampak terhadap pelayanan yang akan diterimanya. Masalah ini tak boleh dibiarkan berlarut-larut. Pembungkaman suara pasien miskin melalui diskriminasi, pengabaian dan mempersulit pelayanan akan memperburuk citra pelayanan rumah sakit di Indonesia. Pembangunan kesehatan Indonesia tak akan tercapai
Gubernur DKI Seharusnya Melindungi Warga Miskin Dan Bukan Mengancamnya
Pernyataan Gubernur DKI Jakarta yang mengancam pencabutan jaminan kesehatan warga miskin perokok patut disesalkan. Pernyataan ini terlalu menyudutkan warga miskin perokok, seakan-akan kebiasaan buruk merokok hanya disebabkan karena faktor individual. Gubernur DKI seharusnya melihat masalah lebih dalam. Kebiasaan merokok sebenarnya juga disebabkan karena kebijakan dan sikap Pemprov DKI Jakarta yang tidak tegas terhadap perusahaan rokok di wilayah DKI Jakarta. Pemprov DKI masih membiarkan perusahaan rokok beroperasi di kota DKI Jakarta dan juga menerima pendapatan cukai rokok dalam APBD dan juga yang berasal dari APBN.
Oleh karena itu, kalau Pemprov DKI Jakarta sungguh-sungguh melindungi warganya dari bahaya merokok maka harus berani melarang kehadiran perusahaan rokok didalam kota Jakarta. Bahkan, Pemprov DKI Jakarta juga harus berani menolak pendapatan cukai rokok yang diterima langsung APBD DKI Jakarta atau yang berasal dari pemerintah pusat tersebut.
Oleh karena itu, kami merekomendasikan hal-hal berikut :
- Menuntut pihak rumah sakit untuk bersikap bijak dan proporsional terhadap pasien terutama pasien miskin yang mengungkapkan keluhan pelayanan rumah sakit pada publik.
- Kemenkes menurunkan tim dokter untuk menguji informasi penyakit dan pelayanan yang disampaikan pihak RSUD Tangerang pada dua pasien, Aswanah dan Asmiah dan memberikan perkembangan kerja tim pada pasien dan publik.
- Jika informasi RSUD Tangerang tentang penyakit dan pelayanan pada dua pasien terbukti keliru, maka Kemenkes harus segera menjatuhkan sanksi berupa penghentian program Kemenkes dengan RSUD Tangerang atau sanksi sesuai dengan UU No. 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit
- Kemenkes serius dan sungguh-sungguh menjalankan UU No 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit terutama terkait dengan keluhan pasien dengan membentuk BPRS (Badan Pengawas Rumah Sakit). Badan ini diharapkan dapat menjadi penampung keluhan pasien, menguji informasi yang diterima pasien dari pihak rumah sakit serta melakukan mediasi kepentingan pasien dengan pihak rumah sakit.
- Gubernur DKI Jakarta segera menghapus pendapatan APBD yang berasal dari cukai rokok dan melarang operasi perusahaan rokok di wilayah DKI Jakarta.
Jakarta 23 Februari 2010
Febri Hendri A.A, Peneliti Senior ICW (087877681261)
Ratna Kusumaningsih, Peneliti Kesehatan ICW (081390294533)
Yaya, Pendamping pasien Aswanah dan Asmiah (081382980611)