RUU MA; DPR Didesak Memuat Pasal Audit Biaya Perkara

Staf khusus Presiden bidang hukum, Denny Indrayana, mendesak agar soal audit biaya perkara dimasukkan dalam draf revisi undang-undang.

Ketua Badan Pemeriksa Keuangan Anwar Nasution menyesalkan Dewan Perwakilan Rakyat yang tidak memuat secara eksplisit ihwal audit biaya perkara dalam draf revisi Undang-Undang Mahkamah Agung. Draf tersebut juga tidak menyebutkan kewenangan BPK mengaudit biaya perkara. "Kok, DPR membolehkan? Kan dia yang punya hak bujet?" kata Anwar kepada Tempo di Jakarta kemarin.

Anwar berpendapat Dewan mestinya mendukung klausul tersebut dan BPK diberi keleluasaan memeriksa biaya perkara di Mahkamah Agung. Tujuannya, agar tercipta transparansi dan akuntabilitas pelayanan publik. "DPR kan studi banding ke mana-mana. Di Malaysia, Australia, dan negara lain, semua boleh diperiksa BPK."

Pemeriksaan biaya perkara sampai sekarang memang masih menjadi polemik. BPK ingin memeriksa sebagai bagian dari tugasnya melakukan audit terhadap penyelenggaraan negara. Sedangkan MA kukuh menolak.

Anggota Panitia Kerja Revisi Undang-Undang Mahkamah Agung, Eva Kusuma Sundari, mengakui pasal tersebut memang tak dicantumkan secara eksplisit dalam draf revisi undang-undang. "Namun, secara implisit ada," ujarnya (Koran Tempo, 15 Oktober).

Staf khusus Presiden bidang hukum, Denny Indrayana, mendesak agar soal audit biaya perkara dimasukkan dalam draf revisi undang-undang. "Itu sesuai dengan prinsip peradilan Mahkamah Agung yang bersih dan berwibawa," kata dia.

Menurut dia, semua yang terkait dengan pengelolaan uang dan digunakan Mahkamah Agung harus diaudit. "Justru aneh kalau tidak diaudit," ujarnya. Dia berpendapat BPK mempunyai kompetensi mengaudit segala masalah finansial di Mahkamah Agung.

Senada dengan Denny, peneliti bidang hukum dari Indonesia Corruption Watch (ICW), Febridiansyah, menegaskan semua uang yang dikelola Mahkamah Agung harus diaudit BPK. Menurut dia, Mahkamah Agung tak punya alasan menutupinya. "Sangat perlu diatur, karena selama ini tidak ada institusi yang dapat melakukan (audit)."

Febridiansyah mengatakan Mahkamah Agung harus tunduk pada Pasal 2 huruf (a) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Pasal ini menyebutkan uang pihak ketiga yang dikelola negara tetap merupakan uang negara. “Sehingga BPK berwenang mengaudit semua uang pihak ketiga yang dikelola Mahkamah Agung.” HERU TRIYONO | GUNANTO S | MARIA HASUGIAN

Sumber: Koran Tempo, 16 Oktober 2008

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan