RUU Pelayanan Publik Masih Bias; Belum Mengatur Akses Masyarakat
Materi Rancangan Undang-Undang mengenai Pelayanan Publik dinilai masih bias kepentingan birokrat. Karena, tercantum larangan bagi aparat penyelenggara pelayanan publik membocorkan informasi atau dokumen yang menurut peraturan perundang-undangan wajib dirahasiakan.
Sebaliknya, di dalam RUU itu belum ada ketentuan tegas mengenai kewajiban aparat untuk membuka akses bagi publik memperoleh informasi.
Koordinator Lobi Koalisi untuk Kebebasan Informasi Agus Sudibyo di Jakarta, Selasa (13/12), menilai ketentuan tersebut menjadi sangat bias ketika tak ada imbangan terhadap kepentingan yang lebih besar. Sepanjang tidak ada batasan tegas soal informasi mana yang berhak diperoleh publik dan yang menjadi rahasia, selama itu pula ketentuan tersebut bisa dimainkan demi kepentingan birokrat. Mestinya kedua-duanya diatur jelas. Ada larangan, ada kewajiban, kata Agus.
Menurut dia, ketentuan tersebut lemah. Definisi rahasia negara tidak spesifik, soal kerahasiaan tidak disertai dengan batasan waktu, dan tidak jelas siapa yang berhak mengklaim sebuah informasi bersifat rahasia. Kalau seperti itu, birokrat bisa menentukan sendiri batasan rahasia itu sesuai dengan kepentingannya sendiri, kata Agus yang mengharapkan dibukanya partisipasi publik atas RUU tersebut.
Sebelumnya, anggota Komisi II DPR, RB Suryama Majana, mengingatkan potensi konflik akibat ketentuan dalam draf RUU tersebut terkait dengan soal pengawasan masyarakat. Disebutkan dalam draf tersebut bahwa pengawasan penyelenggaraan pelayanan publik antara lain dilakukan oleh lembaga swadaya masyarakat (LSM). Sementara pada bagian penyelesaian sengketa pelayanan publik, gugatan atau tuntutan masyarakat antara lain dilakukan oleh LSM yang memenuhi syarat, yaitu berbentuk badan hukum dan dalam anggaran dasarnya menyebutkan dengan tegas tujuan organisasi itu adalah untuk melindungi kepentingan masyarakat di bidang pelayanan publik.
Akses masyarakat
Dosen FISIP UI Roy V Salomo dalam diskusi tentang RUU Pelayanan Publik dan Upaya Menjawab Permasalahan Pelayanan Publik di Jakarta, kemarin, mengatakan, paradigma yang dipakai dalam pembuatan RUU Pelayanan Publik masih belum jelas. Tak heran, lanjutnya, kalau definisi yang dipakai untuk menjelaskan apa yang dimaksud dengan pelayanan publik masih belum tepat.
Selain itu, kata Roy, RUU ini juga belum banyak mengatur tentang akses masyarakat pada pelayanan publik.
Hal ini disampaikan dalam diskusi yang diselenggarakan Jaringan Advokasi RUU Pelayanan Publik. Sebagai pembicara antara lain Deputi Bidang Pelayanan Publik Kementerian Negara Pendayagunaan Aparatur Negara Cerdas Taban dan dr Kartono Mohamad (Koalisi untuk Indonesia Sehat).
Persoalan perluasan akses masyarakat ini merupakan hal terpenting. Pasalnya, masyarakat bawah sering kali dilupakan, ujar Roy yang menjelaskan bahwa RUU Pelayanan Publik juga belum mengatur tentang prosedur complain dari masyarakat jika pelayanan itu tak sesuai dengan janji yang diberikan.
Cerdas mengatakan, yang termasuk dalam ruang lingkup RUU Pelayanan Publik, pelakunya terbatas pada lembaga pemerintah atau lembaga yang dibentuk pemerintah. Jadi, kalau dia swasta mungkin dikenai aturan yang ada dalam perlindungan konsumen, ujar Cerdas yang menjelaskan bahwa RUU Pelayanan Publik ini diharapkan bisa menjadi pelengkap undang-undang sektoral yang sudah ada. (DIK/MAM)
Sumber: Kompas, 14 Desember 2005