RUU Pengadilan Tipikor

Korupsi di Indonesia kian merebak, hampir ke semua lini dan lembaga, meski upaya pemberantasannya sudah dilakukan sejak tahun 1960-an.

Maka pers asing selalu menjuluki Indonesia sebagai the sick man of Asia karena korupsi telah menggurita ke berbagai sektor pembangunan.

Kini, ketika Presiden Yudhoyono memimpin negeri ini, ia mempunyai obsesi kuat untuk memberantas korupsi. Oleh karena itu, persoalan yang perlu segera ditangani adalah, pertama, RUU Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor). Pembuatan RUU Tipikor harus secepatnya dalam menyiapkan hakim spesifik yang profesional. Kedua, meniadakan ketentuan izin Presiden bagi pejabat negara yang korup.

Profesional
Keberhasilan penyelesaian perkara korupsi memerlukan penanganan profesional dan spesifik melalui Pengadilan Tipikor. Pertimbangan perlunya Pengadilan Tipikor sesuai dengan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 012016-019/PUU-IV/2006 yang memerintahkan pembentukan UU Pengadilan Tipikor dalam waktu selambat-lambatnya tiga tahun, sebagai pengganti ketentuan Pasal 53 UU No 30/2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Pasal 53 menentukan, dengan UU ini, dibentuk Pengadilan Tipikor yang bertugas dan berwenang memeriksa dan memutus tindak pidana korupsi yang penuntutannya dilakukan KPK.

Pengadilan Tipikor bertujuan menciptakan penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme. Sejauh ini banyak kalangan menilai hakim yang menangani perkara korupsi di pengadilan konvensional kurang berhasil karena masalah integritas. Diharapkan Pengadilan Tipikor menyiapkan hakim-hakim profesional, independen, dan imparsial.

Patut diakui, keberhasilan penyelesaian kasus korupsi oleh Pengadilan Tipikor karena selama ini tak satu pun yang membebaskan koruptor dari ancaman hukuman. Ini merupakan bukti keseriusan para hakim.

Dualisme penanganan korupsi oleh pengadilan umum dan Pengadilan Tipikor selama ini mengakibatkan belum efektifnya penegakan hukum. Kewenangan Pengadilan Tipikor mengadili perkara korupsi yang dituntut jaksa penuntut umum dari KPK, sedangkan terdakwa kasus korupsi yang dituntut jaksa penuntut umum dari kejaksaan diadili di pengadilan umum.

Untuk itu, pemerintah diharapkan secepatnya mengajukan RUU Pengadilan Tipikor yang diberi kompetensi menyelesaikan semua perkara korupsi dengan alasan, agar penanganan korupsi terkonsentrasi dan menjadi kompetensi Pengadilan Tipikor.

Menurut Pasal 11 UU No 30/2002, KPK berwenang menyelidiki, menyidik, dan menuntut tindak pidana korupsi yang melibatkan penegak hukum, penyelenggara negara, tindak pidana korupsi yang mendapat perhatian dan meresahkan masyarakat serta menimbulkan kerugian negara paling sedikit Rp 1 miliar. Namun, dalam RUU tentang Pengadilan Tipikor, wewenang KPK perlu diperluas sehingga mencakup seluruh kategori perkara korupsi, mulai dari kerugian negara dalam jumlah kecil hingga kerugian besar.

Kedua, hakim Pengadilan Tipikor yang juga bagian pengadilan umum dilatih secara khusus sehingga memiliki kemampuan andal, mandiri, dan imparsial dalam menjalankan tugas.

Izin Presiden
Ketentuan tentang izin Presiden untuk memeriksa pejabat negara yang terlibat korupsi selama ini menghambat efektivitas penanganan perkara korupsi dan pencegahannya. Pasal 106 UU No 22/2003 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD, dan DPRD serta Pasal 36 UU No 32/ 2004 tentang Pemerintahan Daerah sama-sama mengatur izin pemeriksaan pejabat negara.

Dari perspektif hukum pemerintahan, hakikat izin sebagai salah satu bentuk pengawasan preventif guna mencegah pelanggaran hukum. Oleh karena itu, izin pemeriksaan pejabat negara yang diduga korup sama dengan melindungi koruptor secara normatif. Izin Presiden atas permintaan penyidik, sesuai Pasal 36 Ayat (1) UU No 32/2004, dalam kasus tertentu berpeluang disalahgunakan penyidik melindungi koruptor dengan dalih masih menunggu izin Presiden. Padahal mungkin saja permohonan ke Presiden tak pernah dikirim.

Diskriminasi
Izin pemeriksaan pejabat negara membuktikan perlakuan diskriminatif dan mengabaikan asas persamaan di muka hukum antara pejabat negara dan pegawai negeri lain yang terlibat korupsi. Persamaan merupakan salah satu HAM sipil yang berkarakter absolut sehingga tidak boleh dilanggar oleh siapa pun sesuai dengan Pasal 28 D UUD 1945 yo Pasal 4 UU No 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia.

Dalam politik legislasi, guna menciptakan hukum responsif sesuai dengan tuntutan dan harapan masyarakat, ketentuan tentang izin Presiden dalam hukum positif perlu dicabut. Izin Presiden dapat diganti pemberitahuan tertulis penyidik ke pejabat terkait secara hierarkis sampai Presiden sebagai laporan.

Laporan itu guna mengawasi pemeriksaan pejabat negara yang diduga korup. Maka, pengawasan pemerintah perlu ditingkatkan kendati masyarakat masih meragukan obyektivitas pengawasan badan pengawas daerah mengingat pejabatnya diangkat kepala daerah.

Selain itu, perlu dibuka kembali file korupsi di daerah-daerah dalam menciptakan pemerintahan yang bersih dengan cara, pertama, menggelar kembali kasus korupsi di daerah yang masih mengendap.

Kedua, kepala daerah yang menyalahgunakan wewenang karena bagi-bagi proyek dengan cara penunjukan langsung perlu diproses secepatnya.

YOHANES USFUNAN Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Udayana, Bali

Tulisan ini disalin dari Kompas, 25 Juli 2007

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan