RUU Rahasia Negara; Tampaknya Perlu Dialog dengan Masyarakat Pers
Dibutuhkan dialog lebih lanjut dengan masyarakat pers untuk membahas Rancangan Undang-Undang tentang Rahasia Negara. RUU itu bisa kontraproduktif terhadap proses demokratisasi yang tengah berjalan.
Ketua Umum Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Pusat Margiono, Senin (14/9) di Jakarta, mengakui, sebelum RUU Rahasia Negara, UU Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden dan UU Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD juga sempat mengandung semangat pembredelan terhadap pers. ”Mengapa terus-menerus seperti ini, bagaimana dengan konsistensi pemerintah terhadap kebebasan berpendapat dan kebebasan memperoleh informasi,” katanya.
Margiono mempertanyakan pola pikir represif yang masih menjadi semangat dari UU Rahasia Negara. Hal serupa dikatakan Pemimpin Redaksi Seputar Indonesia Sururi Alfaruq, yang mengharapkan pemerintah dan DPR lebih mendengarkan lagi masukan dari media untuk menjernihkan masalah. ”Jika tidak ada dialog, sama saja kita kembali ke negara otoriter,” katanya.
Sururi terutama menyoroti Pasal 49 Ayat 1 dan 2 RUU Rahasia Negara, yakni korporasi yang melanggar bisa dikenai pidana denda Rp 50 miliar sampai Rp 100 miliar serta hukuman 20 tahun penjara bagi pelanggarnya adalah sebuah bentuk lain dari pembredelan.
Menurut Sururi, dibatasinya ruang gerak pers memiliki pengaruh pada masyarakat. Masyarakat sebagai pemangku kepentingan berhak mengetahui hal-hal yang terjadi di negara ini. ”Terutama untuk hal-hal yang menyangkut anomali atau deviasi. Misalnya, masalah senjata dari Pindad yang ditemukan di Filipina baru-baru ini. Masak hal seperti itu tidak boleh dibongkar,” katanya.
Sururi dan Margiono sepakat ada hal-hal yang berkaitan dengan rahasia negara. Hal ini, kata Margiono, bisa diatur secara internal dalam setiap lembaga. Masalahnya, dalam RUU Rahasia Negara tidak ada batasan yang jelas tentang definisi rahasia negara itu. (edn)
Sumber: Kompas, 15 September 2009