RUU Tak Kelar, SBY Terbitkan Perppu Tipikor
Pembahasan Berkutat pada Tiga Alternatif
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) memastikan bakal menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) tentang Pengadilan Tipikor jika parlemen gagal mengesahkan RUU hingga tenggat 19 Desember. Namun, SBY menekankan perppu adalah pilihan terakhir dan berharap DPR bersama pemerintah mampu menuntaskan pembahasan RUU tersebut.
"Kalau tidak selesai 19 Desember 2009, ada mekanisme lain. Presiden memiliki kewenangan untuk mengeluarkan perppu. Tetapi, yang paling baik janganlah perppu. (UU) bisa kita dorong, waktunya masih ada," kata SBY saat rapat koordinasi pemberantasan korupsi di Kantor Presiden, Jakarta, kemarin (13/7). Pemerintah dan DPR juga harus membuat UU Tindak Pidana Korupsi sebagai ratifikasi dari PBB mengenai antikorupsi.
Di parlemen, komposisi hakim ad hoc dan karir masih menjadi perdebatan dalam pembahasan RUU Pengadilan Tipikor. Menkum HAM Andi Mattalatta mengatakan, saat ini pembahasan masih berkutat pada tiga alternatif. Pertama, tidak ada komposisi yang tetap antara hakim ad hoc dan karir. "Kalau dari pemerintah sekarang ingin tidak fixed number, ditentukan pengadilan berdasar tingkat kesulitan perkara," katanya.
Alternatif kedua dan ketiga adalah menggunakan komposisi yang pasti. Yakni, lebih banyak hakim ad hoc atau sebaliknya, jumlah hakim karir lebih besar. "Tinggal kita pilih yang terbaik," tutur Andi.
Dia menambahkan, secara teknis tidak mudah komposisi hakim ad hoc dan karir. Sebab, sesuai keputusan Mahkamah Konstitusi (MK), Pengadilan Tipikor ada di tiap daerah. Dengan begitu, setidaknya ada 450 Pengadilan Tipikor. Itu menimbulkan masalah penyediaan hakim ad hoc dalam jumlah besar. "Kalau 450 dan masing-masing harus ada lima hakim, itu berarti sudah ada 2.250 hakim," ujar Andi.
Memilih hakim ad hoc juga tidak mudah. Sebab, mereka harus dipercaya masyarakat serta memiliki kapasitas lebih baik daripada hakim karir. "Yang penting pengadilan ini bisa jalan. Jangan nanti kita tentukan, tapi tahu-tahu tidak mampu memenuhi hakimnya. Tidak ada latar belakang politik di sini, tidak ada upaya melemahkan KPK,'' jelasnya.
Mensesneg Hatta Rajasa mengatakan, jaminan penerbitan perppu jika RUU tak selesai dibahas merupakan komitmen presiden dalam memberantas korupsi. "Presiden sangat serius soal itu," ujar Hatta. (sof/oki)
Sumber: Jawa Pos, 14 Juli 2009
{mospagebreak title=Perpu Jalan Terakhir}
Perpu Jalan Terakhir
Pemerintah dan DPR diharapkan tetap dapat menyelesaikan RUU Pengadilan Tipikor
Penerbitan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) merupakan jalan terakhir. Perpu itu akan dikeluarkan bila Dewan Perwakilan Rakyat tak mampu menyelesaikan pembahasan Rancangan Undang-Undang Pengadilan Tipikor sesuai tenggat, kata Presiden Susilo Bambang Yudhoyono saat membuka rapat koordinasi pemberantasan korupsi di Kantor Kepresidenan, Jakarta, Senin (13/7).
DPR periode 2009-2014 akan dilantik pada 1 Oktober 2009, sehingga hanya tersedia waktu terbatas untuk menyelesaikan pembahasan RUU Pengadilan Tipikor dengan pemerintah. Sementara itu, presiden dan wakil presiden baru akan dilantik pada 20 Oktober mendatang.
"Tujuan dan harapan saya pada masa bakti Kabinet Indonesia Bersatu dan DPR sekarang dapat menyelesaikan sebelum 19 Desember 2009," kata Presiden.
Meski dimungkinkan untuk mengeluarkan Perpu demi menyelamatkan keberadaan pengadilan khusus korupsi, Presiden SBY menyatakan jalan terbaik adalah mendorong rancangan tersebut disahkan menjadi undang-undang melalui mekanisme di legislatif.
"Tetap yang terbaik jangan perpu. Masih ada waktu, kita dorong ini agar selesai," ucapnya.
Rapat koordinasi itu dihadiri Wakil Presiden Jusuf Kalla, Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan Widodo AS, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Andi Mattalata, Jaksa Agung Hendarman Supanji, Kepala Kepolisian RI Jenderal Bambang Hendarso Danuri, Menteri Sekretaris Negara Hatta Radjasa, dan Menteri Negara Pemberdayaan Aparatur Negara Taufik Effendy.
Turut hadir empat Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yaitu Chandra Hamzah, M Jasin, Bibit Samad Rianto, dan Haryono Umar, Ketua Mahkamah Agung Harifin Tumpa, Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD, Ketua Badan Pemeriksa Keuangan Anwar Nasution, Ketua Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan Didi Widayadi.
Gesekan Antarlembaga
Pertemuan tersebut juga meluruskan berbagai gesekan yang terjadi antarlembaga negara dan lembaga tinggi seperti KPK dan MA, KPK dengan BPK dan terakhir KPK dengan Polri.
Gesekan terakhir muncul karena ada dugaan penyadapan KPK terhadap Kepala Badan Reserse Kriminal Markas Besar Kepolisian RI Komisaris Jenderal Susno Duadji terkait penanganan kasus Bank Century dan Antaboga.
Sementara itu polisi tengah mengusut dugaan penyalahgunaan wewenang penyadapan dalam kasus Ketua KPK (nonaktif) Antasari Azhar.
Kepala Negara meminta semua lembaga tinggi maupun lembaga negara saling mendukung tugas masing-masing, meskipun ada gesekan-gesekan di tengah perjalanan. Karena itu, ia meminta berbagai gesekan tersebut dicarikan jalan keluar agar terwujud sinergi dalam menjalankan tugas, utamanya dalam pemberantasan korupsi.
"Tidak ada di antara kita yang punya niat tidak baik untuk menggagalkan pemberantasan korupsi. Bisa saja karena cara berkomunikasi kita, bisa menimbulkan gesekan seperti itu," kata SBY.
Ia meminta lembaga tinggi dan lembaga negara mencegah persaingan kotor. Menurutnya, rivalitas akan menjadi baik sepanjang untuk kebaikan dan dapat mendongkrak prestasi. "Manakala rivalitas menjadi negatif, ini harus kita cegah bersama-sama."
Karena itu, Presiden meminta lembaga-lembaga negara meningkatkan komunikasi dan koordinasi tanpa mengintervensi peran, fungsi dan tugas masing-masing. Ia meminta para pimpinan lembaga menghindari megaphone diplomacy, yakni lebih banyak berbicara kepada pers dibandingkan membahas berbagai persoalan.
Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Andi Mattalata menyatakan optimististis RUU Pengadilan Tipikor selesai tepat waktu karena kini sudah masuk panitia kerja. Menurut dia, belum selesainya pembahasan RUU Pengadilan Tipikor tersebut bukan karena hambatan politik atau niat melemahkan upaya pemberantasan korupsi.
Andi menyebutkan, salah satu materi yang mengganjal dalam pembahasan RUU Pengadilan Tipikor adalah jumlah hakim ad hoc di setiap pengadilan Tipikor yang akan dibentuk. Saat ini pemerintah menetapkan hakim ad hoc ditentukan pengadilan negeri setempat berdasarkan tingkat kesulitan perkara, sedangkan pembahasan yang sedang berlangsung mempertimbangkan jumlah hakim ad hoc dengan jumlah tertentu, apakah mayoritas atau minoritas dari hakim karier.
Menurut Andi, jumlah hakim ad hoc sebaiknya dipertimbangkan secara logis berdasarkan kemampuan Mahkamah Agung merekrut hakim ad hoc baru, bukan pertimbangan emosional karena tidak mempercayai hakim karier dari pengadilan negeri.
Ia menjelaskan, putusan Mahkamah Konstitusi berdampak pada pembentukan Pengadilan Tipikor di 450 kabupaten/kota di Indonesia. Jika harus ada lima hakim ad hoc di satu pengadilan, maka MA harus merekrut 2.250 hakim ad hoc baru.
Harus Independen
Wakil Ketua Komisi Hukum DPR dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera Soeripto menyatakan sebagai lembaga independen yang khusus menangani kasus korupsi, KPK tak boleh lemah. "Dalam kaitan dengan kasus terakhir yang menimpa Ketua KPK Nonaktif, Antasari Azhar, lembaga KPK harus tetap menjalankan tugas dan fungsinya. KPK tidak boleh lemah," kata Soeripto ketika dihubungi Jurnal Nasional, Senin (13/7).
Ia juga meminta KPK tetap independen. "Antara kepolisian, kejaksaan dan KPK harus menjalankan tugas dan fungsinya sesuai undang-undang."
Wakil Ketua Komisi Hukum dari Fraksi Partai Golkar Aziz Syamsuddin juga berharap KPK tetap independen. "Tidak boleh ada intervensi kepada KPK. KPK harus tetap diperkuat," katanya.
Ketua Pelaksana Harian KPK Bibit Samad Rianto menegaskan tidak ada pembatasan kewenangan komisinya dalam rapat bersama Presiden SBY kemarin. "Kesimpulannya mereka minta KPK jalan terus," kata Bibit dalam jumpa pers di Gedung KPK, Senin (13/7) malam. [by : Yanuar Jatnika]
Rizky Andriati Pohan/Yanuar Jatnika/Friederich Batari/Melati Hasanah Elandis
Sumber: Jurnal Nasional, 14 Juli 2009