Saat Fit and Proper Test, Darmin Dicecar Soal Penanganan Kasus Pajak
Proses fit and proper test (uji kepatutan dan kelayakan) calon gubernur Bank Indonesia (BI) menjadi ajang bagi Komisi XI DPR untuk mengklarifikasi berbagai kasus pajak yang diduga terkait dengan Darmin Nasution. Saat ini Darmin menjabat deputi gubernur senior BI dan menjadi pejabat sementara (Pjs) gubernur BI.
Dia menjadi calon tunggal gubernur BI yang diajukan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ke DPR untuk menjalani uji kepatutan. Dalam proses yang berlangsung pukul 10.00 dan berakhir pukul 18.30 kemarin (21/7), Darmin dicecar berbagai pertanyaan terkait dengan kasus pajak. Sebelum menjadi deputi gubernur senior BI, Darmin merupakan Dirjen Pajak periode 2006-2009.
Anggota Komisi XI dari FPDIP Maruarar Sirait mengatakan, tidak ada yang perlu diragukan pada sosok Darmin dari sisi kapabilitas moneter dan perbankan. ''Yang menjadi persoalan utama adalah kredibilitas. Ini erat berkaitan dengan berbagai kasus pajak yang diduga terkait dengan Bapak (Darmin). Sebelum DPR memutuskan Bapak layak atau tidak menduduki jabatan gubernur BI, silakan Bapak klarifikasi kasus-kasus tersebut,'' kata Maruarar kepada Darmin.
Beberapa kasus pajak yang dimintakan klarifikasi kepada Darmin, antara lain, kasus pajak Paulus Tumewu (komisaris Ramayana Department Store), kasus pajak Halliburton, dan kasus mafia pajak Gayus Halomoan Tambunan.
Maruarar menyebutkan, kasus pajak Paulus Tumewu diindikasikan melanggar undang-undang. Sebab, setelah dilakukan penyidikan dan masuk ke proses penuntutan, kasus tersebut dihentikan. Hal itu terjadi setelah Paulus membayar tunggakan pajak Rp 7,4 miliar dan denda 400 persen. ''Dalam undang-undang, yang bisa dilakukan adalah penghentian penyidikan, bukan penuntutan,'' ujarnya.
Kasus lain terkait dengan sengketa pajak Halliburton yang terjadi pada 2006 ditanyakan oleh anggota Komisi XI dari Fraksi Partai Golkar Nusron Wahid. Menurut Nusron, kasus pajak perusahaan migas asal AS tersebut sudah empat kali ditolak oleh Hadi Poernomo yang saat itu menjadi Dirjen Pajak.
Namun, Nusron mengungkapkan, pada 3 Mei 2006 Halliburton mengajukan peninjauan kembali (PK). Kemudian, dua minggu setelah itu, Darmin Nasution yang baru menjabat Dirjen Pajak mengabulkan PK tersebut.
''Ini menjadi pertanyaan besar. Mengapa PK yang sudah ditolak empat kali tiba-tiba dikabulkan oleh Bapak. Padahal, tidak ada novum (keadaan atau bukti baru, Red),'' tutur Nusron.
Dia lantas membeberkan bahwa saat itu terjadi pertemuan antara pejabat Indonesia dan pejabat AS. Salah satu komisaris Halliburton ketika itu adalah Wakil Presiden AS Dick Cheney (era Presiden George Bush pada 2001-2009). ''Pertanyaannya, apakah ada intervensi dan tekanan dari pihak asing sehingga PK Halliburton dikabulkan? Tolong dijawab tuntas. Sebab, kami tidak ingin gubernur BI nanti adalah orang yang bisa diintervensi asing,'' tegasnya.
Selain kasus pajak, Darmin dicecar mengenai informasi harta kekayaannya. Anggota Komisi XI Edison Betaubun menanyakan informasi bahwa Darmin memiliki 41 SPBU (stasiun pengisian bahan bakar umum) yang tersebar di kawasan Jabodetabek. ''Mohon dijawab sebagai bagian dari transparansi pejabat publik,'' ujarnya.
Mendapat pertanyaan-pertanyaan tersebut, Darmin terlihat menyimak dengan serius. Namun, beberapa kali pria kelahiran Tapanuli, 21 Desember 1948, itu tersenyum. Bahkan, saat mendapat pertanyaan soal kepemilikan 41 SPBU, Darmin tertawa.
Darmin pun antusias mengklarifikasi kasus pajak yang dikaitkan dengan dirinya. ''Saya memang harus menjawab soal kasus-kasus itu. Jangan sampai saya terus belepotan dengan kasus-kasus itu,'' tuturnya.
Untuk kasus pajak Paulus Tumewu, kata Darmin, proses penyidikan selesai sebelum dirinya menjabat Dirjen Pajak. Namun, setelah itu, Paulus Tumewu menghubungi Kementerian Keuangan dan menawarkan opsi untuk membayar tunggakan pajak serta denda 400 persen.
Selanjutnya, Kemenkeu berkomunikasi dengan Kejaksaan Agung untuk membahas tawaran Paulus Tumewu tersebut. Kedua institusi itu akhirnya setuju menerima tawaran Paulus Tumewu dan menghentikan penuntutan. ''Semua itu dilakukan Kementerian Keuangan, dalam hal ini Setjen, dan Kejaksaan Agung. Jadi, tak ada kaitan dengan Ditjen Pajak. Kami hanya mendapatkan surat tembusan,'' papar Darmin.
Kasus-kasus lain belum bisa diklarifikasi Darmin. Sebab, proses fit and proper test dihentikan pada pukul 18.30.
Ketua Komisi XI Emir Moeis mengungkapkan, Darmin akan diberi kesempatan guna mengklarifikasi kasus-kasus lain dalam proses fit and proper test berikutnya. ''Besok (hari ini, Red) rapat kita lanjutkan pukul 10.00. Jadi, silakan Pak Darmin menjawab pertanyaan yang belum terjawab,'' kata Emir.
Sebelumnya, Darmin menyoroti masalah fungsi intermediasi dan tingginya bunga kredit perbankan dalam fit and proper test. Dia pun berjanji untuk merancang strategi yang ampuh guna menurunkan tingginya suku bunga kredit. ''Isu utama sekarang adalah mendorong bank untuk menyalurkan kredit dengan suku bunga yang rendah,'' ujarnya saat fit and proper test.
Darmin mengakui, meski BI menurunkan suku bunga acuan BI rate ke level 6,5 persen, perbankan masih lamban merespons. Akibatnya, bunga kredit perbankan saat ini berada di atas 10 persen. ''Itu level yang tinggi. Kita ingin turun agar (kredit) bisa menjadi penggerak sektor riil,'' katanya.
Darmin membeberkan strategi yang akan ditempuh BI untuk mendorong perbankan agar giat menyalurkan kredit dengan bunga tidak terlalu tinggi. Pertama, memberikan insentif dan disinsentif yang dikaitkan dengan tingkat penyaluran kredit daripada dana yang dihimpun atau loan to deposit ratio (LDR).
Saat ini, ungkap dia, rata-rata LDR perbankan di Indonesia 70-80 persen. Nanti BI membuat patokan LDR berkisar 75-105 persen. ''Jika nanti ada bank yang LDR-nya antara 75 hingga 105 persen, setoran GWM-nya (giro wajib minimum) normal. Tetapi, jika LDR-nya di bawah 75 persen (malas menyalurkan kredit, Red) atau di atas 105 persen (terlalu ekspansif menyalurkan kredit, Red), setoran GWM-nya akan ditambah,'' terangnya.
''Bank pasti akan takut. Sebab, jika GWM-nya dinaikkan, ia akan rugi karena duitnya berhenti di BI,'' jelasnya.
Lalu, bagaimana strategi menurunkan bunga kredit perbankan? Menurut Darmin, upaya penurunan suku bunga memang kompleks karena terkait pula dengan tingkat inflasi di Indonesia yang relatif lebih tinggi jika dibandingkan dengan negara-negara lain. ''Dengan inflasi tinggi, BI rate juga tinggi. Suku bunga perbankan pun ikut tinggi,'' tuturnya.
Selain itu, dia menilai spread (selisih bunga kredit dan simpanan) perbankan di Indonesia juga tinggi. Itu terjadi karena kurangnya persaingan. Jadi, aspek persaingan itulah yang akan didorong BI.
Bagaimana caranya? ''Nanti kami buat aturan yang mewajibkan semua bank, kecuali BPR (bank perkreditan rakyat), mengumumkan lending rate (bunga kredit, Red) setiap awal bulan. Semua pelaku usaha bisa melihat dan membandingkan bank mana yang memberikan suku bunga kredit paling rendah,'' jelasnya. Strategi itu, lanjut dia, diterapkan di beberapa negara dan terbukti berhasil menurunkan suku bunga kredit. (owi/c4/dwi)
Sumber: Jawa Pos, 22 Juli 2010