Saatnya Memberantas Pembalakan Liar
Langkah tegas yang ditempuh oleh Markas Besar Kepolisian RI dalam penanganan kasus pembalakan liar (illegal logging) di Kalimantan Barat patut mendapat apresiasi. Operasi ini berhasil menangkap 19 kapal layar motor dan tiga kapal motor yang mengangkut 12 ribu meter kubik kayu olahan kelas wahid, seperti bangkirai. Nilai kayu yang akan diselundupkan ke Kuching, Negara Bagian Sarawak, Malaysia, itu mencapai Rp 208 miliar (Koran Tempo, 8 April).
Langkah tegas yang ditempuh oleh Markas Besar Kepolisian RI dalam penanganan kasus pembalakan liar (illegal logging) di Kalimantan Barat patut mendapat apresiasi. Operasi ini berhasil menangkap 19 kapal layar motor dan tiga kapal motor yang mengangkut 12 ribu meter kubik kayu olahan kelas wahid, seperti bangkirai. Nilai kayu yang akan diselundupkan ke Kuching, Negara Bagian Sarawak, Malaysia, itu mencapai Rp 208 miliar (Koran Tempo, 8 April).
Selain besarnya tangkapan, sejumlah pihak diduga terlibat dalam kasus ini, dari aparat kepolisian, bupati, jaksa, hakim, pejabat dinas kehutanan, politikus lokal, sampai cukong di Ketapang dan Kuching. Kondisi ini segera direspons oleh Markas Besar Polri dengan memindahkan sejumlah tersangka pembalakan dari Kalimantan Barat ke Jakarta untuk ditangani langsung.
Harus diakui upaya menjerat para pelaku pembalakan liar sama susahnya dengan menjerat para koruptor. Ada banyak benturan yang harus dihadapi, seperti alasan bukti-bukti yang tidak cukup kuat, aturan hukum yang ternyata tidak dapat menjerat pelaku sesungguhnya, serta tidak seriusnya para penegak hukum dalam menjerat pelaku pembalakan liar. Bahkan beberapa kalangan menyebut pembalakan liar sebagai kejahatan yang tak tersentuh hukum.
Hukum positif yang mengatur perlindungan terhadap sektor kehutanan di Indonesia tertuang dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2004. Undang-undang ini merupakan penetapan Perpu Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perubahan atas UU Nomor 14 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Perlindungan lebih lanjut tentang kehutanan diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2004 tentang Kehutanan.
Sanksi pidana yang diancamkan terhadap pelaku pembalakan liar dalam UU Nomor 19 Tahun 2004 sebenarnya sudah mumpuni. Ancaman pidana terberat adalah penjara 15 tahun dan denda Rp 5 miliar. Seharusnya ancaman ini mampu membuat para pelaku berpikir dua kali sebelum melakukan tindakan pidana tersebut. Kenyataannya di lapangan lain, aktivitas pembalakan liar terus berlangsung. Hal ini karena pelaku yang tertangkap biasanya hanyalah para pekerja biasa, bukan cukong ataupun otak utamanya. Mereka umumnya hanya dikenai pidana penjara berkisar bulanan dengan hukuman denda yang tak seberapa pula. Dapat dihitung dengan jari pengadilan di Indonesia yang menjatuhkan hukuman maksimal terhadap para pelaku utama pembalakan liar.
Data kepolisian atas hasil Operasi Hutan Lestari menyebutkan, selama 2004 hingga Juni 2006, jumlah perkara yang diungkap 4.178 perkara dengan jumlah tersangka 4.860 orang dan barang bukti kayu sebanyak 822.296 meter kubik dan 2,37 juta batang kayu. Sayangnya, dari ribuan kasus pembalakan liar tersebut, hanya segelintir yang berujung di pengadilan dan hasilnya pun mengecewakan.
Dalam catatan Indonesia Corruption Watch, selama tiga tahun terakhir (2005-2007), dari sejumlah pelaku pembalakan liar yang telah diproses hingga tahap pengadilan, sedikitnya terdapat 75 orang yang telah dibebaskan oleh sejumlah pengadilan negeri dan pengadilan tinggi di Indonesia. Jikapun terdapat kasus yang divonis bersalah, umumnya divonis ringan atau bukan pelaku utama.
Buruknya hasil di pengadilan juga diikuti dengan buruknya upaya penindakan oknum di Departemen Kehutanan yang diduga terlibat dalam proses pemberian izin tersebut. Dari sejumlah kasus pembalakan liar yang terungkap, sanksi yang diberikan terhadap oknum yang diduga terlibat masih sebatas sanksi administratif berupa pembebasan tugas atau teguran atau penundaan kenaikan jabatan (sanksi PP Nomor 30 Tahun 1980 tentang Peraturan Disiplin Pegawai Negeri Sipil).
Di sisi lain penanganan kasus pembalakan liar, di antara pihak penyidik--Departemen Kehutanan dan kepolisian--sering kali berjalan sendiri-sendiri tanpa ada koordinasi yang jelas. Bahkan di antara dua institusi ini sering kali berbeda pendapat mengenai apa yang disebut sebagai pembalakan liar seperti dalam kasus Adelin dan kasus serupa di Riau.
Meskipun banyak kasus telah diproses, pihak kepolisian juga dinilai bertindak tebang pilih dalam penanganan kasus pembalakan liar. Dalam catatan lembaga swadaya masyarakat Telapak, pihak kepolisian sejauh ini tidak pernah serius mengungkapkan kasus pembalakan liar yang terjadi di sektor hutan lindung dan konservasi yang diduga dilindungi oleh oknum tentara, meskipun dari sisi kerugian negara sangat luar biasa.
Dalam kasus di beberapa daerah Kalimantan Barat sepanjang perbatasan dengan Malaysia, potensi kerugian negara akibat pembalakan liar mencapai Rp 54 triliun per tahun. Kepolisian dinilai hanya berani menangani kasus pembalakan liar yang terjadi dalam hutan produksi seperti halnya yang terjadi di Riau. Kepolisian juga dinilai tidak memiliki keberanian untuk mengungkap kasus pembalakan liar yang dibekingi oleh oknum tentara.
Banyaknya kasus pembalakan liar yang dibebaskan pengadilan setidaknya menunjukkan bahwa upaya pemberantasan praktek pembalakan liar oleh pemerintah kenyataannya tidak mendapatkan dukungan yang maksimal dari pihak yudikatif. Jika pemerintah dinilai giat dalam memberantas praktek pembalakan liar, pihak pengadilan justru giat membebaskan pelaku pembalakan liar. Tanpa adanya kesamaan pandangan dan semangat memerangi praktek pembalakan liar di antara aparat penegak hukum, sebanyak apa pun perkara yang diungkap pada akhirnya akan kandas di pengadilan. Banyaknya pelaku pembalakan liar yang dibebaskan oleh pengadilan secara tidak langsung menunjukkan bahwa pengadilan justru melegalkan praktek pembalakan liar.
Independensi yang dimiliki oleh hakim dalam memeriksa dan memutus suatu perkara sering kali disalahgunakan untuk kepentingan sesaat oleh segelintir orang, tapi berakibat kerugian bagi ratusan, ribuan, bahkan jutaan orang. Kondisi ini diperburuk oleh lemahnya pengawasan yang dilakukan oleh kalangan internal kekuasaan yudikatif (Mahkamah Agung). Sejauh ini belum ada sanksi yang dijatuhkan MA terhadap hakim-hakim yang membebaskan para pembalak liar ini.
Sepertinya mustahil memberantas praktek pembalakan liar di negara ini jika hanya bermodalkan pernyataan tanpa adanya ketegasan dari pemerintah dan aparat penegak hukum itu sendiri. Membiarkan atau bertindak setengah hati atas pembalakan liar sama halnya dengan merestui perusakan hutan dan membiarkan masyarakat berada dalam ancaman bencana alam. Jika hal ini terus terjadi, bukan tidak mungkin pula negara ini di masa datang tidak memiliki hutan lagi.
Emerson Yuntho, Anggota Badan Pekerja Indonesia Corruption Watch
Tulisan ini disalin dari Koran Tempo, 12 April 2008