Saatnya Menghapus Pasal “Kanker Demokrasi”
Rilis Media
“Pasal Pencemaran Nama Baik Hanya Menguntungkan Koruptor, Mafia Hukum dan Pelanggar HAM”
Susno Duadji mungkin bukan pahlawan yang dapat diterima secara penuh dalam gerakan antikorupsi dan penegakan hukum. Akan tetapi, sikap Kepolisian menetapkan SD sebagai tersangka kasus pencemaran nama baik karena menghina dua jendral Polisi patut ditolak dan dikritik keras. Apalagi, penggunaan Pasal 310 dan 311 KUHP dilakukan saat mantan Kabareskrim tersebut mencoba mengungkap praktek mafia hukum di Kepolisian dan Mafia Pajak. Terbukti, hingga hari ini dugaan adanya mafia di Direktorat Jenderal Pajak mulai tercium melalui kasus Gayus H. Tambunan.
Penggunaan pasal kontroversial tersebut bukan kali ini saja. Sebelumnya, dua aktivis Indonesia Corruption Watch (ICW), aktivis HAM “KONTRAS”, sejumlah pelapor kasus korupsi, penulis surat pembaca, dan bahkan ibu rumah tangga seperti Prita Mulyasari pernah berurusan dengan delik ini. Dalam prakteknya pasal penghinaan (defamation) tersebut digunakan dengan tujuan membungkam aktivitas kritis masyarakat untuk mengawasi pemerintahan, mendorong penegakan hukum kasus HAM, menyampaikan keluhan atas pelayanan publik, dan bahkan pelaporan kasus korupsi atau mafia hukum.
Penggunaan yang serampangan, dan mainset pejabat publik yang masih melihat warga negara kritis sebagai musuh, menjadikan pasal pencemaran nama ini efektif membungkam masyarakat. Pada akhirnya, pasal ini menjadi alat yang ampuh untuk menghambat pelaporan dan proses hukum kasus korupsi. Dengan kata lain, pasal ini adalah norma yang bersahabat dengan koruptor, mafia hukum, dan bahkan pejabat publik yang punya potensi menyalahgunakan kewenangannya.
Lebih dari itu, siapapun bisa menjadi korban pasal ini. Tidak hanya aktivis LSM, akademisi, hakim, jaksa, polisi, mahasiswa, demonstran, akan tetapi juga jurnalis dan masyarakat biasa. Dalam konteks kasus Susno Duadji, penetapan mantan Kabareskrim ini sebagai tersangka pada akhirnya akan berimplikasi luas. Jika jendral bintang tiga saja dengan mudah bisa ditetapkan sebagai tersangka, dan bukan tidak mungkin ditahan, akan menimbulkan efek domino yang besar di seluruh Indonesia.
Kanker Demokrasi
Akhirnya bisa menimbulkan rasa takut bagi masyarakat untuk berinisiatif melaporkan penyelewenangan ditubuh institusi tempat mereka bekerja, sehingga tak akan ada lagi whistleblower yang mengungkap praktek busuk di lembaganya. Padahal, keterlibatan dan aktivitas elemen masyarakat yang luas dalam pengawasan pemerintah, jaminan atas perlindungan rasa takut, dan upaya pemberantasan korupsi adalah bagian penting dari penyelenggaraan negara yang Demokratis dengan Asas Keadilan. Sehingga, pasal-pasal yang mengancam dan menggerogoti Demokrasi tersebut pantas disebut “Kanker Demokrasi”.
Undang-undang Dasar 1945 sesungguhnya memberikan jaminan dan sangat anti dengan pasal-pasal seperti ini. Dalam artian tidak boleh ada bagian dari undang-undang yang bertentangan dengan konstitusi. Namun, Koalisi menyadari pasal pencemaran nama ini pernah diuji dan diputus di Mahkamah Konstitusi. Setidaknya dalam perkara Nomor 14/PUU-VI/2008, MK menolak permohonan atas Judicial Review Pasal 310 (1), (2), Pasal 207 dan 316 KUHP. Jika dicermati lebih dalam, putusan tersebut menolak argumentasi pemohon yang mempertentangankan pasal 310 (1) dan (2) KUHP dengan Pasal 28E ayat (2), (3) dan Pasal 28F UUD 1945; serta Pasal 207 dan 316 KUHP dengan Pasal 27 (1); Pasal 28E (2), (3); dan Pasal 28F UUD 1945.
Setelah melalui proses diskusi panjang, Koalisi mengamati dan menilai, sesungguhnya pasal “Kanker Demokrasi” ini bertentangan dengan norma konstitusi yang lebih mendasar:
1. Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 yang meletakkan Kedaulatan di tangan rakyat. Pasal ini adalah pasal yang menegaskan bahwa penyelenggaraan negara Indonesia berdasarkan asas Demokrasi.
Kedaulatan yang berada di tangan rakyat, kemudian di delegasikan atau dititipkan sebagian pada lembaga perwakilan seperti DPR, DPD atau bahkan Presiden, dan sebagiannya lagi pada lembaga negara lainnya. Jika kedaulatan yang ada pada lembaga negara dan pejabat publik tersebut hanyala titipan dari rakyat Indonesia, apakah mungkin kemudian “wakil” dari rakyat tersebut kemudian menuntut rakyatnya sendiri karena dituduh menghina pejabat publik atau lembaga negara? Sungguh tak masuk akal.
Lebih dari itu, fungsi pengawasan, kritik dan pelaporan kasus korupsi dan mafia hukum yang diduga dilakukan oleh pejabat negara justru merupakan hak mendasar dari masyarakat. Bahwa warga negara harus memastikan kedaulatan dan kewenangan yang dititipkannya pada pejabat publik dan lembaga negara harus digunakan dengan benar, bukan untuk memperkaya diri sendiri.
2. Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 yang menyatakan “Negara Indonesia adalah Negara Hukum”
3. Pasal 28G ayat (1) UUD 1945 yang pada prinsipnya menjamin Hak asasi atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi.
Sejumlah pasal di konstitusi sebenarnya menjamin hak asasi manusia untuk berperan serta dalam pembangunan, penegakan hukum, dan pemenuhan rasa keadila. Termasuk juga kebebasan untuk bersuara dan berekspresi. Jika pelaksanaan hak tersebut kemudian selalu diancam dan dijerat dengan pasal-pasal “kanker demokrasi”, maka pada akhirnya yang bermasalah dari pasal pencemaran nama baik itu bukanlah lagi soal PENERAPAN NORMA, akan tetapi memang pasal itulah yang mengandung masalah mendasar. Hingga pada akhirnya membuat masyarakat tidak bisa melaksanakan kedaulatannya, ikut berperan penting dalam pelaporan serta pemberantasan korupsi dan mafia hukum, sertap pengawasan perilaku pejabat publik.
Oleh karena itu, jelaslah, pasal “Kanker Demokrasi” ini tidak layak dipertahankan dalam hukum Indonesia. Selain bertentangan dengan sejumlah aturan hak asasi manusia, ia akan menimbulkan rasa takut bagi masyarakat, menghambat pemberantasan korupsi dan mafia hukum. Sehingga, pasal tersebut benar-benar akan menjadi kanker bagi demokrasi, dan menjadi teman bagi pejabat publik yang sewenang-wenang, antikritik; teman bagi koruptor dan mafia hukum, dan lawan bagi proses demokrasi di Indonesia.
Sehingga, wajarlah jika “Koalisi Melawan Kanker Demokrasi” mendatangi Mahkamah Konstitusi, dan memintanya untuk:
- Menegaskan sikap kelembagaan MK untuk tidak akan pernah menggunakan pasal “kanker demokrasi” pada pihak manapun;
- Memberikan pendidikan konstitusional pada masyarakat luas, khususnya pejabat publik di lembaga negara manapun, bahwa pasal tersebut tidak pantas digunakan dan eksis di negara demokrasi ini;
- Meyakinkan publik, bahwa pasal “kanker demokrasi” sesungguhnya sangat menghambat pemberantasan korupsi dan mafia hukum, penegakan HAM dan pengawasan masyarakat secara luas.
Jakarta, 30 Maret 2010
Koalisi Melawan Kanker Demokrasi