Saksi Kasus Korupsi Bapeten; Di Sidang, Priyo Mengaku Lupa

Setelah Menteri Perindustrian Fahmi Idris, giliran Priyo Budi Santoso, petinggi Partai Golkar, yang duduk di kursi sidang. Kemarin (27/3) ketua Fraksi Partai Golkar DPR itu jadi saksi atas kasus dugaan korupsi pengadaan tanah untuk Pusdiklat Badan Pengawas Tenaga Nuklir (Bapeten) dengan terdakwa mantan rekannya di Panitia Anggaran Komisi VIII DPR RI periode 1999-2004 Noor Adenan Razak.

Setelah Menteri Perindustrian Fahmi Idris, giliran Priyo Budi Santoso, petinggi Partai Golkar, yang duduk di kursi sidang. Kemarin (27/3) ketua Fraksi Partai Golkar DPR itu jadi saksi atas kasus dugaan korupsi pengadaan tanah untuk Pusdiklat Badan Pengawas Tenaga Nuklir (Bapeten) dengan terdakwa mantan rekannya di Panitia Anggaran Komisi VIII DPR RI periode 1999-2004 Noor Adenan Razak.

Saat itu pilpres, ada perbedaan pandangan politik. Saya tidak konsen di situ (Bapeten). Saya tidak tahu, elak Priyo usai menjalani sidang di pengadilan Tipikor. Pria kelahiran Trenggalek, Jawa Timur, itu diperiksa sebagai saksi dalam kapasitas mantan anggota Panggar yang menyetujui anggaran biaya tambahan (ABT) pengadaan tanah Pusdiklat Bapeten Rp 35 miliar.

Meski pernah diperiksa sebagai saksi kasus Bapeten di KPK, Priyo bergeming dan mengatakan tidak ingat kronologi pengajuan dan persetujuan ABT Bapeten. Ya, memang saya tidak ingat. Saya sudah pindah, ujarnya.

Dalam sidang yang dimulai pukul 13.30 itu, mayoritas jawaban Priyo adalah tak tahu atau tak ingat. Termasuk ketika ketua majelis Moefri menanyakan soal dana Rp 1,527 yang diterima Adenan dari pejabat Bapeten. Priyo mengaku tak ingat berapa persis yang diajukan Bapeten sebagai ABT dan berapa yang disetujui. Bahkan, dia mengaku tak ingat apakah ikut menyetujui ABT tersebut.

Penampilan Priyo di sidang kemarin praktis tak banyak bicara karena lebih banyak menjawab tak ingat atau lupa. Penampilannya itu berbeda dengan gaya dia saat debat di panggung politik yang penuh semangat.

Pada 28 Agustus 2004 saya mulai pindah ke Komisi Politik atau Komisi II, ujar pria 42 tahun itu. Dia lantas menjelaskan, secara formal baru resmi dipindah dari Komisi VIII pada 14 September 2004.

Sebelumnya, panitia pengadaan mengajukan penambahan anggaran dari Rp 19 miliar menjadi Rp 38,885 miliar. Pada 22 September 2004, Adenan bersama para anggota Panggar DPR membahas usul ABT Lembaga Pemerintah Nondepartemen 2004. Di dalamnya diajukan ABT oleh Bapeten di Hotel Hilton Jakarta (sekarang Hotel Sultan, Red).

Bolehkah rapat di luar gedung DPR? Boleh (rapat di luar), atas izin pimpinan, jawab Priyo. Dia menambahkan, jika rapat diprakarsai DPR, anggarannya harus dari DPR.

Dalam kasus Bapeten, pengadilan Tipikor telah membui dua orang. Sekretaris Utama Bapeten Hieronimus Abdul Salam dihukum 4,5 tahun penjara dan Kepala Subbagian Rumah Tangga Bapeten Sugiyo Prasojo diganjar 3 tahun penjara. Keduanya dianggap merugikan negara Rp 9,5 miliar dalam pengadaan tanah Pusdiklat Bapeten.

Dalam sidang dua pejabat Bapeten itu (14/11/07), Adenan mengaku menerima uang tunai Rp 250 juta dan selembar bilyet giro senilai Rp 1,277 miliar sebagai ucapan terima kasih karena ABT yang diajukan gol. Apakah boleh menerima hadiah setelah melakukan pembahasan, tanya JPU Dwi Aries. Tidak, jawab Priyo.(ein)

Sumber: Jawa Pos, 28 Maret 2008

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan