Saldi dan Pedang Keadilan
Mentari belum lagi terbangun dari balutan malam ketika sosok yang saya kenal itu tiba-tiba muncul.
Sosok dengan potongan rambut sama dalam belasan tahun itu langsung duduk di samping saya. ”Selasa saya dilantik, Ref,” kata Saldi Isra, Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Andalas, Padang. Saat itu, Sabtu, 8 April, kami berada di loungeGaruda menjelang terbang. Saya ke Semarang, Saldi ke kampung halamannya di Padang. Cuma sebentar kami bercakap. Panggilan memasuki pesawat telah menyapa saya terlebih dulu.
”Ente tidak boleh lagi panggil saya ’jahanam’. Panggil nama saja boleh,” protes Saldi di sela obrolan singkat kami. Selama ini, ”jahanam” menjadi panggilan akrab di antara kami bertiga. Selain saya dan Saldi, juga Zainal Arifin Mochtar, dosen Fakultas Hukum UGM. Banyak orang kaget ketika kami saling menyapa dengan panggilan itu. Maklum, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, jahanam memiliki makna sangat negatif: terkutuk, jahat sekali, celaka, binasa, bahkan berarti laut api tempat menyiksa di akhirat.
Kalau tak ada aral melintang, sahabat saya sejak 16 tahun terakhir itu dilantik menjadi hakim konstitusi pagi ini di Istana Negara, menggantikan Patrialis Akbar, yang terkena operasi tangkap tangan (OTT) KPK, 25 Januari lalu. Patrialis, yang diusulkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tanpa proses seleksi, diduga menerima suap dari pihak beperkara. Kasusnya masih ditangani KPK hingga saat ini.
Sebelum Patrialis, masih belum lekang dari ingatan, Ketua MK M Akil Mochtar juga terkena OTT pada 2013. Dua kejadian besar itu sangat mencoreng wibawa MK. Masyarakat seperti sudah kedap terhadap OTT pejabat publik. Sebelum Patrialis, Ketua DPD Irman Gusman juga terjaring OTT. Dalam latar dan nuansa inilah Saldi dilantik atau diambil sumpahnya sebagai hakim konstitusi.
MK yang begitu sangat membanggakan pada periode awal sempat dua kali terpuruk karena tertangkap tangannya dua hakim MK. Kebetulan dua-duanya berasal dari partai politik. Akil mantan anggota Partai Golkar dan Patrialis pernah berkiprah di Partai Amanat Nasional (PAN).
Jalan sepi
Tidak mudah meyakinkan Saldi agar mau mendaftar sebagai hakim konstitusi dari saku presiden. Berkali-kali saya dan mungkin sahabat dia yang lain harus meyakinkan bahwa inilah saat terbaik untuk mendaftar. Saya tahu, satu-satunya jabatan publik yang dipikirkan Saldi selama ini adalah menjadi hakim konstitusi. Namun, ia takut ”kesepian”. Selama ini Saldi hidup dalam ”kebisingan” tata negara. Sesuai dengan disiplin ilmunya, hukum tata negara, hampir tidak ada fenomena ketatanegaraan yang lolos dari tajamnya lisan dan tulisan Saldi, setidaknya dalam 16 tahun terakhir sejak saya mengenalnya.
Lisan Saldi sangat meyakinkan, pun tulisannya, yang umumnya lugas dan jelas dalam mengambil posisi. Sudah berderet pejabat publik di negeri ini yang disemprit lisan dan tulisan Saldi. Tak kurang dari Presiden Jokowi, antara lain saat Saldi menulis ”Hukum yang Terabaikan” ketika menyaksikan fenomena bagaimana hukum seperti terpinggirkan dalam era Presiden Jokowi.
Dengan menjadi hakim konstitusi, Saldi harus menepi dari hiruk pikuk ketatanegaraan. Meski lidahnya gatal berbicara atau tangannya rindu menyemburkan energi kritis, Saldi harus diam. Hakim berbicara melalui putusan, bukan lisan dan tulisan. Posisi Saldi bukan untuk mengkritik, melainkan mendengarkan, bahkan menerima kritik.
Belum apa-apa saja, di tengah lautan ucapan selamat dan pujian atas keterpilihannya, anggota Komisi III DPR, Benny K Harman, sudah mengingatkan Saldi agar bekerja secara independen dan menjaga netralitas. Benny menuduh Saldi anggota tim sukses Jokowi.
Benny salah. Saya tahu persis Saldi tidak pernah menjadi tim sukses calon presiden mana pun. Sebagai pakar hukum tata negara, Saldi memang sering dimintai pendapatnya, termasuk oleh Jokowi, tetapi dia tetap netral, tidak memihak siapa pun dalam kontestasi Pilpres 2014. Kecenderungan, kalau boleh dikatakan demikian, mungkin saja ada, tetapi bukan tim sukses.
Dalam mengingatkan Saldi, Benny juga mengkritik perilaku MK saat ini yang dianggap sudah melenceng dari fungsinya sebagai negatif legislator. Selama ini MK kerap membuat norma baru dalam menguji undang-undang, padahal seharusnya hanya menyatakan sebuah UU bertentangan dengan UUD 1945 atau tidak.
Dalam konteks ini saya lagi-lagi tidak sepakat dengan Benny. Pengadilan, termasuk MK, sering dihadapkan pada pilihan untuk menerapkan judicial restraint atau judicial activism. Yang pertama merujuk pada pengadilan yang sangat membatasi diri. Adapun judicial activism tidak lain adalah peran aktif pengadilan untuk mencari terobosan-terobosan hukum.
Di negara-negara baru yang proses pembentukan UU-nya sering diwarnai praktik kongkalikong antaranggota legislatif, atau antara legislatif dan eksekutif, MK-nya sering harus lebih aktif untuk memotong pasal-pasal hasil konspirasi tersebut. Tentu saja sepanjang hakim mampu membebaskan diri dari belitan kepentingan.
Dalam sebuah kesempatan, mantan Ketua MK Mahfud MD menyatakan, sebagai seorang hakim, dia selalu memiliki stok alasan untuk membuat suatu kasus harus dimenangkan atau dikalahkan. Sebuah UU yang dibuat dalam nuansa konspirasi, secara moralitas hukum tak memiliki tempat untuk terus dipertahankan. MK harus mampu meluruskan hukum yang seperti itu. Dalam kondisi yang seperti ini, tak haram hakim atau MK lebih condong ke judicial activism.
Kutub kiri-kanan
Sebagai padanan dari debat tak berkesudahan antara judicial restraint danjudicial activism, misalnya mengenai penafsiran konstitusi, yang tidak lain tugas MK juga. Apakah konstitusi harus ditafsirkan menurut kehendak pembentuknya atau boleh beyond dari itu.
Yang pertama sering disebut originalism, sedangkan berikutnya non-originalism. Originalism sering didekat-dekatkan dengan sikap konservatif, sedangkan non-originalism sering didekatkan dengan sikap liberal atau ide mengenai konstitusi yang hidup (living constitution).
Seorang rekan saya pernah dengan bangga menyatakan bahwa ia termasuk sarjana hukum yang tidak mau dikungkung dengan kerangkeng konstitusi dalam menafsirkan UUD 1945. Secara tidak sadar sebenarnya ia telah memilih menjadi penafsir yang non- orisinalis. Tidak heran jika banyak sarjana hukum memilih menjadi non-orisinalis karena akan ”memudahkan” mereka dalam menafsirkan konstitusi.
Mereka tidak perlu berkutat untuk mencari makna sesungguhnya dari ketentuan konstitusi dengan menggali kehendak pembentuknya (original intent) yang kerap tidak mudah direkonstruksi. Mereka bisa langsung lompat kepada fenomena kemasyarakatan ketika suatu ketentuan diperdebatkan. Hingga titik ini, seorang non-orisinalis bisa cepat menjadi populer karena lebih fleksibel dalam mengakomodasi kehendak masyarakat.
Kendati demikian, beberapa hakim agung AS justru menolak menjadi populer, seperti Justice (Hugo) Black dan Justice (Antonin) Scalia, termasuk mantan Chief Justice (William H) Rehnquist yang meninggal dunia pada 2006. Seperti dikatakan Justice Black, banyak yang menginginkan Mahkamah Agung Amerika menjaga konstitusi agar selalu sesuai dengan semangat zaman dengan cara mengubah konstitusi (melalui penafsiran). ”For myself, I must with all deference reject that philosophy. The constitution makers knew the need for change and frovided for it,” katanya.
Bagi Justice Black, bukan tugas pengadilan untuk meng-up date ketentuan konstitusi, melainkan tugas wakil-wakil rakyat yang dipilih. Wakil rakyat itulah yang harus memenuhi aspirasi masyarakat, bukan para hakim. Untuk itu, konstitusi telah menyediakan jalan untuk mengamandemen konstitusi. Jalan itulah yang seharusnya digunakan.
Bagi penganut orisinalis, jika konstitusi ditafsirkan sangat liberal sesuai dengan kehendak zaman (living constitution), tidak akan ada lagi yang perlu dijaga karena konstitusi akan berubah dengan sendirinya. Pada titik ini, hakim telah menggantikan tugas legislatif sebagai otoritas pengubah konstitusi.
Ke mana pedang keadilan Saldi hendak dilabuhkan dari pilihan-pilihan tersebut? Memilih untuk membatasi diri dan menjadi orisinalis sehingga pasti akan menjadi konservatif, atau terus melakukan kreasi, melampaui teks (nonorisinalis) sehingga akan dicap progresif? Apa pun yang dipilih, konsistensi menjadi hal yang penting. Saldi hanya boleh melayani keyakinannya, bukan keyakinan orang lain.
Saya berharap banyak kepada Saldi. Mudah-mudahan dia dimudahkan dalam melaksanakan tugasnya. Dijauhkan dari keterjerembaban hakim yang digantikannya. Mulai hari ini saya tidak boleh lagi bilang ”jahanam” karena dia sudah menjadi hakim konstitusi. Selamat pagi, Yang Mulia.
REFLY HARUN, PRAKTISI DAN PENGAJAR HUKUM TATA NEGARA, MENGAJAR DI PROGRAM PASCASARJANA UGM
--------------------
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 11 April 2017, di halaman 7 dengan judul "Saldi dan Pedang Keadilan".