Sanksi Main-main Bapepam-LK Terhadap Kasus PGAS
27 Desember 2007, Ketua (Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (Bapepam-LK) mengumumkan hasil pemeriksaan terhadap kasus perdagangan saham PT Perusahaan Gas Negara (PGAS). Dalam Releasenya Bapepam-LK menjatuhkan sanksi administratif (denda) kepada sembilan orang. Keputusan yang ditunggu-tunggu publik, akhirnya keluar juga. Namun ibarat jauh panggang dari api, keputusan ini dinilai Aspirasi Indonesia Research Institute (AIR-Inti) dan tidak berdampak dan memiliki arti apa-apa, serta cuma main-main.
Begitu press release Bapepam LK tersebut keluar, AIR-Inti (diwakili Yanuar Rizky) bersama ICW (diwaikili Teten Masduki), menggelar konferensi pers di kantor ICW Jalan Kalibata Timur. Berikut adalah catatan redaksi antikorupsi.org dari press conference tersebut.
Kasus ini bisa dijelaskan sebagai berikut: Sebenarnya ada dua kasus dalam peristiwa penyimpangan di PT PGAS ini. Pertama adalah adanya insider trading dalam penjualan saham PT PGAS dalam divestasi saham PT PGAS. Kedua adalah kasus korupsi dengan jalan memanipulasi pasar saham, sehingga harga saham PT PGAS jatuh, dan target APBN tidak terpenuhi.
Dalam kasus ini Bapepam-LK hanya memproses kasus pertama, yaitu dengan menjatuhkan sanksi administratif berupa denda kepada sembilan orang dalam (OD) yang diduga melakukan transaksi saham PT PGAS pada kurun waktu 12 September 2006 hingga 11 Januari 2007.
Terhadap kasus ini publik sebenarnya berharap Bapepam-LK melakukan proses pidana maksimal terhadap para tersangka. Namun, yang dilakukan Bapepam-LK hanya melakukan proses yang sangat minimal. Dari sembilan orang tersebut dikenai sanksi denda bervariasi yang total keseluruhannya sekitar Rp 2,8 miliar. Sanksi denda yang ditetapkan kepada para tersangka tersebut sebenarnya Cuma main-main. Karena besaran denda tersebut tidak didasarkan pada aturan yang jelas. Dasar perhitungan dendanya pun juga tidak jelas. Kita tidak pernah tahu misalnya Sdr WMP Simanjuntak didenda Rp 2.330.000.000,00 (dua miliar tiga ratus tiga puluh juta) itu berdasar perhitungan kesalahan yang mana. Lebih dari itu denda total sebesar Rp 2,8 miliar tersebut sangat kecil dibanding potensi kerugian publik sebesar Rp 3.627.146.250.000,00 (dengan perhitungan total volume pasar 12 September 2006 sampai 11 januari 2007 yakni 1.116.045.00 lembar saham, dalam harga jual terbaik (insider profit) Rp 12.850,00 atas harga beli terendah (harga jatuh setelah pengumuman Rp 9.600,00).
Tidak jelasnya perhitungan juga dapat dilihat dari denda terendah sebesar Rp 9 juta, dan tertinggi Rp 2,3 miliar. Padahal di undang-undang penanaman pasar modal (UU No. 8 tahun 1998) ditetapkan denda untuk individu sebesar Rp 5 miliar dan perseroan terbatas Rp 15 miliar. Padahal tahun 2001 untuk kasus Lippo e-net pernah dikenakan sanksi denda sebesar Rp 5 miliar.
Bila kita mencontoh Amerika Serikat, denda ditetapkan dengan cara kerugian dikembalikan dahulu, baru kemudian ditambah 30% dari keuntungan yang dinikmati, baru kemudian para pihak terbebas dari hukuman penjara.
Kemudian press release Bapepam-LK tersebut juga tidak menyinggung soal penegasan tindak pidana oleh para pihak (tersangka) dengan alasan kesulitan penuntutan pidana. Memang menurut ayat nomor 102 ayat 3 penuntutan pidana diatur dengan peraturan pemerintah (PP), sayangnya PP tersebut hingga sekarang tidak pernah diterbitkan oleh pemerintah. Dengan ketiadaan PP seharusnya Bapepam-LK melimpahkan kasusnya ke pengadilan umum. Namun dengan dijatuhkannya sanksi tersebut Bapepam-LK telah melakukan abuse of power. Di sini tidak ada pemisahan fungsi penyidikan, penuntutan, dan penindakan. Seharusnya tindak pidana dijelaskan dulu. Sementara dalam kasus ini, tindak pidana tidak dijelaskan (tidak ada daftar hitam pelaku), namun tiba-tiba Bapepam-LK sudah menjatuhkan sanksi administratif. Bahkan dalam beberapa kesempatan ketua Bapepam-LK, A. Fuad Rahmany mengatakan bahwa keputusan ini merupakan final. Sehingga tidak mungkin akan dibawa ke pengadilan. Jadi jelas tidak mungkin bisa menimbulkan efek jera yang selalu didengung-dengungkan oleh aparat dalam upaya penegakan hukum.
Soal keengganan Bapepam-LK untuk memproses pidana para pihak yang sering dikatakan sesuai dengan pasal 184 KUHAP yang mengharuskan alat bukti harus tertulis, sementara data transaksi di lantai bursa elektronik, juga tidak beralasan. Karena di UU No. 8 tahun 1998 angka 28 pasal 7 dijelaskan bahwa data transaksi di bursa efek adalah elektronik. Mengacu ke penjelasan ini, sebenarnya alat bukti cukup dengan data elektronik di bursa saham tersebut.
Jadi apa yang dilakukan oleh Bapepam-LK dengan menjatuhkan sanksi denda kepada sembilan orang ini adalah suatu upaya yang minimalis. Kasus insider trading yang merugikan publik hanya dikenakan sanksi yang sangat minimal dan terkesan asal-asalan. Sementara kasus lain yang berkaitan dengan kasus tersebut, yaitu upaya menurunkan harga saham PT PGAS yang berdampak korupsi, yang merugikan negara tidak pernah diproses.
Di balik kasus insider trading tersebut, ada upaya-upaya menjatuhkan harga saham PT PGAS sehingga pada saat proses divestasi PT PGAS harga sahamnya jatuh. Dengan demikian target APBN sebesar Rp 2,3 triliun tidak terpenuhi. Kasus ini tidak pernah muncul dipermukaan dan memang sengaja ditutup-tutupi. Mantan Menteri BUMN Sugiharto kala itu mengatakan bahwa memang harga saat divestasi memang serendah itu. Padahal dibalik itu sebenarnya ada upaya pengerekan harga saham sehingga jatuh sampai level yang sangat rendah. Adanya manipulasi ini jelas merugikan negara, namun Bapepam-LK tidak pernah melakukan proses terhadap kasus ini.
Pola dan modus yang dipakai dalam divestasi PGN (PT PGAS) yakni yang dilakukan saat indeks dan bursa tengah semarak, namun harga saham PGN dibursa dibuat turun. Pola yang sama terjadi pula pada divestasi Indosat dan Bank Central Asia (BCA).
Tahun 2008 pemerintah berencana melakukan privatisasi terhadap kurang lebih 28 BUMN. Sungguh kekhawatiran kejadian yang sama akan terjadi dengan potensi kerugian yang luar biasa besar.
Setelah melihat kinerja dan fakta yang terjadi seperti ini memang sudah tidak bisa berharap banyak pada Bapepam-LK. Seharusnya kejaksaan dan KPK bisa secara aktif melakukan proses penyidikan dan proses hukum lebih lanjut. Namun kejaksaan sepertinya tidak pernah bergeming. Sementara KPK [jilid II] telah mengalami