Satu Tahun Komisi Yudisial (KY); Harapan di Tengah Mafia Peradilan
Hari ini, 2 Agustus, Komisi Yudisial (KY) berusia satu tahun. Momen satu tahun KY ini dapat dijadikan refleksi bersama. Betapa tidak, sejak awal kehadiran dan kelahirannya, KY telah menimbulkan pro dan kontra seputar seberapa jauh kewenangan melakukan intervensi atas otonomi lembaga peradilan.
Karena itu, dalam pentas dunia hukum pada tahun terakhir ini, telah kita saksikan bersama-sama tarik-menarik antara KY dan MA. Bahkan, Presiden SBY sempat memberikan atensi terhadap pertikaian tersebut.
Lantas, bagaimana wajah peradilan kita yang ditengarai banyak pengamat sarat dengan mafia peradilan? Meskipun untuk dapat disebut sebagai benar-benar mafia yang terstruktur dan jaringan rapi barangkali terlalu berlebihan. Karena itu, sebutan mafia peradilan lebih memberikan perhatian serius terhadap penegak hukum.
Spirit pembentukan KY adalah untuk mengatasi mafia peradilan yang telanjur mengakar dalam lembaga peradilan di Indonesia. Seharusnya, kewenangan KY dikembalikan pada spirit tersebut, kata Ketua KY Busyro Muqodas (JP/31/7).
Ketua KY tersebut juga prihatin ketika melihat 31 hakim agung menuntut uji materiil terhadap wewenang KY dalam pengawasan hakim. Lebih jauh dia juga menyayangkan pemerintah dan DPR yang tidak merespons. Pada awal pembentukan, presiden memang terkesan mendukung. Tapi akhir-akhir ini, masyarakat bisa melihat sendiri, presiden terkesan setengah-setengah untuk memberantas mafia peradilan.
Sekilas KY
Bukan pekerjaan mudah menyinergikan Mahkamah Agung (MA) dan KY. Mengingat dua lembaga itu berbeda. Memang tidak harus disatukan, tetapi pada tingkat misi besar, keduanya harus mengemban cita-cita luhur bangsa dan harus seiring.
KY seperti halnya komisi yang lain, misalnya, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), awal kelahirannya menjadi bumerang bagi pihak penyidik. Tetapi karena ada aturan main yang jelas, persoalannya menjadi tereliminasi sendiri meski hingga kini masih menyisakan problem.
Dengan demikian, muncul banyak pertanyaan, kenapa di Indonesia sekarang ini lebih banyak bermunculan komisi-komisi. Bukankah secara kelembagaan bangsa Indonesia telah terpenuhi dengan lengkap berupa perangkat birokrasi penegak hukum. Sebagai negara yang memasuki transisi demokrasi seperti sekarang ini, Indonesia memerlukan lembaga extra not instant agar demokrasi cepat terwujud.
Karena itulah, perlu pemahaman konsep ideal tentang KY itu sendiri. Sebenarnya, ide tentang perlunya suatu komisi khusus untuk menjalankan fungsi-fungsi tertentu yang berhubungan dengan kekuasaan kehakiman bukanlah hal baru.
Dalam pembahasan RUU tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman sekitar 1968, sempat diusulkan pembentukan lembaga yang diberi nama Majelis Pertimbangan Penelitian Hakim (MPPH). Majelis ini berfungsi memberikan, mempertimbangkan, dan mengambil keputusan terakhir mengenai saran-saran dan atau usul-usul yang berkenaan dengan pengangkatan, promosi, kepindahan, pemberhentian, dan tindakan atau hukuman jabatan para hakim yang diajukan oleh Mahkamah Agung (MA) maupun menteri kehakiman.
Namun dalam perjuangannya, ide tersebut menemui kegagalan dan tidak berhasil dimasukkan dalam UU No 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman.
Ide tersebut muncul kembali dan menjadi wacana kuat sejak adanya desakan penyatuan atap bagi hakim pada 1998-an. Sebagaimana diketahui, pada 1998, Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) mengeluarkan Ketetapan MPR RI No X/MPR/1998 tentang Pokok-Pokok Reformasi Pembangunan dalam Rangka Penyelamatan dan Normalisasi Kehidupan Nasional sebagai Haluan Negara.
Tap MPR tersebut menyatakan perlunya segera diwujudkan pemisahan yang tegas antara fungsi-fungsi yudikatif dan eksekutif.
Ternyata, masalahnya tidak sesederhana itu. Setelah adanya komitmen politik untuk memberlakukan penyatuan atap - pemindahan kewenangan administrasi, personel, keuangan, dan organisasi pengadilan dari departemen ke MA- muncul kekhawatiran baru.
Menurut pendapat sekretaris eksekutif LeIP, yaitu kekhawatiran akan lahirnya monopoli kekuasaan kehakiman oleh MA. Selain itu, ada kekhawatiran bahwa MA tidak akan mampu menjalankan tugas barunya itu dan hanya mengulangi kelemahan selama ini.
Bahkan, pandangan yang lebih pesimistis menyatakan, tidak mungkin MA dapat menjalankan fungsi yang seharusnya diemban dalam penyatuan satu atap secara baik karena mengurus dirinya sendiri saja MA tidak mampu.
Kekhawatiran lahirnya monopoli kekuasaan kahakiman oleh MA dirasakan pula oleh tim kerja terpadu mengenai pengkajian pelaksanaan Tap MPR No X/MPR/1998 berkaitan dengan pemisahan yang tegas antara fungsi-fungsi yudikatif dan eksekutif (tim kerja terpadu).
Tim yang dibentuk dengan Keppres No 21/1999 dan terdiri atas multistakeholders tersebut merekomendasikan perlunya pembentukan Dewan Kehormatan Hakim (istilah yang mereka gunakan untuk Komisi Yudisial) yang berwenang mengawasi perilaku hakim, memberikan rekomendasi mengenai rekrutmen, promosi, dan mutasi hakim, serta menyusun code of conduct bagi hakim.
Karena itu, hampir seluruh rekomendasi tim tersebut kemudian diadopsi dalam Penjelasan Umum UU No 35/1999 tentang Perubahan atas Undang-Undang No 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman.
Di negara lain, keberadaan komisi semacam itu merupakan hal yang jamak. Bahkan, seorang pakar asing pernah menyatakan bahwa keberadaan komisi semacam itu sudah menjadi tren di negara yang berciri demokrasi modern. Walaupun demikian, fungsi, organisasi, dan penamaannya berbeda antara satu negara dan negara lainnya.
Di Afrika Selatan dikenal lembaga yang disebut Judicial Service Commission yang berfungsi memberikan rekomendasi dalam hal pemberhentian hakim, mengajukan calon ketua MA, dan memberikan masukan dalam pengangkatan ketua serta wakil ketua MK.
Moh Ma