SBY Bersihkan Birokrasi MA; Pegawai Dikurangi Separo, Jadi Contoh Good Governance
Pemerintah ingin membuktikan keseriusannya membenahi birokrasi yang buruk. Tak tanggung-tanggung, reformasi birokrasi ini akan dimulai dari MA (Mahkamah Agung).
Pemerintah menunjuk MA sebagai proyek percontohan reformasi menuju tata kelola pemerintahan yang baik (good governance). Sebagai langkah awal, MA disarankan mengurangi separo pegawai nonhakim yang jumlahnya mencapai 1.200 orang.
Rencana reformasi birokrasi itu dibahas dalam rapat terbatas di Istana Kepresidenan kemarin. Rapat yang dipimpin Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan didampingi Wapres Jusuf Kalla itu dihadiri Menko Polhukam Widodo A.S., Menko Kesra Aburizal Bakrie, Menko Perekonomian Boediono, Menkeu Sri Mulyani, Menkominfo Sofyan Djalil, MenPAN Taufiq Effendi, Men PPN Paskah Suzetta, Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh dan Kapolri Jenderal Pol Sutanto.
Selain itu, ada Ketua KPK Taufiequrrachman Ruki, Wakil Ketua KPK Erry Riyana Hardjapamekas, serta dua petinggi Partnership for Government Reform H.S. Dillon dan Bambang Widjojanto.
Ruki mengatakan, MA ditunjuk sebagai proyek percontohan karena lembaga peradilan dan MA bukan institusi yang besar. Jumlah hakim MA hanya berkisar 6 ribu orang, sehingga permasalahannya tidak terlalu rumit.
Hakim MA jumlahnya juga sedikit, tapi dia perlu dibantu. Saya informasikan, pegawai di MA kelebihan 200 persen dari kebutuhan. Bagaimana mereka perbaiki, itu perlu dibantu pemerintah, kata Ruki usai pertemuan. Menurut dia, reformasi birokrasi di MA tidak akan menyentuh administrasi perkara dan proses pemutusan perkara, sehingga tidak mengurangi independensi lembaga peradilan.
Yang disentuh goverment reform itu back support-nya. Misalnya, bagaimana mereka mengambil SDM, mengelola keuangan, dan sistem informasi. Saya wanti-wanti pemerintah untuk tidak menyentuh proses perkara karena kita harus melindungi independensi pengadilan, tegasnya.
Ruki menjelaskan, detail rencana reformasi birokrasi di MA tengah dibahas Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara, Menteri Keuangan, KPK, dan Kepala Bappenas. Tapi, fokus awal pada pengurangan separo dari jumlah pegawai nonhakim. Kemudian sistem informasi teknologinya kita perbaiki. Mudah-mudahan hakim di masa depan tidak perlu bawa buku tebal. Cukup bawa flash disk yang isinya berbagai aturan UU ditaruh di laptop sehingga siap dipresentasikan, paparnya.
Ruki mengungkapkan, desain reformasi birokrasi juga termasuk rencana kenaikan gaji bagi hakim di seluruh lembaga peradilan. Meski enggan mengungkapkan hasil keputusan rencana kenaikan gaji hakim, Ruki menegaskan besarannya lebih masuk akal.
Tadi Kapolri juga katakan, dengan gaji yang dibayar sebesar itu (seperti sekarang, Red), kita jangan berharap memiliki hakim yang betul-betul punya integritas. Karena, gaji bukan semata untuk welfare, tapi juga melindungi integritas, ujar Ruki.
Ruki menegaskan, reformasi birokrasi dilakukan dalam memanfaatkan momentum pemberantasan korupsi yang menguat sejak 2005/2006. Pasalnya, berdasar pengalaman masa lalu, pemberantasan korupsi selalu diarahkan ke penindakan dan tidak pernah berbicara pencegahan.
Kita lihat 30 tahun lalu, Operasi Tertib menangkap seorang hakim dan Kapolri saat itu bertindak tegas menahan dan menyidik seorang jenderal polisi. Tetapi, momentum itu hilang begitu saja. Ini harus dimanfaatkan pemerintah dengan melakukan upaya pencegahan tipikor (tindak pidana korupsi) di masa mendatang, urainya.
Setelah MA dan lembaga peradilan, reformasi birokrasi akan dilanjutkan ke Kejaksaan Agung, Polri, menyusul Ditjen Perpajakan, Ditjen Imigrasi, Ditjen Bea Cukai, BKPM, dan BPN. Intinya, semua lembaga yang terkait pelayanan publik dan masalah perizinan, terang Ruki.
Direktur Indonesia Court Monitoring (ICM) Denny Indrayana menyambut baik gagasan pemangkasan pegawai nonhakim di MA. Saya sepakat, memang harus ada efisiensi kepegawaian di MA sehingga bisa lebih langsing, kata Denny. Dia melihat pegawai di MA banyak, tapi kerjanya tidak optimal.
Denny menambahkan, kesejahteraan yang kurang juga mendorong maraknya jual beli perkara atau makelar perkara di MA. Karena kesejahteraan kurang, mendorong mereka untuk ngobjek mencari tambahan penghasilan dengan mencari celah, ujarnya. Dia mencontohkan pegawai MA yang memanfaatkan kesempatan untuk memungut uang dari pihak beperkara bila hendak mendapatkan berkas perkara.
Efisiensi perlu segera dilakukan, tegasnya. Dari efisiensi itu, kata dia, ada dua aspek yang harus diperhitungkan. Yaitu, profesionalitas dan integritas. Jadi, yang disisakan nanti orang yang memang profesional, mempunyai kemampuan, dan tidak terlibat jual beli perkara, katanya. Sistem kerjanya juga harus dibenahi. Bila pegawainya dipangkas, tapi sistem kerja tidak diubah, ya sama saja, lanjutnya.
Aktivis Partnership for Governance Reform Mas Ahmad Sentosa mengatakan, penunjukan MA sebagai pilot project reformasi birokrasi dilatari lembaga itu paling siap menjalankan program tersebut. Pada 2003, MA sudah punya cetak biru yang pada dasarnya bagaimana pengembangan dan pembaruan sistem birokrasi, sistem penanganan perkara, rekrutmen, diklat, dan juga sistem informasi yang bisa diakses publik. Pak SBY ingin memfasilitasi agar program tersebut bisa dijalankan, kata aktivis yang akrab disapa Ota itu.
Menurut dia, MA sekarang tinggal melaksanakan sejumlah isu penting termuat dalam cetak biru tersebut. Yakni, melakukan akselerasi dari berbagai program yang sudah dituangkan dalam cetak biru. Baru setelah itu dilakukan assessment tentang kebutuhan sumber daya manusia (SDM) di MA, jelasnya. Selebihnya, perlu dibahas usul kenaikan kesejahteraan aparat penegak hukum.
Bukankah program tersebut ada sejak 2003, tapi mengapa baru dilaksanakan sekarang? Ota mengakui, pelaksanaan poin yang tertuang dalam cetak biru mengalami berbagai hambatan. Ini bukan adanya resistensi. Tetapi, isu tersebut memang butuh pemahaman mendalam yang tidak hanya dilakukan ketua MA, juga para hakim agung. Dengan kata lain, cetak biru itu perlu proses internalisasi lagi, jelasnya. (noe/lin/agm)
Sumber: Jawa Pos, 16 Februari 2006