Sebuah Momentum untuk Mereformasi Reserse?
Langkah pembenahan ke dalam secara sistematis tampaknya sedang dilakukan oleh Kepala Kepolisian Negara RI Jenderal (Pol) Sutanto. Setelah menggebrak keluar dengan operasi judi dan narkoba, serta mengobrak-abrik jaringan teroris, kini seorang jenderal polisi berbintang tiga sudah ditahan. Sebuah langkah yang patut didukung.
Pengangkatan Inspektur Jenderal Jusuf Manggabarani sebagai Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan (Propam) Polri memang membuat banyak perwira polisi ketar-ketir. Tidak hanya para perwira pertama dan menengah, tetapi juga para perwira tinggi yang merasa punya kesalahan. Sebab, sosok Jusuf Mangga, begitu jenderal polisi berbintang dua itu dikenal, memiliki komitmen dan disiplin tinggi.
Seorang perwira menengah, misalnya, pernah bercerita tentang sebuah perbincangan kecil antara mantan petinggi Polri dan Jusuf Manggabarani. Dalam perbincangan itu, sang jenderal bintang tiga itu dengan merendah berucap, nasibnya kini tergantung pada Jusuf Mangga.
Tentu saja Jusuf menjadi kikuk dan memberikan jawaban yang intinya bahwa nasib seseorang berada di tangan Tuhan.
Kriminolog dari Universitas Indonesia (UI) Adrianus Meliala, yang lama bergaul dengan polisi, mengatakan, Jusuf Mangga adalah sosok polisi masa depan yang lurus, tanpa kompromi, dan berani mengambil sikap bila pilihannya dia nilai benar.
Bambang Widodo Umar, pengamat kepolisian yang juga dosen pascasarjana Kajian Ilmu Kepolisian UI, mengatakan, penempatan Jusuf sebagai Kadiv Propam merupakan pilihan tepat. Penempatan Jusuf Mangga pada posisi strategis itu setidaknya memberikan harapan baru dalam penegakan hukum.
Terlepas dari semua penilaian dan harapan itu, langkah Jusuf Mangga menahan Komisaris Jenderal Suyitno Landung—menyusul penahanan Brigjen (Pol) Samuel Ismoko dan Komisaris Besar Irman Santoso sebelumnya—adalah salah satu hal yang memberikan harapan itu.
Pertanyaannya, apakah penahanan terhadap Suyitno akan menjadi tonggak perubahan Polri di bidang reserse?
Jangan berhenti pada Landung
Penahanan terhadap Landung itu, kata Bambang, adalah momentum bagi Kepala Polri Sutanto untuk membenahi bidang reserse, atau lebih sempit lagi membenahi kinerja penyidik di Mabes Polri.
Suyitno sudah ditahan sebagai tersangka tindak korupsi, penyuapan, dan pemerasan. Namun, jangan lupa bahwa proses suap- menyuap melibatkan dua pihak. Karena itu, Sutanto juga harus berani mengungkap sejumlah orang yang selama ini kerap menjadi perantara kasus, dalam hal ini kasus pembobolan BNI yang merugikan negara Rp 1,2 triliun.
Di Mabes Polri itu ada sejumlah orang yang menjadi perantara perkara. Mereka ini orang luar Polri yang biasa keluar masuk ke dalam dan bertemu dengan pejabat-pejabat untuk membelokkan perkara. Orang seperti ini juga harus ditindak dan tidak bisa dibiarkan karena merusak, kata Bambang, Jumat (23/12).
Dalam penanganan sebuah kasus, peran perantara kerap begitu vital dalam upaya membelokkan arah penyelidikan dan penyidikan.
Lebih jauh, Bambang mengatakan bahwa dalam penanganan kasus BNI oleh polisi, ada mekanisme yang tak bisa dilewatkan. Polisi dalam menangani kasus BNI tentu melalui mekanisme gelar perkara. Apalagi kasus BNI merupakan kasus rumit dan besar implikasinya, karena itu pasti ada gelar perkara.
Gelar perkara yang biasanya dihadiri oleh pimpinan Polri, penyidik, saksi ahli, dan juga penyidik bidang lain bertujuan untuk mencari arah penyelidikan dan penyidikan agar tidak menyimpang. Misalnya saja menetapkan siapa saja sebagai tersangka, apa barang buktinya, di mana saja kemungkinan asetnya berada, serta strategi pengungkapan kasus itu.
Dalam kasus BNI, gelar perkara tentu dilakukan di hadapan pimpinan Polri, katanya.
Setelah dilakukan gelar perkara, setiap perkembangan penyelidikan dan penyidikan harus dilaporkan ke pimpinan tertinggi dalam gelar perkara itu. Ini dilakukan untuk menghindari terjadinya penyimpangan. Bila sekarang ada indikasi terjadi penyimpangan, tentu kasus ini hendaknya tidak berhenti pada Suyitno saja, tetapi juga harus berani diungkap semua yang terlibat.
Potensi penyimpangan
Bidang reserse, mulai dari tingkat kepolisian sektor hingga Mabes Polri, memiliki potensi besar bagi terjadinya bentuk penyimpangan sebagai akibat ”dilekatkannya” diskresi yang dimiliki masing-masing individu anggota polisi yang tidak mendapatkan kontrol ketat.
Hak diskresi (hak untuk mengambil keputusan sendiri dalam situasi mendesak) inilah di antaranya yang memunculkan berbagai bentuk penyimpangan sehingga melahirkan realitas lain berupa sisi gelap dunia polisi (the drak sides of police world).
Penelitian yang dilakukan Dr Jusuf dalam meraih disertasinya berjudul: Reserse dan Penyidikan, Sebuah Studi tentang Interpretasi dan Implementasi Prosedur Penyidikan Kasus Kriminal, menunjukkan, diskresi lebih merupakan kewenangan atasan yang berpangkat perwira.
Pola diskresi juga tidak jelas. Bagi polisi rendahan sendiri, diskresi adalah monopoli kewenangan yang dimiliki para perwira daripada sebagai sesuatu yang juga melekat dalam diri mereka yang berpangkat bintara.
Lemahnya transparansi dan akuntabilitas publik dalam masalah ini mengakibatkan diskresi organisasi kepolisian yang dikenal secara universal menjadi sebuah praktik yang sangat mudah diasosiasikan dengan praktik korupsi atau bentuk lain penyalahgunaan kewenangan. Bentuk lainnya, dalam menangani perkara muncul pengalihan kasus pidana ke perdata atau dihentikan penyidikannya (SP-3) karena alasan tidak cukup bukti, bukan pidana, dan demi alasan hukum.
Contoh kasus penyimpangan diskresi yang kerap terjadi pada penanganan kasus pencurian kendaraan bermotor. Dalam masalah ini, seorang penyidik kerap mengambil kebijakan yang berstandar ganda (mendua). Misalnya saja korban pencurian motor tak bisa mengambil barang bukti motor atau mobil yang dicuri sampai putusan tetap di pengadilan. Tetapi di sisi lain, banyak orang yang bisa mendapatkan hak istimewa itu.
Dalam kasus yang lebih besar lagi, misalnya saja penanganan kasus korupsi, diskresi yang memihak kerap diberlakukan kepada para koruptor kelas kakap dengan alasan penangguhan penahanan. Orang bisa tidak ditahan asalkan tidak lari, menghilangkan barang bukti, dan tidak mempersulit penyidikan. Masyarakat bisa memantau satu hal, yaitu tersangka tidak lari.
Akan tetapi, dalam urusan mempersulit penyidikan dan menghilangkan barang bukti, tentu hanya penyidik, tersangka, dan pengacaranya saja yang tahu....(Hermas Efendi Prabowo)
Sumber: Kompas, 9 Januari 2006