Sebuah Ritual Mencari Hakim
Dua hari ini adalah hari besar bagi Komisi Yudisial. Komisi ini akan melakukan wawancara terbuka kepada sembilan calon hakim agung yang dinilai telah lolos profile assessment atau penilaian kepribadian. Inilah ajang pertama KY dalam merekrut calon hakim agung.
Pertanyaannya, mampukah Komisi Yudisial (KY) menghasilkan hakim agung yang berintegritas dan berkualitas baik? Ini sungguh menjadi tantangan besar bagi KY, terlebih pascaputusan Mahkamah Konstitusi yang membatalkan fungsi pengawasan Komisi Yudisial.
Pascaputusan MK, KY hanya memiliki taring di seleksi hakim agung. Ini taruhan besar. Jika KY mampu memproduksi hakim agung yang berkualitas, KY akan mendapatkan legitimasi, tetapi kalau gagal, KY akan semakin kehilangan legitimasi konstitusional, kata ahli hukum tata negara A Irman Putrasidin.
Peringatan Irman memang beralasan. Harapan publik akan hadirnya hakim agung berkualitas dari tahun ke tahun tetap saja muncul, terutama bagi pencari keadilan termasuk investor.
Namun, faktanya, publik masih saja dipertontonkan praktik mafia peradilan di lembaga peradilan Indonesia ini. Praktik mafia peradilan yang berhasil diungkap adalah tertangkapnya pengacara Probosutedjo, Harini Wijoso, beserta lima pegawai Mahkamah Agung.
Oleh karena itu, harapan publik terhadap hasil seleksi KYl untuk mendapatkan hakim agung yang berkualitas sangat besar. Namun, melihat sembilan calon hakim agung yang lolos, kritik pun bermunculan. Apakah metode Komisi Yudisial ini akan mampu menghasilkan hakim agung yang berkualitas? Tidak ada jaminan. Apalagi publik tidak mengetahui bagaimana KY mengombinasi antara laporan masyarakat yang masuk dan wawancara yang hanya sembilan jam. Terlebih publik juga tidak mengetahui bagaimana calon bisa lolos atau tidak dari profile assessment? Banyak desas desus calon hakim agung yang lolos bermasalah, tetapi mereka lolos, kata Irman.
Mantan hakim agung Benjamin Mangkoedilaga juga mempersoalkan mengenai metode seleksi yang dilakukan KY. Menurut Benjamin, metode yang dilakukan KY dinilai mematikan harapan hakim karier untuk bisa menjadi hakim agung.
Argumen Benjamin didasari fakta bahwa dari 126 calon yang melamar ke KY, setelah proses seleksi dilakukan ternyata dari sembilan calon hakim agung terpilih tiga calon hakim yang berasal dari jalur hakim karier.
Bagi Benjamin, seorang hakim agung harus berasal dari karier karena untuk menjadi hakim tidak bisa dilahirkan, tetapi dia harus mengalami proses panjang bertahun-tahun.
Memang di beberapa negara ada perkecualian, yaitu dengan merekrut mereka yang memiliki kapasitas tertentu, tetapi tidak dalam jumlah banyak, kata Benjamin.
Namun, saat dikonfirmasi mengenai adanya semangat masuknya orang dari luar untuk menduduki posisi hakim agar terjadi perubahan dan perbaikan sistem di dalam MA, Benjamin malah balik bertanya, Sekarang mana hakim agung nonkarier yang bersuara dan melakukan perubahan di MA? Tidak ada. Dulu masyarakat berharap banyak pada Valerine, Bagir Manan, Artidjo, dan yang lainnya, tetapi ternyata mereka larut dalam sistem.
Metode seleksi
Menurut Irman, problemnya bukan dikotomi antara hakim karier dan nonkarier, tetapi bagaimana bisa mendapatkan hakim yang berkualitas baik kualitas integritas maupun kualitas kapabilitas.
Model wawancara secara terbuka sebelumnya dilakukan DPR setelah memperoleh nama calon hakim agung yang diajukan Mahkamah Agung. Namun, dari beberapa tes kelayakan dan kepatutan yang digelar DPR, ternyata minim sekali laporan masyarakat yang masuk. Bahkan, dalam tes pada 15 Juni 2006, pertanyaan anggota DPR nyaris tanpa peluru dari publik. Akibatnya, upaya mengorek lebih jauh tentang siapa calon hakim agung yang diuji itu gagal.
Menurut anggota KY Soekotjo Soeparto, KY telah beberapa kali menyeleksi, mulai dari seleksi administratif, profile assessment, investigasi calon, hingga wawancara. Soekotjo mengatakan, tujuh anggota KY sudah terjun ke lapangan melakukan pengecekan atas laporan masyarakat tentang sang calon. KY, kata Soekotjo, sudah memiliki banyak masukan dari masyarakat dan sudah memiliki hasil investigasi yang dilakukan investigator KY.
Anggaran untuk melakukan seleksi calon hakim agung ini bernilai Rp 2,7 miliar. Saat ini sudah terpakai Rp 2 miliar, dan masih terdapat sisa Rp 700 juta. Menurut Sekjen KY Muzayyin Mahbub, ada tiga komponen yang menghabiskan anggaran besar, yaitu seleksi kesehatan Ikatan Dokter Indonesia sekitar Rp 900 jutaan, untuk profile assessment menghabiskan anggaran sebesar Rp 142 juta plus konsultan perencana sebesar Rp 40 juta, serta pengumuman di media massa sebesar Rp 700 jutaan.
Irman menyangsikan kalau KY bisa mendapatkan hakim agung yang berkualitas. Ia mengkritik metode yang digunakan KY, yaitu profile assessment yang menimbulkan tanda tanya mengapa beberapa calon yang diduga bermasalah lolos seleksi, sedangkan calon lain yang tidak terlilit masalah tetapi tidak lolos seleksi, metode pelacakan diri sang calon, termasuk juga laporan masyarakat yang masuk ke KY, dan metode investigasi KY.
Saya mau mengkritik, bagaimana investigator mau menginvestigasi seseorang, tetapi ia menyebutkan kalau investigator A memeriksa x, y, z, dan investigator lain menginvestigasi a, b, c. Ini akan membuka peluang kongkalikong. Lalu pertanyaan kedua, bagaimana KY bisa menginvestigasi seseorang dalam wawancara sekitar setengah jam, ujar Irman.
Kritik Benjamin hampir senada. Ia malah menyebut tes profile assessment bukan untuk mencari seorang hakim agung, melainkan untuk mencari seorang pilot. Kenapa saya bilang mencari pilot? Karena yang dites itu kecepatan, menghitung cepat, lalu menggambar, kata Benjamin.
Soekotjo Soeparto menjelaskan, PPSDM Consultant terpilih berdasarkan hasil tender terbuka dari 10 pelamar. Kami hanya menyampaikan ukuran kami, yaitu alur pikir, alur kepribadian, alur kebijakan, dan alur integritas. Komposisinya alur pikir 20 persen, alur kebijakan 20 persen, alur kepribadian 25 persen, dan integritas 35 persen, kata Soekotjo.
Soal adanya beberapa calon yang diduga bermasalah, Soekotjo mengatakan, KY juga melakukan investigasi dan pengecekan terhadap calon. Informasi masyarakat harus kami cek silang sendiri dan investigasi yang dilakukan membantu kami mengambil keputusan. Kami tidak mau membuat putusan sembarangan. Ini pengalaman pertama kami, ujar Soekotjo.
Memang KY harus berhati-hati dalam memilih calon hakim agung. Jika KY memang ingin membersihkan MA, tentu KY harus memilih calon hakim agung berkualitas. Jangan sampai frasa membersihkan tubuh peradilan hanya menjadi frasa yang mudah diucapkan. (Vincentia Hanni S)
Sumber: Kompas, 31 Oktober 2006