Sedikit demi Sedikit Menjadi Bukit
Namanya donasi, biasanya penerima akan menutup mata siapa dan dari mana asal usul pemberian. Haram atau halal, tidak masalah. Namun, donasi yang diterima Indonesia Corruption Watch diharapkan berasal dari keringat para pendukung. Ini semakin meneguhkan rasa tanggung jawab dalam memanfaatkannya.
Sejak pertengahan 2011, Indonesia Corruption Watch memulai pengumpulan dana publik (public fund raising). Selain dengan menjual pernak-pernik bernuansa kampanye antikorupsi, diterima pula donasi rutin dari masyarakat. Besarnya mulai Rp 75.000 sampai Rp 10 juta per bulan.
Namun, kata salah seorang petugas pengumpul dana, Devita (23), screening diterapkan untuk calon donatur lebih dari Rp 1 juta. Setidaknya, calon donatur tidak terlibat kasus korupsi dan sumber dana bukan bagian dari tanggung jawab sosial perusahaan (CSR). Penarikan dana pun dilakukan antar-rekening bank melalui autodebet atau transfer serta kartu kredit.
Saat ini sudah terdaftar sekitar 1.300 donatur. Donasi yang terkumpul berkisar Rp 50 juta per bulan. Namun, karena setiap orang bisa dikatakan memberi ”uang receh”, tidak seorang pun dapat mendominasi, apalagi mengintervensi kerja ICW. Kerennya, ”the power of many, not the power of money”! Kalau di Indonesia, ”sedikit-sedikit menjadi bukit”.
Mandiri
Koordinator Badan Pekerja ICW Danang Widoyoko menjelaskan, krisis yang mendera Eropa pada 2008 membuat ICW memikirkan cara mendapatkan sumber dana secara lebih mandiri. Kekhawatiran berkurangnya donor dari lembaga asing memang mulai terjadi.
Di sisi lain, kata Danang, ICW memiliki modal sosial yang bisa dikonversi ke modal finansial. Karena memiliki jaringan dan dinilai berkinerja baik, ketika ICW meminta bantuan, masyarakat menanggapinya. ”Ini sekaligus mematahkan anggapan bahwa masyarakat kita tidak punya tradisi filantropi selain untuk bencana. Selama ini memang tidak ada yang minta dan memfasilitasi,” ujarnya.
Di sisi lain, dengan sumber dana dari masyarakat, ICW harus selalu menjaga transparansi pengelolaan keuangannya. Ketika lalai, tentu donatur akan kehilangan kepercayaan dan menghentikan sumbangannya. Karenanya, laporan keuangan dan kegiatan ditampilkan lengkap di situs www.antikorupsi.org. Ini yang disebut Danang sebagai merawat modal sosialnya.
ICW mendekati masyarakat melalui sekitar 20 pekerja pengumpul dana. Selain menangani administrasi di kantor, pengumpul dana ini juga berkampanye di pusat-pusat perbelanjaan.
Riris, mahasiswa semester VII Jurusan Manajemen YAI, misalnya, aktif mengurus pengumpulan dana ICW bersama Devita, Jane (21), dan Aul (25). Dana yang terkumpul, kata Devita, tidak digunakan untuk operasionalisasi ICW, termasuk gaji pekerja, tetapi untuk pelaksanaan program ICW. Saat ini, beberapa program sedang berlangsung, seperti Save Our Soccer (SOS), Suara Pemuda Antikorupsi (Speak), dan program kerja sama ICW, KPK, dan Indobeat Box-Akustik Antikorupsi.
Pengumpulan dana publik diharapkan bisa membiayai 25 persen kegiatan ICW pada 2011. Targetnya, tiga tahun kemudian, ICW benar-benar mandiri. Harapan ini bukan mustahil. (INA)
Sumber: Kompas, Sabtu, 8 Oktober 2011 | 04:40 AM