Sekolah, Awal (Pemberantasan) Korupsi

Harian ini memberitakan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang melakukan pembelajaran bahaya korupsi di SMAN 1 Tambun Selatan (11/2/2008). Dalam lima tahun belakangan ini, Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) melakukan hal serupa dengan tajuk Penyuluhan Antikorupsi ke berbagai kalangan masyarakat sebagai focus group. Di antaranya adalah guru sebagai komponen utama dalam belajar-mengajar di sekolah. Kedua, kegiatan tersebut dimaksudkan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat dalam mencegah korupsi.

Upaya mencegah korupsi seperti mencegah penyakit. Lebih baik mencegah daripada menangkapi koruptor. Sebab, lebih efektif dan lebih murah. Juga, dengan sosialisasi, diharapkan tidak (akan) tumbuh koruptor baru dari para alumnus sebagai calon pemimpin bangsa.

Pungutan Liar
Komite sekolah masih banyak dikeluhkan masyarakat setempat sebagai macan ompong yang tidak mampu berkiprah serta kinerjanya tidak jelas. Padahal, keberadaannya dimaksudkan sebagai kontrol sosial masyarakat.

Pegawai Dinas Pendidikan yang mewakili pemerintah bukannya membina, tapi tidak sedikit yang justru ibarat pagar makan tanaman. Mereka bertindak sebagai kolektor dan inisiator aneka pungutan liar tersebut.

Konon, pungutan liar seperti itu juga ada dalam pendidikan kedinasan, baik sipil maupun nonsipil. Lebih menyedihkan kalau ternyata pungutan liar sudah berlangsung sejak penjaringan (perekrutan) menjadi pegawai/anggota. Apa yang bisa diharapkan dari aparatur dan aparat seperti itu, jika sinyelemen tersebut benar adanya? Apakah mereka bisa diharapkan untuk taat pada sumpah jabatan atau sumpah prajurit?

Isu jual beli nilai ujian juga santer di mana-mana, bahkan sampai jual beli ijazah. Yang terakhir itu dikenal dengan istilah ijazah aspal (asli tapi palsu). Maksudnya, blangko (dan tanda tangannya) asli, tapi yang bersangkutan tidak pernah kuliah. Berita tentang ijazah (sarjana) aspal tersebut biasanya ramai menjelang pemilu legislatif dan pemilihan kepala daerah (pilkada) yang mensyaratkan calon lulusan SMA atau sarjana.

Uraian tersebut menggambarkan bahwa korupsi (baca: gratifikasi) sudah dikenalkan para guru sejak dini. Bahkan mungkin ada yang sejak TK dan kelompok bermain (KB), sampai lulusannya bekerja serta naik jabatan/pangkat dengan ijazah palsunya.

Atas dasar pemahaman tersebut, tampaknya, KPK dan BPKP melakukan kegiatan sosialisasi antikorupsi itu. Hal tersebut juga sejalan dengan ajakan KPK agar masyarakat melihat, melawan, serta melaporkan korupsi.

Orang Pilihan dan Gaji Layak
Dalam perkembangan reformasi dunia pendidikan, kini sudah ada beberapa daerah yang mampu menggratiskan biaya sekolah untuk tigkat SD sampai SMP sebagai wajib belajar sembilan tahun. Bahkan, ada yang sampai SMA. Misalnya, di Jembrana, Bali, dan DKI Jakarta. Terakhir diberitakan, di Kabupaten Pangkajene Kepulauan (Pangkep), Sulawesi Selatan, juga sudah gratis sekolah mulai SD sampai SMA sejak 2006.

Di Jembrana, pendidikan dilakukan dengan penggeseran anggaran biaya lain yang dianggap belum mendesak serta penggabungan sekolah yang muridnya sedikit. Di DKI Jakarta mungkin dengan meningkatkan alokasi anggaran pendidikan dari pendapatan asli daerah (PAD) yang amat besar nilainya.

Apa pun langkah yang dilakukan gubernur/bupati/wali kota, sepanjang masih diperkenakan menurut ketentuan administrasi keuangan negara/daerah, itu harus didukung. Idealnya, peningkatan anggaran pendidikan tersebut tidak memangkas anggaran kesehatan. Mengingat, murid/siswa tidak bisa belajar baik bila kondisinya tidak sehat. Kedua hak dasar tersebut harus mendapat prioritas tanpa bermaksud mengecilkan sektor lain.

Penggeseran anggaran merupakan pilihan terbaik manakala PAD tidak bisa digenjot lagi dengan mencermati kegiatan lain yang bisa ditunda pada tahun berikutnya secara bertahap atau ditiadakan sama sekali setelah dievaluasi atau dikaji mendalam secara ilmiah. Disebut demikian karena banyak anggaran kegiatan yang dimunculkan tanpa pertimbangan kebutuhan dasar masyarakat dan sering tanpa studi kelayakan yang bisa dipertanggungjawabkan.

Walau banyak hal terkait sebagai penyebabnya, korupsi merupakan akar penyebab berbagai permasalahan tersebut yang bermula, antara lain, dari sekolah oleh para guru. Mungkin, ibu/bapak guru tidak menyadari telah tidak sengaja mengajarkan korupsi ketika berdiri di depan kelas.

Sebagai calon guru, apakah termasuk peringkat 1-10 ketika di SD sampai sarjana? Apakah ketika tes/ujian masuk menjadi guru tidak kasak-kusuk atau menyuap panitia? Apakah selama ini suka membolos? Apakah membiarkan peserta didik mencontek ketika ulangan/ujian? Apakah sudah cukup mempersiapkan materi ajar? Apakah proses kenaikan pangkat sampai golongan IVA tanpa uang pelicin?

Tidak mudah memang menjadi guru yang layak digugu dan ditiru. Apalagi dengan impitan kebutuhan hidup yang tidak cukup dipenuhi dari gaji. Seharusnya, gaji guru berbeda dari PNS lain karena mereka adalah kelompok brahmana, sedangkan PNS adalah abdi negara (ksatria). Selayaknya take home pay para guru memang lebih banyak dari PNS dengan golongan yang sama.

Selama pemerintah memperlakukan mereka sama dengan PNS dan syarat menjadi guru boleh dari lulusan peringkat paling bontot, keadaan tidak akan banyak berubah. Berbeda dari pegawai KPK yang sudah bisa berbicara lantang tentang pemberantasan korupsi karena mereka adalah orang-orang pilihan dengan gaji puluhan juta rupiah.

Pemerintah juga tidak melibatkan Departemen Pendidikan Nasional sebagai komponen dalam percepatan pemberantasan korupsi (Inpres No 5 Tahun 2005). Artinya, kita masih memandang sebelah mata terhadap guru (dan sekolah) sebagai garda terdepan atau awal (pemberantasan) korupsi.

Drs Gede Eka Suryatmaja, akuntan, auditor ahli madya pada Deputi Bidang Investigasi BPKP, Jakarta

Tulisan ini disalin dari Jawa Pos, 25 Februari 2008

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan