Selamatkan Mahkamah Konstitusi: Batalkan Pencalonan Patrialis Akbar Sebagai Hakim Konstitusi!
Pernyataan Pers Bersama
Koalisi Masyarakat Sipil mendapatkan informasi bahwa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) telah menunjuk Patralis Akbar sebagai satu-satunya calon hakim Mahkamah Konstitusi (MK) dari unsur pemerintah untuk menggantikan Achmad Sodiki yang akan pensiun dalam bulan Agustus ini. Jika tidak ada hambatan, direncanakan pasca lebaran/ bulan Agustus 2013 nanti, Patrialis akan dilantik secara resmi oleh Presiden sebagai Hakim MK dari unsur pemerintah.
Penunjukan Patrialis Akbar sebagai calon (tunggal) hakim MK dari unsur pemerintah patut dipertanyakan. Pertama, proses pencalonannya cacat hukum karena melanggar Undang-Undang Mahkamah Konstitusi (UU MK). Pasal 19 UU MK mengatur, bahwa pencalonan hakim konstitusi harus dilaksanakan secara transparan dan partisipatif. Keharusan ini dimaksudkan, agar masyarakat luas bisa turut serta secara aktif, mengetahui setiap proses yang berjalan, dan dapat berperan aktif memberi masukan atas calon yang diajukan, baik oleh DPR, MA, maupun Presiden. Terkait dengan proses seleksinya sendiri, Pasal 20 ayat (2) UU MK memberi ketegasan, pemilihan hakim konstitusi wajib diselenggarakan secara objektif dan akuntabel. Artinya, yang diutamakan adalah profesionalitas, kredibilitas, dan kapabilitas dari para calon, bukan penilaian yang didasarkan pada unsur subjektifitas, dan keseluruhan prosesnya dapat dipertanggungjawabkan secara tanggung gugat (accountable).
Keketatan proses seleksi hakim konstitusi itu tentunya bukan tanpa maksud. Hal ini berkorelasi dengan betapa tingginya pra-syarat yang dibebankan pada seorang calon hakim konstitusi. Pasal 15 UU MK menyatakan, seorang hakim konstitusi harus memiliki integritas dan kepribadian tidak tercela, mampu berlaku adil, serta seorang negarawan yang menguasai konstitusi dan ketatanegaraan. Syarat kualitatif ini sebenarnya memberi pesan, bahwa tidak semua orang bisa dengan mudah menduduki jabatan hakim konstitusi. Fungsi MK, sebagai pengawal (the guardian) dan penafsir (the interpreter) konstitusi, tentunya memberi tanggung jawab yang teramat besar bagi para hakim konstitusi. Mereka harus mampu melindungi seluruh warga bangsa, bersikap imparsial, dan independen, serta negarawan tentunya.
Penunjukan Patrialis sebagai calon hakim konistitusi selain dilakukan secara tertutup juga tanpa pembentukan Panitia Seleksi lebih dahulu. Padahal pada tahun 2008, pemerintah melalui - Wantimpres- membentuk Panitia Seleksi untuk menjaring putra putri terbaik bangsa sebagai calon hakim MK. Saat itu terdapat sedikitnya 15 orang kandidat untuk memperebutkan 3 kursi kosong hakim MK dari unsur pemerintah. Menjadi aneh dan mencurigakan jika sebelumnya melalui tahapan seleksi yang ketat, namun saat ini tiba-tiba Presiden langsung menunjuk Patrialis sebagai calon hakim MK tanpa menjalani mekanisme seleksi.
Kedua, figur Patrialis Akbar sangat dikenal publik sebagai politisi dari Partai Amanat Nasional. Muncul pertanyaan apakah Patrialis Akbar mewakili pemerintah ataukah partai politik? Kenapa harus Patrialis, padahal masih banyak orang-orang diluar politisi yang dianggap layak menjadi Calon Hakim Konstitusi mewakili unsur pemerintah. Dengan masuknya Patrialis Akbar maka komposisi Hakim MK nantinya akan berubah dan tidak seimbang karena terdiri dari 4 orang berlatar belakang partai politik, 3 orang berlatar belakang hakim pengadilan, dan 2 orang berlatar belakang akademisi/birokrasi. Indepedensi MK akan sangat mungkin terganggu karena dominasi kepentingan politik dan hal ini akan menjadi ancaman serius tidak hanya terhadap MK namun juga ancaman demokrasi di Indonesia.
Ketiga, muncul kecurigaan publik bahwa penunjukan Patrialis Akbar sebagai Calon Hakim Konstitusi sebagai bentuk “kompensasi politik” Presiden SBY atas pencopotan Patrialis sebagai Menteri Hukum dan HAM beberapa waktu lalu. Jika proses pemilihan didasarkan pada “kompensasi politik” dengan mengabaikan syarat-syarat sebagai hakim konstitusi yang ditentukan oleh UU MK maka sama halnya Presiden menjadikan MK sebagai “Tempat Pembuangan Akhir” dan mendorong MK menjadi lembaga yang tidak kredibel. Pada sisi lain bukan tidak mungkin penunjukan Patrialis karena adanya “bargaining politic” untuk kepentingan atau pengamanan partai politik tertentu dalam Pemilu 2014 mendatang.
Keempat, Tidak masuk akal dan memperburuk citra pemerintah. Langkah Presiden SBY mencopot Patrialis Akbar sebagai Menteri Hukum dan HAM - dan menggantikannya dengan Amir Syamsuddin – merupakan bukti ketidakpuasan Presiden terhadap kinerja dari Patrialis Akbar. Pencopotan Patrialis juga dapat dimaknai kinerja yang bersangkutan mendapat “rapor merah” dimata Presiden SBY. Maka tidak masuk akal, ketika Presiden SBY menempatkan seseorang yang dikeluarkan dari kabinet karena memiliki “rapor merah”, namun kemudian diusulkan mewakili pemerintah sebagai hakim di MK yang terhormat?
Kelima, penunjukkan Patrialis Akbar tidak memperhatikan rekam jejak (track record) yang bersangkutan selama ini seperti:
1. Pernah Dua kali mengikuti seleksi calon Hakim Konstitusi
Tercatat Patrialis pernah mendaftar seleksi calon Hakim Konstitusi pada tahun 2009 dan 2013. Pada tahun 20o9, Patrialis Akbar (saat itu masih menjabat sebagai Anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Amanat Nasional dan Calon Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dari pemilihan Sumatera Barat) pernah mengikuti seleksi sebagai calon Hakim Konstitusi dari unsur DPR menggantikan posisi Jimly Assidiqie namun gagal dalam fit and proper test. Motivasi mendaftar sebagai calon hakim konstitusi sempat dipertanyakan oleh anggota dewan. Lalu pada awal tahun 2013, Patrialis juga pernah mendaftar sebagai calon hakim konstitusi dari unsur DPR untuk menggantikan posisi Mahfud MD. Namun ketika proses seleksi berjalan ia mengajukan pengunduran diri dan tidak mengikuti fit and propet test di DPR.
2. Pernah mendaftar sebagai calon legislator daerah pada Pemilu 2009
Patrialis pernah mencalonkan sebagai anggota DPD dari Daerah Pemilihan Sumatera Barat dalam Pemilu 2009 namun gagal dalam perolehan suara.
3. Sejumlah Kebijakannya saat menjabat Menteri Hukum dan HAM dinilai tidak pro pemberantasan korupsi
Setelah gagal sebagai calon anggota DPD, Patrialis justru diangkat jadi Menteri Hukum dan HAM di era Pemerintahan SBY jilid kedua. Sejumlah kebijakan/langkah Patrialis saat menjabat sebagai Menteri dianggap komtroversial dan tidak sejalan dengan semangat pemberantasan korupsi antara lain: pemberian “obral” remisi dan pembebasan bersyarat terhadap koruptor, pembangunan sel khusus koruptor di LP Cipinang dan dukungan terhadap pemberian Grasi terhadap Syaukani, mantan Bupati Kutai Kartanegara. Pada era Patrialis juga terungkap skandal sel mewah milik Artalyta Suryani di Rutan Pondok Bambu.
Berdasarkan hal itu dan dalam rangka Menyelamatkan MK maka kami meminta Presiden:
- Membatalkan penunjukan Patrialis Akbar sebagai calon hakim konstitusi dari unsur pemerintah karena prosesnya yang cacat hukum dan berpotensi melemahkan institusi MK.
- Membentuk Panitia Seleksi Calon Hakim Konstitusi dan menjalankan proses seleksi secara transparan, partisipatif dan akuntabel. Langkah ini penting agar seleksi yang dilakukan mampu menjaring calon-calon hakim konstitusi yang memiliki integritas dan kepribadian tidak tercela, mampu berlaku adil, serta seorang negarawan yang menguasai konstitusi dan ketatanegaraan. Sebelum proses seleksi selesai dilakukan maka Presiden wajib memperpanjang masa jabatan Achmad Sodiki selaku hakim konstitusi.
Jakarta, 30 Juli 2013
Koalisi Masyarakat Sipil Selamatkan MK