Semangat Korps Polisi
Dua pernyataan menarik perhatian keluar dari Kepala Kepolisian RI Jenderal (Pol) Bambang Hendarso Danuri dan mantan Kepala Badan Reserse Kriminal Polri Komisaris Jenderal Susno Duadji tentang dugaan makelar kasus, melibatkan Gayus Tambunan dan beberapa perwira kepolisian.
Kapolri menyebutkan peristiwa ini sebagai pembelajaran bagi semua polisi. Sebagai peledak kasus ini di luar institusi Polri, Susno menyebutnya strategi yang telah diperhitungkan setelah kecewa terhadap elite polisi (Kompas, 3/4). Di balik pembersihan institusi penegak hukum, pernyataan Bambang dan Susno memunculkan pertanyaan: ”ada apa dengan Corpsgeest Polri”.
Corpsgeest, semangat korps, sebagai perekat persatuan merupakan fundamen utama bangunan institusi Polri melaksanakan fungsi dan tugas secara profesional. Bagaimana orang bisa percaya kepada polisi jika sebagai pelayan publik, polisi sendiri merepresentasikan institusi yang rapuh? Pelbagai kasus besar yang menggerogoti wibawanya membutuhkan resolusi guna menegaskan kembali komitmen terhadap profesionalisme kerja lembaga publik itu.
Corpsgeest menjadi urgen sejak Kapolri pertama, yang menggunakan istilah itu, menyadari betapa penting persatuan bagi bangunan Polri. Kesadaran diwujudkan pada Oktober 1946 oleh Kapolri RS Soekanto dengan menyelenggarakan Konferensi Dinas Pertama, dihadiri para penilik kepolisian dan para kepala kepolisian karesidenan seluruh Jawa, Madura, dan Sumatera sebagai wilayah RI saat itu. Polri ketika itu meletakkan batu persatuan Korps Kepolisian Nasional sebagai upaya konsolidasi kepolisian di pusat dan di daerah di tengah kritisnya keamanan pada awal pemerintahan RI. Corpsgeest ini jadi dasar bagi pedoman mengubah watak dan moral polisi bekas aparat pemerintah kolonial menjadi aparat Pemerintah RI.
Pembinaan
Menghadapi perubahan dewasa ini, aktualisasi Corpsgeest menjadi tuntutan overall police management reform sebagai fundamen bagi pembaruan sistem, terutama dalam membina hubungan dan tata cara kerja vertikal ataupun horizontal. Yang seharusnya diperhatikan dan ditingkatkan adalah pembinaan berkesinambungan di lapangan oleh atasan langsung yang mampu menjadi panutan pada semua bawahannya. Secara struktur sekarang ini susunan organisasi Polri yang mencakup Mabes Polri, polda, polres, polsek, hingga satuan terkecil, seperti pos polisi di seluruh Indonesia diawaki sekitar 400. 000 polisi.
Ironisnya, penurunan wibawa polisi justru terjadi saat Polri memperoleh apresiasi internasional dalam mengungkap terorisme dan melumpuhkan gembong teroris. Capaian ini ternyata tak otomatis meningkatkan citra polisi di mata masyarakat, bahkan tenggelam di tengah maraknya penyelewengan wewenang memainkan kasus yang menyuburkan praktik makelar kasus. Kewenangan polisi menegakkan hukum inilah di antaranya menjadi lahan terbuka bagi penyimpangan perilaku polisi yang bertentangan dengan nilai dan aturan institusi, serta semangat korps (Thomas Barker, 1999).
Pembangunan citra Polri harus didasarkan pada introspeksi secara jujur yang tecermin dari kinerja, sikap, dan perilaku semua anggotanya, terutama yang langsung bersentuhan dengan masyarakat. Guna meminimalkan tindakan polisi yang tak terpuji, diperlukan pelembagaan pedoman yang efektif dan efisien guna membangun kesetiaan polisi terhadap wewenang serta tanggung jawab yang dijiwai semangat korps dalam melayani publik. Sejak Polri terpisah dari ABRI (TNI), kepolisian mestinya terus membangun identitas dalam mengimplementasikan prinsip korps yang harus dipatuhi polisi sebagai penegak hukum.
Tren penting
Menjaga integritas polisi dapat dilakukan melalui penanaman nilai formal dan nonformal dalam diri personel polisi yang didasarkan pada suatu konsensus. Agar efektif, Corpsgeest memerlukan waktu membentuk karakter yang menggabungkan moral, disiplin, dan misi institusi. Nilai-nilai dalam semangat korps berfungsi sebagai point bagi masyarakat untuk mengetahui keyakinan dasar institusi kepolisian dalam tanggung jawabnya melayani publik.
Integritas polisi terus dituntut oleh masyarakat yang tak menghendaki ketidakjujuran, penyelewengan wewenang, ketidakberpihakan pada kepentingan umum, atau tindakan yang merugikan rakyat. Masyarakat masih prihatin terhadap wewenang dan penyalahgunaan yang menyebabkan rapuhnya dukungan publik terhadap kepolisian. Citra yang ternoda akan berakibat pada turunnya kepercayaan masyarakat terhadap kompetensi polisi melaksanakan tugasnya secara efektif.
Pentingnya persatuan dalam semangat korps Kepolisian Republik Indonesia menjadi kekuatan yang dibutuhkan bagi lembaga yang bertanggung jawab pada tertib hukum dan tertib keadaan umum. Akuntabilitas polisi menjadi ukuran dalam menjamin terselenggaranya pembaruan yang telah dirancang dalam cetak biru Reformasi Polri.
G Ambar Wulan Dosen Kajian Ilmu Kepolisian Pascasarjana UI
Tulisan ini disalin dari Kompas, 8 April 2010