Seragam Baru Terdakwa Korupsi
Pemakaian baju koruptor, tampaknya, tidak lama lagi akan direalisasikan. Berbagai pihak mendukung gagasan KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) agar pesakitan kasus korupsi memperoleh seragam khusus sebagaimana layaknya para pesakitan kasus yang lain.
Kegeraman itu muncul sebagai akibat dalam penanganan kasus suap Ayin, seorang markus (makelar kasus). Dia tidak saja menebar pesona dengan penampilan rupawan dan berdandan bak selebriti, namun juga selalu membawa roti impor buat para suporternya.
Saat ini lembaga antikorupsi tersebut tengah disibukkan rencana hajatan membuat seragam baru bagi pesakitan koruptor. Langkah-langkah teknis itu memang tidak semudah yang dikatakan juru bicara KPK Johan Budi. Sebab, memakaikan seragam bagi koruptor tidak sesimple orang berupacara mengenakan seragam daerah layaknya acara 17-an.
Asas hukum universal menyebutkan bahwa suspect atau tersangka adalah orang yang masih memiliki hak perdata sebagaimana warga masyarakat lain. Artinya, belum ada hukuman tambahan yang bisa dikenakan kepadanya sebelum majelis hakim di dalam persidangan terbuka telah membuktikan kesalahannya dan menjatuhkan hukuman.
Dalam bahasa hukum disebut asas presumptium of innocent yang juga diadopsi dalam KUHP kita sebagai asas praduga tidak bersalah. Oleh karena itu, pengenaan seragam atau baju khusus bagi koruptor harus pula mempertimbangkan hal teknis hukum seperti kapan seragam itu dipakai, apa tulisan yang boleh dicantumkan pada seragam tersebut, dan apa ada aspek legal yurisprudensi yang mengaturnya?
Siapa pun boleh mendukung ide itu tak terkecuali Ketua Komisi Yudisial Busyro Muqodas dan ICW (Indonesia Corruption Watch). Bahkan, ICW telah menyiapkan tidak kurang delapan contoh seragam. Namun, yang menolak tentu saja juga boleh.
Kalau saja semua pranata hukum dipakai, tentu KPK tidak serta merta memakai desain seragam hasil produksi ICW. KPK harus fair mengumumkan secara terbuka kepada masyarakat tentang lomba desain. Ini berkaitan dengan semangat antikorupsi pula. Bukan karena ICW dekat dengan Antashary Ashar, lantas dia mendapat perlakuan khusus.
Persoalan mendasar bagi pemberantasan korupsi di Indonesia sesungguhnya bukan pada seragam atau baju atau cara berdandan seorang tersangka atau terdakwa. Tetapi, pada sikap dasar aparat penegak hukum itu sendiri, khususnya perangkat KPK, seperti jaksa, hakim, dan penyidik KPK.
Kita melihat banyak kasus penanganan korupsi jalan di tempat justru oleh sikap mendua dan tebang pilih KPK. Ketua KPK yang gemar memakai jaket kulit dan jam tangan mahal serta suka diekspos TV selama ini tidak pernah sungguh-sungguh menyentuh pelaku korupsi di seputar Istana Negara.
Misalnya, besan Presiden SBY Aulia Pohan yang dalam persidangan terungkap memiliki peran aktif mebagi-bagikan angpau tidak pernah dijadikan tersangka. Bahkan, ketika disidik sebagai saksi pun diumumkan belakangan dan dengan malu-malu.
Begitu pula bekas tempat kerja sang ketua KPK, yakni Kejaksaan Agung, penanganannya terkesan pandang bulu. Dalam kasus tutup buku BLBI, dia hanya berani menyentuh pada level Urip Tri Gunawan, sementara jaksa agung muda lainnya yang terungkap dalam persidangan ikut membantu skenario Ayin sama sekali tidak dijadikan tersangka.
Kembalikan Harta Koruptor
Tugas KPK yang utama selain memenjarakan koruptor sesungguhnya adalah mengembalikan harta koruptor. Pasal 10 KUHP tentang sanksi tambahan sesungguhnya -jika dimaksimalkan KPK- sudah cukup efektif untuk membuat malu koruptor dan koleganya. Sebab, pasal tersebut memungkinkan KPK untuk mengumumkan harta negara yang dikorup. Yang tidak saja berada pada pelaku, tetapi juga pada menantu, anak, istri, dan mungkin istri simpanan serta partainya.
Jadi, cara-cara sensasional yang ditempuh KPK dengan menggandeng Slank, tampil di beberapa acara talk show seperti Empat Mata, jangan hanya alat mencari popularitas agar dikenal. KPK bukan tempat selebriti hukum. KPK adalah perangkat negara untuk menangkap koruptor dan mengembalikan harta koruptor ke kas negara. Cara yang efektif, harta-harta itu diumumkan lewat media massa. Agar keluarga dan para kroni malu karena telah ikut menikmati harta negara.
Muhammad Taufiq SH MH , ketua PERADI Surakarta dan penulis Buku ''Moralitas Penegak Hukum dan Advokat Profesi Sampah''
Tulisan ini disalin dari Jawa Pos, 15 Agustus 2008