Seragam Khusus Koruptor
Ide Komisi Pemberantasan Korupsi tentang seragam khusus dan memborgol koruptor baru-baru ini telah menjadi perbincangan hangat berbagai kalangan masyarakat. Ide ini muncul untuk memberikan efek jera sekaligus menumbuhkan budaya malu bagi koruptor yang bersangkutan, dan diharapkan dapat menjadi serangan psikis terhadap calon-calon koruptor yang lainnya.
Selama ini tersangka maupun terdakwa kasus korupsi yang ditangani baik oleh kejaksaan maupun KPK selalu diberi kebebasan cukup luas untuk mengenakan pakaian rapi dan terkesan mewah saat menjadi pesakitan kasus korupsi. Keleluasaan itu menciptakan citra di masyarakat bahwa seorang koruptor yang memakan uang rakyat diperlakukan baik oleh penguasa. Mereka bebas mengenakan jas, kemeja rapi, sampai mengenakan makeup berlebihan, sehingga terlihat gagah atau cantik dan terawat saat menghadiri persidangan. Layaknya selebritas, para koruptor semakin tidak malu berbicara dan berpose di media massa.
Selain seragam khusus, KPK mengusulkan agar para koruptor nantinya diborgol saat penanganan kasus korupsi seperti pelaku kejahatan luar biasa, misalnya teroris dan pengedar narkoba. Kedua ide ini juga relevan dengan hasil survei persepsi masyarakat terhadap kinerja yang dilakukan KPK. Survei yang dilakukan KPK terhadap 2.191 responden menunjukkan, 72 persen dari mereka berpendapat bahwa adanya KPK tidak menciptakan budaya malu di kalangan aparat atau masyarakat untuk melakukan korupsi.
Ide seragam dan pemborgolan bagi koruptor, selain mendapat dukungan, mendapat penolakan. Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Andi Mattalata menganggap penerapan seragam khusus bagi tersangka koruptor tidak sesuai dengan asas praduga tak bersalah (Koran Tempo, 9 Agustus). Penolakan serupa mungkin pula datang dari pejabat Kejaksaan Agung dan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia. Pengenaan seragam untuk koruptor dianggap tidak tepat, tidak menghormati lembaga peradilan, dan dinilai melanggar hak asasi manusia. Selain mereka, sudah pasti, para pejabat yang kurang bersih menolak ide dari KPK ini. Mereka pasti takut dipermalukan jika nanti dijerat dengan kasus korupsi.
Meski ada penolakan, ide mengenai seragam dan pemborgolan bagi tersangka atau pelaku korupsi sudah selayaknya didukung dan segera direalisasi. Apalagi tersangka pelaku tindak kriminal yang ditangani kepolisian dan kejaksaan sudah lama mengenakan seragam atau baju tahanan. Meskipun bahasa umum yang populer digunakan adalah "seragam koruptor", untuk tetap menghargai asas praduga tidak bersalah, seragam bagi tersangka atau terdakwa korupsi cukup diberikan label: "Tahanan KPK".
Argumentasi bahwa seragam koruptor dianggap melanggar hak asasi manusia juga tidak tepat. Justru tindakan korupsi yang dilakukan oleh para koruptor melanggar hak asasi manusia karena melanggar hak-hak orang lain, khususnya hak untuk mendapatkan hidup yang layak. Korupsi telah membuat jutaan orang menjadi sengsara. Semangat pengenaan seragam untuk koruptor bukan dimaksudkan untuk membatasi hak-hak orang lain, melainkan untuk memberikan efek jera.
Seragam khusus itu juga akan meningkatkan kesan pendekatan hukum yang represif. Pada intinya, masyarakat tidak ingin para koruptor mendapat perlakuan istimewa, baik selama proses pemeriksaan maupun pada saat menjalani hukuman. Dengan gebrakan ini, para pejabat dan politikus akan berpikir seribu kali untuk korupsi, karena akibatnya, jika terjerat petugas KPK, benar-benar akan memalukan.
Seragam khusus bagi tersangka atau narapidana bagi pelaku tindak pidana, termasuk korupsi, sesungguhnya bukanlah suatu ide baru. Beberapa negara, seperti Cina, Amerika Serikat, dan Korea Selatan, bahkan telah lama membuat aturan agar tahanan mengenakan seragam khusus selama proses pemeriksaan hingga menjalani hukuman. Adanya seragam ini menempatkan semua orang dalam posisi yang sama ketika menjalani tahanan atau hukuman. Tidak membedakan antara pelaku korupsi dan pelaku tindak kriminal lainnya serta antara pelaku yang kaya dan yang miskin.
Contoh lain adalah bagaimana mantan Presiden Korea Selatan Roh Tae Woo dan Chun Doo Hwan, yang dijerat dengan kasus korupsi ketika dihadapkan ke ruang pengadilan, mengenakan seragam khusus yang disediakan pemerintah. Tidak berdasi dan berjas seperti di Indonesia ini. Tanpa disadari, selama ini aparat penegak hukum, termasuk juga KPK, sering kali memberikan perlakuan istimewa bagi orang yang disangka atau didakwa melakukan korupsi. Mereka menempatkan pelaku korupsi selayaknya seorang yang terhormat. Pada sisi lain, si pelaku korupsi terkesan tidak merasa sedang menjalani masa tahanan atau hukuman. Kondisi ini sangat berbanding terbalik dengan terdakwa kasus tindak pidana atau kriminal lainnya.
Bukan rahasia umum bahwa dengan membayar sejumlah uang, saat di dalam tahanan, para koruptor menempati sel khusus yang maksimal hanya ditempati oleh dua orang dan mendapat fasilitas kasur, AC, televisi, dan ponsel. Berbeda dengan pelaku tindak kriminal lain, yang dalam satu sel ditempati oleh enam tahanan, bahkan lebih. Mereka hanya beralas tikar dan tanpa fasilitas apa pun. Koruptor dapat menerima tamu atau kerabat tanpa batasan jam kunjungan, bahkan dapat menjalankan bisnis dari balik penjara. Sedangkan pelaku tindak kriminal, untuk menerima tamu atau kunjungan, harus menunggu jadwal besuk yang ditentukan.
Menjelang atau sesudah disidangkan, terdakwa korupsi umumnya dibawa menuju dan dari pengadilan dengan mobil terpisah dan ber-AC. Hal ini berbeda dengan terdakwa tindak pidana umum yang menggunakan bus tahanan yang pengap bersama terdakwa lainnya. Di pengadilan pun, para terdakwa kasus tindak pidana umum langsung masuk ke ruang tahanan pengadilan, sedangkan terdakwa korupsi dapat duduk di ruangan khusus atau di luar ruang tahanan bersama keluarga mereka.
Memberikan seragam khusus kepada tahanan kasus korupsi adalah salah satu cara untuk mengucilkan mereka. Langkah ini tetap harus diikuti dengan menghukum mereka seberat-beratnya bila terbukti bersalah. Pengawasan ekstraketat selama masa penahanan dan masa pelaksanaan hukuman bagi pelaku korupsi juga menjadi penting dilakukan untuk menjamin adanya efek jera.
Selain itu, segala hak yang selama ini diterima koruptor, seperti pemberian remisi, cuti bersyarat, izin berobat, cuti menjelang bebas, dan jadwal kunjungan tanpa batas di rumah tahanan dan lembaga pemasyarakatan, sudah selayaknya ditinjau ulang, bahkan, jika perlu, ditiadakan. Di masa mendatang, tidak perlu ada lagi perlakuan terhormat dan pemberian fasilitas bagi para koruptor. Korupsi sungguh telah memalukan bangsa ini di mata dunia, sehingga sudah sewajarnya koruptor juga harus dipermalukan dan menanggung sengsara akibat perbuatan yang dilakukan.
Emerson Yuntho, Anggota Badan Pekerja Indonesia Corruption Watch
Tulisan ini disalin dari Koran Tempo, 13 Agustus 2008