Seragam Khusus Tahanan Koruptor
Terobosan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) membuat malu koruptor dengan seragam khusus tahanan menjadi perbincangan hangat di masyarakat. Pembuatan seragam khusus koruptor itu diharapkan menimbulkan efek jera bagi pelaku dan orang-orang yang mencoba-coba korupsi.
Tidak dapat dimungkiri, perlakuan terhadap tahanan kasus korupsi dengan tahanan kriminal yang lain, seperti pembunuhan, perampokan, dan terorisme, kenyataannya berbeda. Padahal, dampak yang ditimbulkan dari kejahatan itu sama dahsyatnya. Namun, mengapa hanya pembunuh berdarah dingin dan teroris yang harus mengenakan seragam khusus dan diborgol?
Selama ini tersangka maupun terdakwa kasus korupsi mengenakan jas, kemeja rapi, hingga mengenakan make-up menor berlebihan sehingga terlihat gagah atau cantik dan terawat saat menghadiri persidangan. Bukannya malu, koruptor justru terlihat senang ketika berbicara dan berpose di media massa. Itulah ironi di negeri yang sering juara korupsi.
Ide pembuatan seragam khusus dan borgol bagi tahanan korupsi muncul akibat kritik yang dilontarkan lembaga pemberantasan korupsi di Singapura dan hasil survei persepsi masyarakat terhadap kinerja yang dilakukan KPK. Survei yang dilakukan KPK menunjukkan, mayoritas masyarakat berpendapat bahwa adanya KPK tidak menciptakan budaya malu di kalangan aparat atau masyarakat untuk melakukan korupsi.
Pro Kontra
Meski menarik, ide seragam dan pemborgolan bagi koruptor pada akhirnya juga menimbulkan pro dan kontra berbagai kalangan. Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Andi Mattalatta menganggap penerapan seragam khusus bagi tersangka koruptor tidak sesuai dengan asas praduga tak bersalah.
Penolakan serupa mungkin pula datang dari pejabat Kejaksaan Agung dan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (HAM). Penggunaan seragam untuk koruptor dianggap tidak tepat dan bahkan tidak menghormati lembaga peradilan serta dinilai melanggar hak asasi manusia.
Pada sisi lain, ide mengenai seragam dan pemborgolan bagi tersangka atau pelaku korupsi sudah selayaknya didukung dan segera direalisasikan. Apalagi, kepolisian dan kejaksaan juga sudah lama mengenakan seragam atau baju khusus bagi tahanannya. Meskipun bahasa umum yang populer digunakan adalah seragam koruptor, untuk tetap menghargai asas praduga tidak bersalah, seragam tersangka atau terdakwa korupsi cukup diberi tulisan ''Tahanan Komisi Pemberantasan Korupsi'' .
Argumentasi bahwa seragam koruptor dianggap melanggar HAM dan tidak menghormati lembaga peradilan juga tidak tepat. Justru tindakan korupsi yang dilakukan para koruptor melanggar hak asasi manusia. Sebab, mereka melanggar hak-hak orang lain, khususnya hak untuk mendapatkan hidup yang layak. Semangat pengenaan seragam untuk koruptor bukan untuk membatasi hak-hak orang lain, namun memberikan efek jera.
Lagipula, jika terdakwa korupsi mengenakan seragam, tidak ada aturan hukum yang dilanggar. Jaksa, pengacara, maupun hakim juga mengenakan seragam khusus masing-masing ketika bersidang.
Seragam khusus bagi tersangka atau narapidana bagi pelaku tindak pidana, termasuk korupsi, sesungguhnya bukanlah suatu ide baru. Beberapa negara seperti Amerika Serikat dan Korea Selatan bahkan sejak lama telah membuat aturan agar tahanan mengenakan seragam khusus selama pemeriksaan hingga menjalani hukuman.
Adanya seragam itu juga menghindari diskriminasi karena menempatkan semua orang dalam posisi yang sama ketika menjalani tahanan atau hukuman. Seragam yang sama membuat tidak ada pembedaan antara pelaku korupsi dan pelaku kriminal lain serta antara pelaku yang kaya dan yang miskin.
Contoh lain adalah bagaimana mantan Presiden Korea Selatan Roh Tae Woo dan Chun Doo Hwan yang dijerat kasus korupsi ketika dihadirkan ke ruang pengadilan mengenakan seragam khusus yang disediakan pemerintah.
Perlakuan Istimewa
Tanpa disadari, selama ini aparat penegak hukum, termasuk KPK, sering memberikan perlakuan istimewa kepada orang yang disangka atau didakwa melakukan korupsi. Mereka menempatkan pelaku korupsi selayaknya seorang yang terhormat. Kondisi ini sangat berbanding terbalik dengan terdakwa kasus tindak pidana atau krimininal lainnya.
Bukan rahasia umum dan akibat adanya mafia di lembaga pemasyarakatan, para koruptor menempati sel khusus yang maksimal hanya berisi dua orang dan mendapat fasilitas kasur, pendingin ruangan (air conditioner), televisi, dan handphone. Berbeda dengan pelaku kriminal lain yang dalam satu sel ditempati 6 tahanan, bahkan lebih. Mereka hanya beralas tikar dan tanpa fasilitas apa pun.
Koruptor malah dapat menerima tamu atau kerabat tanpa batasan jam kunjungan. Bahkan, mereka bisa menjalankan bisnis dari balik jeruji penjara. Sedangkan pelaku kriminal untuk menerima tamu atau kunjungan harus menunggu jadwal yang ditentukan petugas.
Menjelang atau sesudah disidang, terdakwa korupsi umumnya dibawa dengan mobil terpisah dan berpendingin serta dikawal petugas. Hal itu berbeda dengan terdakwa tindak pidana umum yang menggunakan bus tahanan yang sumpek bersama terdakwa lain. Di pengadilan pun para terdakwa kasus tindak pidana umum langsung masuk ke ruang tahanan pengadilan, sedangkan terdakwa korupsi dapat duduk di ruangan khusus, atau di luar ruang tahanan bersama keluarga mereka.
Memberikan seragam khusus kepada tahanan kasus korupsi adalah salah satu cara mengucilkan serta membuat efek jera dan malu bagi koruptor. Langkah itu tetap harus diikuti dengan menghukum mereka seberat-beratnya bila terbukti bersalah. Ide lain yang harus direalisasikan KPK ialah membuat penjara khusus bagi koruptor. Bukan rahasia lagi, lembaga pemasyarakatan atau penjara yang selama ini dikelola kejaksaan, kepolisian, dan Departemen Hukum dan HAM tidak steriil dari praktik korupsi.
Praktik korupsi dan kolusi antara tahanan dan petugas tahanan maupun penjara untuk mendapatkan fasilitas dan kemudahan selama di penjara masih marak.
*. Emerson Yuntho , anggota badan pekerja Indonesia Corruption Watch (ICW) di Jakarta
Tulisan ini disalin dari Jawa Pos, 11 Agustus 2008