Seragam Koruptor Harus Dibarengi Upaya Lain
Gagasan pemakaian seragam untuk koruptor yang sedang diproses hukum harus dibarengi upaya lain agar bisa lebih efektif dalam menumbuhkan efek jera dan rasa malu. Misalnya, melalui pemberian hukuman yang lebih berat bagi koruptor, peningkatan moralitas pemerintah, dan reformasi birokrasi.
Demikian disampaikan Deta Artasari, peneliti hukum Indonesia Corruption Watch (ICW), di Gedung Komisi Pemberantasan Korupsi, Jakarta, Selasa (12/8).
Deta bersama anggota ICW lainnya kemarin datang ke KPK untuk menyampaikan delapan model baju seragam untuk koruptor yang sedang diproses hukum komisi itu. Langkah ini merupakan bentuk dukungan sekaligus desakan agar KPK segera merealisasikan gagasannya untuk mengenakan seragam bagi koruptor dan memborgol mereka.
Model yang disampaikan ICW terdiri atas empat baju lengan panjang dan empat baju lengan pendek. Warna baju itu adalah merah muda, oranye, biru gelap, dan hitam bergaris putih. Warna oranye dan merah muda dipilih agar mudah dibedakan dengan baju masyarakat umum. Warna biru gelap dan garis-garis hitam- putih untuk menandakan bahwa korupsi menyengsarakan rakyat.
Bagian depan dari semua model seragam itu bertuliskan nama si pemakai dan nomor tahanan KPK, sementara bagian belakang bertuliskan ”Tahanan KPK Kasus Korupsi”. ”Kami tidak menulis ’Koruptor’ untuk menghormati asas praduga tidak bersalah,” kata Deta.
Menurut dia, seragam itu sebaiknya dipakai sejak seseorang ditetapkan sebagai tersangka hingga menjadi narapidana.
ICW juga berharap, selain memakai baju seragam, para koruptor yang sedang diproses hukum itu menggunakan borgol dan mengenakan sepatu hitam yang sederhana tetapi pantas. ”Seragam perlu segera diberlakukan dengan tiga alasan. Pertama, untuk memberikan identitas. Kedua, mewujudkan persamaan di depan hukum karena tersangka yang disidik polisi juga memakai seragam. Ketiga, menciptakan efek kejut di masyarakat,” kata Deta.
Segera direalisasikan
Juru bicara KPK, Johan Budi, mengatakan terima kasih atas dukungan ICW. ”Kami akan merealisasikan rencana seragam ini secepat mungkin. Sekarang desainnya masih dibahas,” ujarnya.
Namun, untuk lebih mengefektifkan tumbuhnya efek jera dan malu berbuat korupsi, gagasan pemakaian seragam untuk koruptor yang sedang diproses hukum itu harus diiringi dengan upaya lain. ”Dalam konteks ini, keputusan pemerintah agar tidak memberikan remisi bagi terpidana korupsi yang divonis mulai tahun 2007 harus dihargai. Namun, itu juga masih belum cukup,” kata Deta.
Hak lain, seperti cuti menjelang bebas atau pembebasan bersyarat, sebaiknya juga tak diberikan kepada terpidana korupsi. Hanya terpidana korupsi yang sakit parah yang boleh keluar dari penjara untuk berobat. ”Sebab, alasan sakit sering dipakai untuk keluar dari penjara, seperti kasus Ramadhan Rizal,” ujarnya.
Ramadhan adalah mantan panitera Pengadilan Tinggi DKI Jakarta yang ditangkap polisi saat pesta narkoba di hotel pada 27 Agustus 2006. Saat ditangkap, Rizal sebenarnya sedang menjalani hukuman di Rutan Salemba karena melakukan transaksi penerimaan-pemberian uang dengan pengacara Abdullah Puteh, Teuku Syaifuddin Popon. Dalam perkara ini, dia divonis 2 tahun 6 bulan.
Rizal bisa keluar dari tahanan karena saat itu mengaku sakit hingga diopname di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat Gatot Subroto sejak 16 Agustus 2006. Namun, di tengah masa perawatan, tiba-tiba ia ditangkap polisi di sebuah hotel.
Pengajar hukum tata negara Universitas Andalas, Saldi Isra, juga berharap agar berbagai bentuk keringanan hukuman bagi koruptor dihilangkan. ”Moralitas pemerintah dalam pemberantasan korupsi juga perlu ditingkatkan. Keputusan Presiden Yudhoyono yang hanya memercayakan pada proses hukum dalam kasus Paskah Suzetta dan MS Kaban menunjukkan rendahnya moralitas pemerintahan dalam bidang ini,” katanya.
Sementara itu, usul KPK agar koruptor ditahan di Nusakambangan, Cilacap, didukung Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Marwan Effendy. ”Dulu waktu Pak Lopa (mantan Menteri Kehakiman Alm Baharuddin Lopa) sudah mengirim Bob Hasan ke sana,” katanya. Realisasi pengiriman koruptor ke Nusakambangan merupakan kewenangan Menteri Hukum dan HAM. (NWO/IDR)
Sumber: Kompas, 13 Agustus 2008