Serangan Balik Jilid II ke KPK
PUTUSAN Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang mengabulkan permohonan praperadilan Anggodo Widjojo pada 19/4 seolah membuka kembali luka lama yang sempat merobek-robek keperkasaan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Bagaimanapun, harus diakui, selama ini KPK telah menjadi tumpuan pemberantasan korupsi di tanah air. Stagnasi kinerja yang ditunjukkan institusi penegak hukum lainnya telah mengubah paradigma berpikir publik untuk memberikan apresiasi yang luar biasa terhadap lembaga pemberantasan korupsi tersebut.
Dengan putusan itu, Bibit S. Riyanto dan Chandra M. Hamzah (dua unsur pimpinan KPK) akan berpeluang kembali terseret dalam jurang rekayasa hukum yang sempat melilitnya. Kendati masih ada upaya hukum banding untuk kejaksaan, bila tidak dimanfaatkan dengan baik, bola liar penanganan kasus tersebut akan mendekati gedung KPK untuk menyeret para petingginya dalam jerat hukum.
Sebelumnya, dorongan gerakan people power di dunia maya serta gebrakan para pegiat antikorupsi telah berhasil melepaskan Bibit-Chandra dari cengkeraman mafia hukum. Atas dorongan publik, kepala negara terpaksa turun gunung untuk memberikan petunjuk dan rekomendasi kepada aparat penegak hukum (kejaksaan) agar menghentikan kasus Bibit-Chandra. Kejaksaan pun kemudian menindaklanjuti instruksi kepala negara itu dengan menerbitkan surat ketetapan penghentian penuntutan (SKPP).
Sejak awal, penerbitan SKPP oleh kejaksaan sudah menimbulkan pro-kontra di antara pakar hukum. Di satu pihak, SKPP untuk Bibit-Chandra dinilai cacat hukum karena berkas perkara keburu dinyatakan lengkap alias P-21. Bahkan, dalam berbagai kesempatan, kejaksaan telanjur mengungkapkan bahwa institusinya mempunyai bukti yang kuat untuk menjerat Bibit-Chandra dan mengajukannya ke proses pengadilan. Sementara itu, dalam perkara pidana, dasar hukum penerbitan SKPP justru bisa dilakukan manakala tidak ditemukan cukup bukti atau kasusnya bukan merupakan tindak pidana serta alasan-alasan lain yang dibenarkan undang-undang.
Dengan asumsi kekeliruan itulah, kemudian sejumlah advokat sempat mengajukan gugatan terhadap penerbitan SKPP Bibit-Chandra. Namun, gugatan tersebut kandas di tengah jalan karena majelis hakim yang menyidangkan perkara itu tidak menemukan legal standing para pemohon terhadap kasus ini. Di sisi lain, sejumlah pihak justru bersikukuh bahwa penerbitan SKPP Bibit-Chandra sudah memenuhi mekanisme hukum yang ada. Pandangan itu bisa dimaknai mengingat peran besar KPK yang akan tersendat manakala unsur pimpinannya tidak sempurna, sehingga dikhawatirkan justru akan menimbulkan efek lain yang bisa menganggu kinerja mereka.
Kewenangan Deponeering
Semestinya, sejak awal kejaksaan memiliki peluang untuk mengefektifkan langkah hukum yang diambil dengan menggunakan kewenangan jaksa agung untuk mengesampingkan perkara demi kepentingan umum (deponeering). Kewenangan itu jelas tertuang dalam pasal 35 huruf c UU No 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan. Dalam bagian penjelasannya dikemukakan bahwa makna istilah kepentingan umum adalah kepentingan bangsa dan negara atau masyarakat luas.
Saat itu, kejaksaan bisa saja menerjemahkan terganggunya efektivitas kinerja KPK tanpa kehadiran Bibit-Chandra sebagai kepentingan negara. Terlebih, kasus itu sempat menjadi persoalan hukum yang amat menyita perhatian publik. Animo publik terbukti sangat luar biasa seiring bergulirnya gerakan sejuta Facebooker mendukung Bibit-Chandra. Bahkan, kesempurnaan untuk mendeponir kasus itu cukup beralasan. Sebab, unsur ''kepentingan negara atau bangsa'' dan ''kepentingan masyarakat luas'' sebagaimana dijelaskan dalam UU Kejaksaan sudah cukup terpenuhi.
Sayang, peluang emas tersebut tidak dimanfaatkan kejaksaan. Justru, langkah hukum yang digulirkan adalah upaya yang serba setengah hati. Tidak menghentikan secara permanen dan tidak meneruskan sampai pada titik akhir. Karena itu, terjadilah pengambangan kasus dan membiarkannya berlarut-larut digerogoti serta dikerumuni para mafia hukum.
Kini, terlepas dari langkah kejaksaan sebelumnya yang terkesan mengambangkan persoalan, patut dimaknai bahwa putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan kali ini menjadi ancaman baru yang hendak merongrong keperkasaan dan ketangguhan KPK. Saat tugas pemberantasan korupsi semakin menggunung, KPK kembali dihadapkan dalam guncangan yang mahadahsyat.
Bagaimanapun, unsur pimpinan KPK akan menghadapi tantangan berat kalau Bibit-Chandra kembali absen dalam tugas pemberantasan korupsi. Apalagi, Pelaksana Tugas Ketua KPK Tumpak Hatorangan Panggabean lebih dulu meninggalkan kedinasannya karena alasan usia. Dengan empat personel pimpinan KPK saja, banyak pihak yang justru menyangsikan kiprah KPK ke depan, sehingga kemudian digulirkan kebijakan untuk melakukan seleksi terhadap pimpinan KPK untuk mengisi kursi kosong yang ditinggalkan Tumpak.
Karena itu, tiada pilihan lain, bila memang negara ini ingin diselamatkan dari serangan para mafioso hukum, kejaksaan sebagai institusi pemegang kendali kasus ini harus sedini mungkin mengambil langkah konkret dengan menggulirkan hak oportunitasnya. Mengesampingkan perkara demi kepentingan negara atau masyarakat luas akan menjadi senjata pemungkas yang bisa menutup rapat semua upaya dan celah yang hendak ditelusuri para mafia hukum.
Palu hakim Nugraha Setiadji kali ini akan membuka celah untuk menyerang lembaga yang sudah banyak mengerangkeng pejabat korup di negeri ini tersebut. Semangat pemberantasan korupsi akan menghadapi serangan balik untuk kali kedua yang sasaran tembaknya sudah diarahkan ke KPK. Kalau tidak diantisipasi, pemberantasan korupsi akan kandas di tengah jalan.
Janpatar Simamora , dosen Fakultas Hukum Universitas Nommensen Medan; sedang berstudi lanjut di Program Pascasarjana UGM Jogjakarta
Tulisan ini disalin dari Jawa Pos, 23 April 2010