Serangan Balik Koruptor Jilid II
Setahun yang lalu, wacana serangan balik para koruptor (corruptors fight back) menguat (Koran Tempo, 16 November 2006). Saat itu perangkat aturan antikorupsi selalu mengalami ujian berat di meja persidangan Mahkamah Konstitusi (MK). Para koruptor menggunakan berbagai upaya melumpuhkan gerakan antikorupsi. Beberapa di antaranya berhasil mulus, tapi beberapa di antaranya tertolak. Titik kulminasinya adalah ujian bagi eksistensi pengadilan tindak pidana korupsi (tipikor), tepat di pengujung 2006.
Tiba-tiba MK memberikan pukulan telak bagi para koruptor. MK menegaskan agenda pemberantasan korupsi haruslah dikedepankan dan bukan formalitas-formalitas kaku ilmu hukum. MK menyatakan bahwa meski eksistensi pengadilan tipikor tidak konstitusional, demi agenda pemberantasan korupsi, penidakberlakuannya ditunda hingga tiga tahun. Pada putusan itu, dinyatakan secara jelas agar pihak Dewan Perwakilan Rakyat dan pemerintah sesegera mungkin menginisiasi pembentukan Rancangan Undang-Undang Pengadilan Tipikor yang akan membidani lahirnya pengadilan tipikor, pengadilan yang menjadi satu-satunya mekanisme peradilan bagi para koruptor.
Namun, serangan balik para koruptor tidak berakhir. Selaiknya virus dan antivirus, gerakan para koruptor dan penegakan antikorupsi berlomba. Ada beberapa model simbol baru gerakan koruptor yang menguat pada 2007.
Pertama, keberhasilan mengembangbiakkan semangat para mafia peradilan dengan mengaburkan substansial hukum menjadi perdebatan sepele. Ada beberapa perilaku yang bertendensi besar merupakan perkara korupsi tiba-tiba dikecilkan maknanya menjadi pertarungan interpretasi peraturan dan kewenangan.
Sekadar mengingatkan, perilaku Mahkamah Agung yang menolak pengawasan adalah contoh paling mutakhir. Pengawasan terhadap administrasi keuangannya pada uang-uang perkara ditepis oleh MA. Ketika Badan Pemeriksa Keuangan ingin melaksanakan kewenangannya mengaudit, MA menolak secara tegas. Padahal ada sejumlah uang yang sangat besar mengalir atas nama biaya perkara yang dipungut pada setiap perkara tertentu. Ribuan perkara per tahun yang masuk tersebut memiliki bilangan angka tersendiri berdasarkan jenis perkaranya yang harus dibayarkan kepada MA (ataupun rentang kendali ke bawahnya) sebagai biaya titipan dan akan dikeluarkan sesuai dengan alokasi riil kebutuhan penanganan perkara. MA kukuh menolak pengawasan oleh BPK.
Ketika BPK berkeras dan melaporkan ke kepolisian dengan ancaman pidana bagi siapa yang menghalangi pemeriksaan keuangan oleh BPK, mereka dipertemukan dengan jalan mediasi oleh Susilo Bambang Yudhoyono disaksikan oleh Ketua MK, lalu seketika berdamai. Pertemuan delapan mata ini telah berhasil mengaburkan substansi sebenarnya, yakni kemungkinan penggelapan dana masyarakat yang terkumpul di MA. Catatan serupa juga diberlakukan Yudhoyono pada beberapa perkara lainnya. Lihat saja ketika Yusril berseteru dengan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi serta kelindan dana Departemen Kelautan dan Perikanan antara Amien Rais dan Yudhoyono mengemuka.
Melalui cara tersebut, telah ditunjukkan bahwa para koruptor telah berhasil membajak penegakan hukum antikorupsi menjadi pola perdamaian. Malangnya lagi, kasus hukumnya pun menguap seiring dengan salam-salaman dalam proses perdamaian.
Serangan balik kedua adalah melumpuhkan unsur-unsur penting pemberantasan korupsi. Pembajakan KPK adalah simbol monumentalnya. Tentunya, ini mengingatkan kita pada prosesi akhir drama seleksi calon pemimpin KPK. DPR tiba-tiba buta dan tuli atas fakta kuatnya penolakan terhadap beberapa sosok calon pemimpin KPK saat itu. Publik mengirimkan sinyal yang sangat jelas perihal ketidakpercayaan kepada sosok tersebut jika masuk menjadi komisioner lembaga luar biasa dalam pemberantasan korupsi itu. Namun, bagi DPR, nir-akseptabilitas publik malah menjadi akseptabilitas politik. Mayoritas anggota DPR memberikan tepukan hangat bagi sosok tersebut.
Mudah untuk kemudian menganalisisnya sebagai sinyal yang dikirimkan partai politik untuk mengkanalisasi pemberantasan korupsi pada jalur yang dikehendaki oleh para politikus tersebut. Tidak mengherankan jika kemudian para politikus tersebut merancang ide melakukan pertemuan dengan KPK dan menyerahkan beberapa kasus prioritas yang harus diselesaikan oleh para komisioner baru. Bisa jadi itu diartikan iktikad DPR dalam mendorong pemberantasan korupsi. Namun, jauh lebih besar kemungkinan tindakan tersebut adalah upaya mendorongnya ke jalur yang diinginkan oleh para politikus, misalnya menyelamatkan politikus korup.
Jauh sebelum KPK, Komisi Yudisial telah terlebih dulu membusuk. Meski boleh jadi bukan secara institusional, hanya secara personal, tetap mempertaruhkan kredibilitas lembaga pengawas kekuasaan kehakiman. Jebakan-jebakan para koruptor bagi para komisioner pada beberapa komisi independen (state independent bodies) menjadi jebakan yang sangat berarti untuk menghalangi kinerja lembaga negara pembantu yang diidealkan untuk membantu proses reformasi negeri ini.
Serangan ketiga yang tidak kalah pentingnya adalah upaya menjegal ataupun menjagal berbagai proses perbaikan hukum antikorupsi di negeri ini. Sekadar mengingatkan, setahun setelah MK memutus pengadilan tipikor ditunda penidakberlakuannya, wujud pengadilan tipikor belum kunjung ada. Meski RUU Pengadilan Tipikor telah dalam proses, harus diingat, sepertiga waktu telah berjalan. Perkara membentuk pengadilan tipikor yang pasti tidak mudah seiring dengan tarik-ulur iktikad pembentukannya. Beberapa ide yang menguat soal keinginan menghilangkan pengadilan tipikor dan menjadikan peradilan biasa (umum) sebagai model peradilan bagi para koruptor telah menunjukkan penumpulan idealitas pemberantasan korupsi.
Sementara itu, pada saat yang sama, wacana pengadilan tipikor tidak hanya berkutat pada masalah bentuk. Pertanyaan besar dan penting adalah hal lain yang lebih substantif dan harus didedahkan oleh rancangan aturan tentang pengadilan tipikor ini. Ada banyak substansi aturan pengadilan tipikor yang rentan terbajak sehingga berpotensi melemahkan kekuatan pengadilan tipikor. Misalnya saja aturan mengenai hakim yang akan menyidangkan perkara korupsi. Komposisi yang tidak berimbang antara hakim karier dan nonkarier berpeluang memicu kegagalan mekanisme pengadilan tipikor. Belum lagi perihal sertifikasi hakimnya. Bayangkan, jika syarat untuk sahih menjadi hakim di pengadilan tipikor adalah lulus sertifikasi tertentu yang akan diadakan oleh MA, ini berpeluang membusuk seiring dengan ketidakpercayaan kesungguhan MA, termasuk proses sertifikasi untuk menentukan demosi dan promosi hakim di tubuh MA.
Bagi para koruptor, menjegal pengadilan tipikor agar menjadi tidak kunjung mengada adalah jalan terbaik untuk menghilangkan efektivitas pemberantasan korupsi. Kalaupun akan ada, hal yang patut diwaspadai adalah membuatnya menjadi cacat dengan ketiadaan daya jangkau yang kuat untuk memberikan keadilan substantif kepada para koruptor. Belum lagi berbagai aturan antikorupsi lainnya yang sangat berhubungan erat dengan daya jangkau pengadilan tipikor. Sebut saja RUU Tindak Pidana Korupsi, RUU Kebebasan Memperoleh Informasi Publik, dan RUU Perampasan Aset. Ketidaksinkronan aturan pada berbagai paket RUU tersebut hanya akan berujung pada kegagalan penegakan hukum antikorupsi atau berujung pada pembatalan di depan para hakim konstitusi.
Tiga fakta di atas, paling tidak, telah menunjukkan sistematisasi gejala serangan balik koruptor jilid kedua, hal yang seharusnya menjadi pengingat seluruh gerakan antikorupsi. Sistem peringatan dini harus dinyalakan kembali. Bangsa ini harus kembali merapikan barisan dan niat pemberantasan korupsi pada 2008. Jika tidak, para koruptor akan kembali tersungging penuh riang karena berhasil melumpuhkan virus antikorupsi.
Zainal Arifin Mochtar, PENGAJAR FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS GADJAH MADA, YOGYAKARTA, DAN DIREKTUR ADVOKASI PUSAT KAJIAN ANTI-KORUPSI FH UGM
Tulisan ini disalin dari Koran Tempo, 28 Desember 2007