Serangan Balik Yudhoyono

Ibarat pisau bermata dua, klarifikasi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di bawah pohon di lapangan rumput Istana Kepresidenan, Jumat (25/5), bisa menimbulkan tafsir ganda.

Di satu sisi, memberi keyakinan kepada publik, pasangan Yudhoyono-Kalla tidak menerima aliran dana nonbudgeter Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) dan dana asing dari Washington dalam Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden 2004.

Di sisi lain, melihat reaksi keras Yudhoyono, bisa saja yang terjadi adalah sebaliknya, publik kian yakin dana DKP juga mengalir kepada pasangan pemenang Pemilu 2004. Apalagi, aliran dana nonbudgeter DKP terungkap dalam proses hukum penanganan kasus korupsi mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Rokhmin Dahuri. Tidak hanya itu, sejumlah kalangan yang juga disebut menerima aliran dana DKP mengakui fakta itu.

Mengapa Yudhoyono gusar dan memberi reaksi, yang mungkin di luar perkiraan banyak orang dalam kasus dana nonbudgeter DKP. Tidak hanya itu, jika dikaitkan dengan isu aliran dana asing kepada pasangan calon presiden dan wakil presiden tertentu dalam Pemilu 2004, pertanyaan itu kian menarik karena Amien Rais tidak pernah menyebut nama pasangan Yudhoyono-Kalla.

Pidana korupsi
Dari kedua aliran dana yang disebut dalam klarifikasi Yudhoyono itu, aliran dana dari Washington masih sebatas isu hukum, belum bisa dikatakan fakta hukum. Tidak demikian halnya dengan dana nonbudgeter DKP, karena dalam persidangan kasus korupsi Rokhmin Dahuri, aliran dana DKP itu telah menjadi fakta hukum. Bahkan, dalam hukum acara pidana, keterangan terdakwa di depan sidang pengadilan merupakan alat bukti sah.

Maka, jika fakta-fakta itu benar, semua pasangan calon pada Pemilu 2004 harus bersiap menghadapi kemungkinan proses hukum karena melakukan tindak pidana. Setidaknya, penerima dana nonbudgeter DKP memenuhi unsur melakukan tindak pidana pemilu dan tindak pidana korupsi.

Pasal 45 Ayat (1) huruf c UU No 23/2003 tentang Pemilu Presiden eksplisit melarang pasangan calon menerima sumbangan atau bantuan untuk kampanye yang berasal dari pemerintah, BUMN, dan BUMD. Pelanggaran atas ketentuan itu, penerima maupun pemberi sumbangan, diancam penjara paling singkat empat bulan atau paling lama dua tahun dan/atau denda paling sedikit Rp 200 juta atau paling banyak Rp 1 miliar.

Mengingat skandal dana DKP terkait kasus korupsi Rokhmin Dahuri, semua penikmat dapat dipersamakan dengan melakukan korupsi. Apalagi, penyelewengan aliran itu memenuhi unsur tindak pidana korupsi, yaitu setiap orang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri, orang lain, atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.

Dari kedua tindak pidana itu, proses hukum untuk tindak pidana korupsi lebih sederhana dibandingkan tindak pidana pemilu. Apalagi, ancaman pidana pemilu dalam UU No 23/2003 memungkinkan pelaku berkelit dari jeratan hukum. Kalaupun diproses dan terbukti bersalah, besar kemungkinan hakim akan lebih memilih menjatuhkan pidana denda. Karena itu, selain menghindari kemungkinan berkelit dari jeratan hukum, ancaman hukuman tindak pidana korupsi jauh lebih berat dibandingkan tindak pidana pemilu.

Pemakzulan
Jika Yudhoyono-Kalla terbukti menerima dana nonbudgeter DKP, skandal ini amat mungkin berkembang menjadi proses pemakzulan (impeachment). Pasal 7A UUD 1945 menyatakan, presiden dan/atau wakil presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh MPR atas usul DPR (salah satunya) jika terbukti melakukan tindak pidana korupsi.

Mencermati perkembangan politik di DPR, bisa jadi pemakzulan merupakan ancaman yang amat diperhitungkan Yudhoyono-Kalla. Apalagi, lolosnya pengajuan hak interpelasi atas Resolusi Dewan Keamanan PBB dalam masalah nuklir Iran dapat dijadikan bukti awal melemahnya dukungan politik DPR terhadap Yudhoyono-Kalla.

Tidak hanya di DPR, dukungan politik DPD terhadap Yudhoyono-Kalla hampir dapat dipastikan tidak sekuat dulu. Peristiwa penarikan dukungan usul perubahan kelima UUD 1945 oleh Fraksi Partai Demokrat dan Fraksi Partai Golkar bisa menjadi titik balik dukungan DPD terhadap Yudhoyono-Kalla.

Jika dukungan politik terus menurun, sementara penerimaan dana nonbudgeter DKP dapat diklasifikasikan sebagai tindak pidana korupsi, proses menuju pemakzulan hanya masalah waktu.

Serangan balik
Salah satu pesan penting yang dapat ditangkap dari klarifikasi itu, Yudhoyono tidak ingin skandal dana nobudgeter DKP menjadi bola liar yang bergerak menuju pemakzulan. Dalam sudut pandang itu, klarifikasi Yudhoyono dapat dibaca sebagai serangan balik atas upaya untuk membuka kemungkinan penggunaan uang haram dalam Pemilu Presiden 2004.

Karena itu, semua pihak yang mempunyai bukti penyimpangan dana kampanye segera mengungkapnya. Dalam konteks itu rencana Amien Rais untuk membuka semua data yang terkait dengan pelanggaran dana kampanye harus didukung. Apalagi, menurut keterangan Rokhmin Dahuri, sumbangan politik juga dilakukan menteri (departemen) lain (Kompas, 27/5).

Terkait pengungkapan penyimpangan dana itu, saya setuju pendapat hukum Pusat Kajian Antikorupsi UGM, terhadap pihak-pihak yang berkenan memberikan informasi guna mengungkap kasus tindak pidana itu, harus diberikan perlindungan hukum yang sebenar-benarnya.

Bagaimanapun, saat proses hukum lumpuh dan cenderung diintervensi, kejujuran harus diberi tempat guna mengungkap kasus-kasus hukum berisiko tinggi. Jika tidak, semua serangan balik akan mudah menghancurkan segala upaya membuka kebenaran berbagai peristiwa hukum.

Saldi Isra Dosen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang

Tulisan ini disalin dari Kompas, 28 Mei 2007

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan