Setelah Puteh Divonis Bersalah
Setelah proses hukum berlangsung sekitar enam bulan, terhitung sejak penahanan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), akhirnya Pengadilan Ad Hoc Tindak Pidana Korupsi (TPK) menyatakan Abdullah Puteh terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi. Puteh divonis pidana penjara 10 tahun dan denda Rp 500 juta, subsider enam bulan kurungan. Selain itu, Gubernur Nanggroe Aceh Darussalam nonaktif ini dihukum membayar uang pengganti Rp 3,687 miliar, selambat-lambatnya satu bulan setelah putusan pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap.
Dalam pembacaan putusan yang tidak dihadiri terdakwa (in absentia) itu, hakim menyatakan bahwa Puteh terbukti melakukan tindak pidana korupsi dalam pembelian helikopter Mi-2 merek PLC buatan Rostov, Rusia. Dengan demikian, Puteh telah terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana korupsi dan melanggar Pasal 2 ayat 1 juncto Pasal 18 ayat 1 huruf a, huruf b, dan huruf c Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 jo Pasal 64 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Dengan putusan tersebut, Pengadilan Ad Hoc TPK berhasil membuktikan bahwa Puteh terbukti melawan hukum dengan tidak melakukan tender dalam pengadaan helikopter Mi-2. Tindakan itu bertentangan dengan Keputusan Presiden Nomor 18 Tahun 2000 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Instansi Pemerintah. Di samping itu, Puteh melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain dengan menempatkan dana pembelian helikopter di rekening pribadinya dan menguntungkan pihak lain. Akibat perbuatan itu, negara dirugikan miliaran rupiah.
Lalu catatan penting apakah yang dapat dikemukakan terkait dengan vonis bersalah yang dijatuhkan Pengadilan Ad Hoc TPK terhadap Puteh? Pertanyaan itu menjadi makin penting karena kasus Puteh belum berkekuatan tetap (in kracht van gewijsde). Artinya, kalau Puteh melakukan upaya hukum, masih terbuka kemungkinan munculnya perbedaan pandangan antara mayoritas hakim di tingkat pertama dan hasil di tingkat banding serta kasasi. Kemungkinan itu dapat terjadi karena putusan Puteh bersalah tidak merupakan pendirian seluruh majelis hakim. Dalam penyelesaian kasus Puteh, dua orang hakim berbeda pendapat (dissenting opinion) dengan putusan mayoritas hakim.
Sebagai kasus perdana yang ditangani oleh Pengadilan Ad Hoc TPK, kasus Puteh termasuk kasus yang menyita perhatian banyak kalangan, terutama yang peduli terhadap agenda pemberantasan korupsi. Sebagai sebuah pengadilan ad hoc, penyelesaian kasus Puteh akan memberikan penilaian tersendiri apakah institusi ini dapat memenuhi harapan sebagai salah satu lembaga yang menjadi ujung tombak pemberantasan korupsi.
Perhatian ekstra dari masyarakat menjadi masuk akal karena pengadilan umum (yang selama ini menangani kasus korupsi) dinilai mengecewakan dalam menangani kasus-kasus korupsi. Dari pengalaman selama ini, dengan argumentasi hukum yang sulit dimengerti, pengadilan umum sering membebaskan pelaku korupsi.
Meski putusan Pengadilan Ad Hoc TPK menyatakan bahwa Puteh terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana korupsi, banyak kalangan masih merasa waswas dengan putusan itu. Rasa itu muncul karena dua orang hakim yang mengajukan dissenting opinion menggunakan argumentasi hukum yang terkait dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) dalam judicial review yang diajukan oleh Bram Manoppo. Dengan berpijak pada putusan MK, kedua hakim yang mengajukan dissenting opinion (yaitu ketua majelis hakim Kresna Menon dan hakim anggota Gusrizal) berpendirian bahwa KPK tidak berwenang menyelidiki kasus korupsi itu karena tempus delicti-nya terjadi sebelum Undang-Undang KPK disahkan (Koran Tempo, 12/4).
Pendirian hakim (kebetulan keduanya berasal dari hakim karier) yang berbeda dengan mayoritas hakim mengingatkan kita pada putusan MK dalam kasus Bram Manoppo. Sebagaimana diketahui, sekalipun menolak judicial review Bram Manoppo, MK menegaskan bahwa Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi berlaku ke depan (prospective), yaitu sejak UU KPK diundangkan pada 27 Desember 2002.
Dengan argumentasi itu, pertimbangan hukum MK menegaskan bahwa UU KPK hanya dapat diberlakukan terhadap peristiwa pidana yang tempus delicti-nya terjadi setelah undang-undang dimaksud diundangkan. Secara argumentum a contrario, UU KPK tidak berlaku terhadap peristiwa pidana yang tempus delicti-nya terjadi sebelum undang-undang a quo diundangkan.
Sebetulnya, persoalan putusan MK dalam kasus ini sudah diputuskan sendiri oleh majelis hakim Pengadilan Ad Hoc TPK ketika kuasa hukum Puteh mengajukan eksepsi. Ketika itu, majelis hakim menolak eksepsi yang diajukan oleh kuasa hukum Puteh. Terkait dengan hal ini, menarik membaca gugatan terhadap alasan yang dipakai kedua hakim yang melakukan dissenting opinion tersebut.
Misalnya, Hukumonline.com (12/4) mempertanyakan: kalau pada putusan sela soal penerapan asas retroaktif tidak dipersoalkan, mengapa pada saat putusan pokok perkara dipersoalkan? Artinya, perbedaan pendapat itu mementahkan kembali putusan yang sudah pernah diambil dalam proses persidangan.
Kalaupun dua hakim yang mengajukan dissenting opinion mendasarkan pada putusan MK, yang perlu digarisbawahi, dalam putusan MK sendiri dinyatakan bahwa penerapan UU KPK semata-mata kewenangan hakim Pengadilan Ad Hoc TPK dalam peristiwa konkret. Bila hakim dalam kasus Puteh menyatakan KPK berwenang mengusut kasus korupsi yang terjadi sebelum UU KPK diundangkan, hal itu tidak bertentangan dengan putusan MK. Tidak perlu ada keraguan bahwa putusan Pengadilan Ad Hoc TPK berseberangan dengan putusan MK.
Hal ini harus menjadi catatan penting bagi hakim di tingkat banding dan kasasi untuk menguatkan putusan pengadilan korupsi. Yang terpenting, Pengadilan Ad Hoc TPK jangan sampai melestarikan paradoks pemberantasan korupsi: pengadilan justru menjadi tempat berlindung para koruptor.(Saldi Isra, Analis dan Pengajar Hukum Tata Negara Universitas Andalas, Padang)
Tulisan ini diambil dari Koran Tempo, 14 April 2005