Sidang Kasus Korupsi di PT Jamsostek; Hakim Minta Saksi Dijadikan Terdakwa
Majelis hakim Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan menetapkan Analis Unit Manajemen Risiko PT Jamsostek Walter Sigalinggin memberikan keterangan palsu. Sebab, dia ikut menandatangani hasil analis medium term notes (MTN) PT Surya Indo Pradana (PT SIP) senilai Rp 80 miliar. Padahal, sebelumnya dia membantah.
Hal itu terungkap saat Walter bersaksi dalam sidang lanjutan kasus korupsi MTN senilai Rp 311,085 miliar PT Jamsostek di PN Jakarta Selatan kemarin. Terdakwanya mantan Dirut PT Jamsostek Ahmad Djunaidi.
Dalam keterangan awal persidangan, Walter mengaku bahwa dirinya hanya memeriksa tiga MTN. Yaitu, MTN milik PT Sapta Prana Jaya (SPJ), PT Volgren, dan PT Dhana Tunggal Binasatya. Dia mengaku tidak menganalisis MTN PT SIP.
Dalam kelanjutan persidangan, ketua tim JPU (Jaksa Penuntut Umum) Heru Chairuddin mempertanyakan tanda tangan saksi dalam lembar analisis MTN PT SIP.
Apa kata Walter? Dia mengaku hanya menandatangani, tapi tak ikut memeriksa MTN PT SIP. Itu memang tanda tangan saya, ujarnya.
Pria berkacamata tersebut mengaku terpaksa menandatangani lembaran analisis atas permintaan Direktur Investasi Andy Rachman Alamsyah. Saya disuruh tanda tangan, ujarnya sambil memelas.
Menurut Ketua Majelis Hakim Herman Allositandi, meski tak ikut memeriksa, saksi bertanggung jawab karena menandatangani hasil pemeriksaan. Secara materiil, dia tak salah. Tapi, secara formal, dia bersalah karena ikut meneken hasil analisis MTN, katanya.
Selain keterangan palsu, saksi dinyatakan bertindak ceroboh terhadap jaminan investasi MTN dari PT SPJ yang diperuntukkan Jamsostek. Sebab, saksi tidak meninjau langsung ke lapangan untuk mengecek jaminan berupa tanah. Tapi, dia hanya memeriksa permohonan dari PT Rifan (perusahaan pengelolaan investasi yang menawarkan MTN ke Jamsostek).
Ternyata harga tanah jaminan itu lebih rendah dibandingkan dengan investasi MTN. Berdasar NJOP, harga tanah tersebut hanya Rp 15 miliar. Tapi, investasi MTN-nya hingga Rp 100 miliar, ujarnya.
Menurut Herman, saksi melakukan kesalahan. Sebagai analis, dia seharusnya mengecek ke lapangan. Apalagi untuk investasi miliaran rupiah, katanya.
Ketua majelis hakim sempat meminta JPU menetapkan saksi sebagai terdakwa. Tapi, majelis hakim mengurungkan karena memilih memeriksa saksi lain sebelum menetapkan jadi terdakwa. Kami ingin perdalam saksi lain. Tapi, indikasi itu sudah ada, katanya setelah persidangan.
Mantan Dirut Jamsostek Ahmad Djunaidi didakwa bersalah karena melakukan perbuatan melawan hukum dengan memperkaya diri sendiri atau korporasi. Yakni, PT Dhanatunggal Binasatya Rp 97.835.802.959, PT Sapta Prana Jaya (SPJ) Rp 100 miliar, PT Surya Indo Pradana (SIP) Rp 80 miliar, dan PT Volgren Rp 33.250.000.000.
Terdakwa melanggar pasal 28 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1992 tentang Jamsostek, PP Nomor 28 Tahun 1996 tentang Pengelolaan dan Investasi Dana Program Jamsostek, dan RUPS pengesahan RKAP 2001. Terdakwa juga diancam pasal 3 jo pasal 18 Undang-Undang No 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Undang-Undang No 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo pasal 55 ayat 1 jo pasal 65 ayat 1 KUHP.
Sementara itu, Ahmad Djunaidi mengaku tidak bersalah karena tidak menghadiri presentasi. Pasalnya, kewenangan menghadiri presentasi mengenai investasi merupakan tugas analis UMR. Saya kan Dirut. Saya tidak menangani semua masalah, pungkasnya. (yog)
Sumber: Jawa Pos, 23 Desember 2005