Sidang kasus sarkes; Tim justifikasi terima Rp 56 juta [14/06/04]
Tim justifikasi yang bertugas memeriksa gudang Firma Antares di Jakarta menerima uang jalan dari perusahaan ini sebesar Rp 56 juta. Antares memberi uang itu melalui BT, kemudian membagi-bagikannya kepada tim justifikasi dengan jumlah yang berbeda-beda.
Demikian keterangan saksi Nursyamsi Sakka dalam sidang lanjutan dugaan penyelewengan Proyek Pengadaan Sarana Kesehatan (Sarkes) di Dinas Kesehatan NTT tahun 2002 di Pengadilan Negeri (PN) Kupang, Sabtu (12/6). Sidang yang dipimpin hakim Henry Silaen, S.H, beranggotakan Mion Ginting, S.H, dan Bernadette Samosir, S.H, ini menyeret terdakwa BT.
Dari uang Rp 56 juta ini, Sakka mengaku mendapat jatah Rp 500 ribu. Berapa nilai nominal yang diterima anggota tim justifikasi lainnya, Sakka mengaku tidak tahu. Yang jelas uang itu dimanfaatkan sebagai biaya perjalanan ke Jakarta untuk melihat gudang Firma Antares, ujarnya.
Apakah tim justifikasi betul-betul memeriksa barang di gudang Firma Antares? tanya hakim. Saya tidak tahu. Sebab, tim justifikasi bertanggung jawab kepada Kepala Dinas Kesehatan NTT, dr. Stef Bria Seran, jawab Sakka.
Sakka menyebut yang termasuk dalam tim justifikasi adalah semua panitia pengadaan barang dan jasa, serta dua orang anggota DPRD NTT, Ir. Karel Yani Mboeik dan Drs. Yahidin Umar.
Siapa yang memberi uang itu kepada Sakka, tanya hakim lagi.
Yang memberikan uang itu pimbagpro. Saya mendapat Rp 500 ribu. Setahu saya uang itu diberikan setelah penandatanganan kontrak antara Firma Antares dengan pimbagpro, ujar Sakka.
Menurut Sakka, panitia pernah membuat telaahan kepada Kadis Kesehatan NTT, dr. Stef Bria Seran, agar proyek ini dikerjakan
dengan sistem penunjukan langsung (PL). Alasannya, diakui Sakka, karena panitia terkejar waktu yang sudah habis atau deadlock. Pertimbangan panitia, katanya, apabila tidak dikerjakan, maka Dinas Kesehatan NTT tidak akan mendapat proyek ini.
Menyikapi telaahan itu, lanjut Sakka, Kadis Kesehatan NTT, dr. Stef Bria Seran meneruskannya kepada Gubernur NTT, Piet A Tallo. Dan, Gubernur NTT mengeluarkan PL tanggal 16 November 2002. Selanjutnya, jelas Sakka, tanggal 18 November 20002 terbentuk tim justifikasi yang melibatkan anggota DPRD NTT.
Ditanya batas akhir penyelesaian proyek tersebut, Sakka mengatakan, sesuai kontrak pertama tanggal 20 Desember 2002. Tetapi pada tanggal itu ada perubahan kontrak sampai tanggal 16 April 2003 sehingga proyek tersebut dilanjutkan.
Sakka mengaku kalau perubahan kontrak itu dilakukan oleh Maxi Taopan, ketua panitia pengadaan barang dan jasa proyek tersebut. Saya juga hadir saat perubahan kontrak di rumah Maxi Taopan tanggal 19 Desember 2004. Perubahan itu atas saran Mujiran dari kantor perbendaharaan kas negara (KPKN) agar dana bisa dicairkan, ujar Sakka.
Diakuinya, saat mereka bertemu dengan Stef Bria Seran, mereka diberitahu kalau Firma Antares adalah titipan dari atas yang perlu diamankan. Apa maksud dari titipan dari atas saudara saksi yang dikatakan Kadis Kesehatan NTT, dr. Stef Bria Seran, tanya hakim Henry Silaen, S.H. Sakka hanya menunduk dan diam.
Sakka sempat diancam majelis hakim agar memberikan keterangan yang jujur. Sakka dinilai mengetahui proyek tersebut dan memiliki peran meloloskan Firma Antares. Buktinya, saat Firma Antares ada di Kupang Sakka yang menjemput rekanan itu di Bandara El Tari-Kupang. Majelis hakim menduga peran Sakka dalam proyek ini cukup banyak, bahkan sebagai calo dari Firma Antares.
Apa maksud saudara dalam mengurus semua ini sehingga pergi jemput Antares di Bandara. Dan, pantas saudara jadi tersangka dalam kasus ini. Saudara boleh mungkir tetapi kita akan bertemu kembali dalam sidang ini. Makanya saudara kita minta jujur, tanya Silaen. Sakka pun hanya diam.
Jaksa Penuntut Umum (JPU), Susilo Hadi, S.H, Satriyo Wahyu, S.H dan Margareta Evi Rahyu, S.H, meminta ketegasan saksi tentang siapa yang diberi tanggung jawab dalam proyek ini. Saksi menjelaskan, dirinya bertanggung jawab kepada Kadis Kesehatan NTT.
Penasehat hukum terdakwa BT, Duin Palungkung, S.H, Anthon CH Mone, S.H dan Frangky Ndaumanu, S.H, hanya menyoroti pelaksanaan proyek tersebut. Penasehat hukum menanyakan apakah saat ini pelaksanaan proyek itu sudah selesai atau belum. (ris)
----------------
Hakim: Lusiana biangnya
KETIKA memeriksa ketua tim pemeriksa barang dari Dinas Kesehatan NTT, Lusiana Hermanus, S.H, hakim Henry Silaen, S.H, menilai awal mula petaka dan biang kasus KKN dalam proyek sarkes di Dinas Kesehatan NTT adalah Lusiana. Sebab, Lusiana menandatangani berita acara pemeriksaan barang dengan disposisi dinyatakan lengkap, padahal proyek tersebut menyimpan masalah.
Menurut Silaen, hasil pemeriksaan tanggal 19 Desember 2002 di gudang penitipan barang Penfui-Kupang, semua barang belum lengkap atau masih 50 persen.
Silaen menanyakan kepada Lusiana bunyi pasal 4 kontrak pertama bahwa pemeriksaan itu seharusnya dilakukan saat barang tersebut ada di 56 puskesmas di NTT. Nyatanya barang masih di Kupang sudah diperiksa dan dinyatakan lengkap.
Lusiana menjelaskan, dirinya mendapat tekanan dari BT sebagai Pimbagpro agar menandatangani berita acara serahterima barang. BT mengacu pada surat edaran dari KPKN sehingga saya berani menandatangani berita acara tersebut, tutur Lusiana.
Majelis hakim mengatakan, saksi yang memberi keterangan adalah mereka yang berperan dalam kasus tersebut sehingga mereka perlu diperiksa sebagai tersangka. (ris)