Sidang Perdana Kasus Korupsi Sisminbakum; Dirjen AHU Depkum HAM Didakwa Terima Rp 8,48 M

Dirjen (nonaktif) Administrasi Hukum Umum (AHU) Depkum HAM Syamsudin Manan Sinaga mulai mempertanggungjawabkan perbuatannya dalam kasus korupsi biaya akses Sistem Administrasi Badan Hukum (Sisminbakum). Dalam sidang perdana di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan kemarin (29/4), Syamsudin dijerat lima pasal berlapis oleh jaksa penuntut umum (JPU).

Kelima pasal itu adalah pasal 12 huruf e jo pasal 18, pasal 12 huruf d jo pasal 18, pasal 11 jo pasal 18, pasal 2 ayat (1) jo pasal 18, dan pasal 3 jo pasal 18 UU 31/1999 sebagaimana diubah menjadi UU 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Ancaman maksimal pasal berlapis itu adalah hukuman seumur hidup.

''Perbuatan terdakwa telah menyalahgunakan wewenang dan jabatan untuk memperkaya diri sendiri dan orang lain,'' kata JPU Sampe Tuah dalam sidang yang mengagendakan pembacaan dakwaan tersebut.

Menurut JPU, Syamsudin dianggap bersalah karena melaksanakan kebijakan masa Dirjen sebelumnya tanpa mengevaluasi terlebih dahulu. ''Yakni, mewajibkan kepada notaris membayar lebih banyak dengan dalih akses fee,'' katanya. Terdakwa, lanjut Sampe, juga tidak mengusulkan kepada Menkum HAM untuk menghentikan pungutan lebih itu.

Dalam dakwaan disebutkan, selain dipungut Rp 200 ribu untuk PNBP (penerimaan negara bukan pajak), setiap notaris yang mengakses layanan Sisminbakum dipungut biaya pemesanan nama perusahaan serta pendirian dan perubahan badan hukum. Nilainya Rp 1.350.000. Pungutan itu dilaksanakan atas kerja sama Koperasi Pengayoman Pegawai Departemen Kehakiman (KPPDK) dan PT Sarana Rekatama Dinamika (SRD) selaku rekanan Depkum HAM. ''(Uang pungutan itu) kemudian disetor ke Bank Danamon atas nama PT SRD,'' urai Sampe.

Maka, lanjut dia, selama menjabat sejak 5 September 2006 hingga 5 November 2008, Syamsudin telah menguntungkan PT SRD sebesar Rp 197,2 miliar. Jumlah itu pula yang menjadi kerugian negara. ''Perbuatan itu bertentangan dengan UU PNBP,'' jelas jaksa.

Bukan hanya itu, kegiatan tersebut juga menguntungkan Koperasi Pengayoman Rp 20 miliar. Di antara uang sebesar itu, sekitar Rp 8 miliar diterima Syamsudin. Terdakwa juga telah memperkaya diri sendiri Rp 344,5 juta dan USD 13 ribu.

Menanggapi dakwaan JPU, Syamsudin yang mengenakan kemeja lengan panjang warna putih menyerahkan kepada kuasa hukumnya untuk mengajukan eksepsi. Sementara L.L.M. Samosir, kuasa hukumnya, mempertanyakan isi dakwaan. ''Saya tidak tahu JPU ini ragu atau apa,'' katanya setelah sidang.

Alasannya, lanjut Samosir, adalah urutan lima pasal yang dikenakan kepada kliennya itu jarang digunakan. ''Secara legal, wajar-wajar saja. Tapi, mengapa pasal yang biasa didakwakan dalam kasus korupsi justru ditaruh di ekor (urutan belakang, Red),'' katanya . Dia lantas menunjuk pasal 2 ayat (1) jo pasal 18 dan pasal 3 jo pasal 18 yang ada di urutan keempat dan kelima. Dua pasal itu mengancam pelakunya dengan hukuman seumur hidup.

Samosir juga mempertanyakan tidak adanya audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) atau Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) dalam dakwaan JPU.(fal/agm)

Sumber: Jawa Pos, 30 April 2009

{mospagebreak title=Syamsuddin Mulai Diadili} 

Syamsuddin Mulai Diadili

Syamsuddin Manan Sinaga, mantan Direktur Jenderal Administrasi Hukum Umum Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia, Rabu (29/4) mulai diadili di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Ia didakwa melakukan korupsi terkait biaya akses Sistem Administrasi Badan Hukum, yang merugikan keuangan negara sebesar Rp 197,205 miliar.

Jaksa juga mendakwa Syamsuddin memperkaya diri sendiri senilai Rp 344,57 juta dan 13.000 dollar Amerika Serikat.

Syamsuddin bersama Direktur Utama PT Sarana Rekatama Dinamika Yohanes Waworuntu dan Ketua Koperasi Pengayoman Pegawai Departemen Kehakiman dan HAM Ali Amran Jannah juga didakwa memperkaya PT SRD Rp 197,205 miliar dan KPPDK Rp 20,211 miliar. Yohanes dan Ali ditetapkan sebagai tersangka, tetapi berkasnya dipisahkan.

Sidang Syamsudin dipimpin Ketua Majelis Hakim Haswandi. Terdakwa didampingi penasihat hukumnya, antara lain Sabas Sinaga dan Samosir. Samosir menyatakan siap memberikan eksepsi (keberatan) pekan depan.

Tim jaksa penuntut umum yang dipimpin Sampe Tuah bergiliran membacakan dakwaan. Sebagai Dirjen AHU, terdakwa tetap melaksanakan keputusan Dirjen sebelumnya, Zulkarnain Yunus, yang mewajibkan notaris membayar lebih dengan dalih access fee. Keputusan itu diterbitkan tahun 2003. Padahal, keputusan itu bertentangan dengan aturan yang lebih tinggi. (idr)

Sumber: Kompas, 30 April 2009

{mospagebreak title=Syamsuddin Didakwa Rugikan Negara Rp 197 Miliar} 

Syamsuddin Didakwa Rugikan Negara Rp 197 Miliar
"Tak ada keterangan dari BPKP bahwa ada kerugian negara," kata pengacara.

Syamsuddin Manan Sinaga, terdakwa kasus dugaan korupsi Sistem Administrasi Badan Hukum (Sisminbakum) di Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia, kemarin diadili di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Bekas Direktur Jenderal Administrasi Hukum Umum Departemen Hukum itu diancam hukuman maksimal 20 tahun penjara karena diduga telah merugikan keuangan negara sebesar Rp 197,2 miliar. "Semestinya uang itu diserahkan ke kas negara sebagai pendapatan negara bukan pajak," kata jaksa penuntut umum Sampe Tuah saat membacakan dakwaan.

Kasus Sisminbakum bermula pada 2001 ketika Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum menerapkan sistem pelayanan pendirian perusahaan dan badan hukum dari notaris melalui situs http://www.sisminbakum.com. Kebijakan itu, kata jaksa, didasarkan pada surat keputusan Menteri Kehakiman saat itu, Yusril Ihza Mahendra.

Dalam penyelidikan jaksa, duit biaya akses permohonan itu tidak diserahkan ke kas negara, melainkan ke rekening PT Sarana Rekatama Dinamika, selaku penyedia jasa aplikasi Sisminbakum, dan pihak Direktorat. Akibatnya, dalam kasus ini, sejak 2001 hingga 2008, kerugian negara diduga mencapai Rp 420 miliar.

Dalam dakwaan, jaksa menyatakan, dari dugaan kerugian negara sebesar Rp 420 miliar itu, sebanyak Rp 197,2 miliar dipungut Syamsuddin saat ia menjabat Direktur Jenderal Administrasi Hukum Umum Departemen Hukum dari September 2006 hingga September 2008. Hal ini, kata jaksa, melanggar Undang-Undang Pendapatan Negara Bukan Pajak dan Keputusan Presiden tentang Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.

Menurut jaksa, duit Rp 197,2 miliar itu masuk ke rekening PT Sarana di Bank Danamon cabang GKBI, Jakarta. Dari duit itu, kata jaksa, Koperasi Pengayoman (koperasi di Direktorat) menerima jatah Rp 20,2 miliar dari PT Sarana. Duit koperasi lantas dibagi-bagikan ke pejabat Direktorat sebesar Rp 8,4 miliar. Syamsuddin, kata jaksa, menerima bagian sebesar Rp 344 juta dan US$ 13 ribu.

Menurut jaksa, praktek itu mulai diberlakukan direktur jenderal sebelumnya, Zulkarnain Yunus, yang juga tersangka dalam kasus ini, sejak Januari 2003. Syamsuddin, kata jaksa, menerapkan begitu saja kebijakan Zulkarnain tanpa mengevaluasinya.

Seusai sidang, Syamsuddin memilih bungkam. Tapi L.M.M. Samosir, pengacara Syamsuddin, mempertanyakan kerugian negara dalam kasus ini. "Dalam berkas dakwaan, tak ada keterangan dari Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) yang menyatakan ada kerugian negara," ujarnya. ANTON SEPTIAN

Sumber: Koran Tempo, 30 April 2009

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan