Singapura Setuju Ekstradisi; Koordinasi dengan Polri untuk Pulangkan Koruptor
Negeri jiran Singapura bukan lagi menjadi tempat persembunyian yang aman bagi koruptor dari Indonesia. Pemerintah Singapura menyatakan akan membuka akses bagi Polri untuk memproses para tersangka korupsi yang tinggal di negaranya. Kesepakatan itu tertuang dalam poin konsep perjanjian ekstradisi yang akan disepakati kedua negara.
Menteri Luar Negeri Singapura George Yeo menyatakan, pemerintah Singapura tidak pernah memberikan kekebalan hukum terhadap individu-individu yang disebut-sebut melakukan kejahatan di Indonesia. Kami siap memberikan akses kepada aparat Indonesia untuk memperoses individu spesifik yang sering disebut di media bermasalah, ujarnya kepada wartawan kemarin.
Menurut dia, selama ini, pemerintah Singapura tidak menindak para koruptor itu karena memang tidak menerima informasi tentang pelanggaran hukum yang mereka lakukan. Kami tidak tahu apa masalah mereka. Yang kami tahu, mereka masuk ke Singapura secara legal dan punya paspor yang diterbitkan pemerintah Indonesia. Jadi, bagaimana kami bisa memproses? ungkapnya.
Yeo berjanji, jika pemerintahnya menerima informasi yang cukup dan sistem hukum di Singapura membuktikan bahwa para koruptor itu bersalah, pemerintahnya segera bertindak. Termasuk, melakukan ekstradisi jika perjanjiannya bisa disepakati, jelasnya.
Singapura selama ini dikenal sebagai tempat perlindungan bagi konglomerat asal Indonesia yang melarikan diri dari kejaran pihak berwajib.
Menurut catatan koran ini, sejumlah buron kasus korupsi, antara lain, Sudjiono Timan (terpidana 15 tahun dalam kasus korupsi dana BPUI USD 126 juta), Maria Pauline Lumowa (tersangka kasus L/C fiktif pembobolan Bank BNI Rp 1,3 triliun), Nader Taher (terpidana kasus kredit macet Bank Mandiri), serta Bambang Soetrisno (kasus BLBI Bank Surya) bersembunyi di Singapura.
Selain itu, Irawan Salim (tersangka kasus Bank Global), Agus Anwar (tersangka BLBI Bank Pelita), Atang Latief (kasus BLBI Bank Bira), Lydia Mochtar (tersangka kasus penipuan di Mabes Polri dan terlibat kasus BLBI Bank Tamara), Sjamsul Nursalim (perkaranya telah di-SP3 Kejagung atas korupsi BLBI Bank Dagang Negara Indonesia), serta Jack Tanim (salah seorang saksi dalam kasus importasi 60 ribu ton beras ilegal eks Vietnam) juga bersembunyi di Singapura.
Yeo tidak memastikan kapan perjanjian ekstradisi kedua negara tersebut bisa ditandatangani. Namun, dia menyatakan bahwa perkembangan negosiasi sangat signifikan. Kedua pihak sangat antusias menyelesaikan beberapa poin teknis. Kami tidak bisa bicara kapan selesai. Namun, sudah 10 kali kami bertemu dan banyak tercapai kemajuan. Kami juga akan membawa perundingan ke level yang lebih tinggi dalam waktu dekat, ungkapnya.
Sikap optimistis terhadap perundingan ekstradisi juga ditunjukkan Menteri Luar Negeri Nur Hassan Wirajuda. Dia menyatakan, masih ada beberapa poin yang belum bisa disepakati. Menurut dia, perundingan antara kedua negara bertetangga itu bisa diselesaikan pada tingkat menteri. Ada keperluan dari hari ke hari untuk menerima laporan perkembangan perundingan pada tingkat politis, bukan tingkat teknis, ujarnya di Jakarta, Senin (26/3).
Dalam laporan tersebut, akan dituangkan setiap perkembangan perundingan, hal yang sudah disepakati, dan kesulitan-kesulitan yang masih mengganjal. Pertemuan tingkat menteri itu akan diadakan dalam waktu dekat, katanya.
Dalam kesempatan yang sama, Yeo juga mengungkapkan sikap pemerintah Singapura setelah Indonesia menghentikan sementara ekspor pasir laut. Yeo mengaku kecewa. Kami sudah dua kali mengirimkan third party note kepada pemerintah Indonesia terkait penangkapan kapal-kapal Singapura yang mengangkut granit, tetapi sampai saat ini belum ditanggapi.
Yeo menceritakan, saat bertemu dengan Menlu Hassan Wirajuda di Nurenberg Jerman (15/3) lalu, persoalan tersebut sempat didiskusikan. Hassan menjanjikan akan memberikan perhatian. Namun ternyata respons itu tak kunjung datang, katanya.
Menurut Yeo, Singapura sebenarnya telah menawarkan kepada pemerintah Indonesia untuk memperbaiki pulau-pulau yang rusak setelah pasir lautnya diambil. Namun tawaran ini juga ditolak pihak Jakarta.
Tetapi penghentian pasir laut itu tidak sampai berdampak pada kelangsungan bisnis di sini. Karena kami bisa mendatangkan dari wilayah lain, seperti Malaysia, katanya.
Sementara itu, Direktur International Enterprise (IE) Singapura Peter Lee mengatakan para investor setempat tidak melihat dampak dari penghentian ekspor laut itu. Itu masalah yang sifatnya sektoral. Masalah besar bagi pengusaha di sini adalah masalah perburuhan, kata Peter.(nue)
Sumber: Jawa Pos, 28 Maret 2007