Singapura Wajib Kembalikan Koruptor
Perjanjian ekstradisi dengan Indonesia diteken Jumat mendatang.
Perjanjian ekstradisi antara Singapura dan Indonesia yang disepakati baru-baru ini akan berlaku surut untuk menjerat pelaku tindak pidana. Perjanjian ini berlaku kira-kira lebih dari lima tahun ke belakang, dihitung dari saat ditandatangani, ujar Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh di kantor kepresidenan, Jakarta, kemarin.
Menurut Abdul Rahman, dengan perjanjian ekstradisi ini, Singapura punya kewajiban mengembalikan pelaku kejahatan yang lari ke sana. Kita jadi lebih mudah menjerat koruptor yang lari, katanya.
Jaksa Agung akan memprioritaskan sejumlah kasus dalam rentang waktu mundur yang diatur dalam perjanjian itu. Sekarang 2007, kalau bisa kasus 1998 juga (kasus BLBI), ujarnya. Mengenai pembahasan pengembalian aset para koruptor, Abdul Rahman mengatakan akan menggunakan mekanisme konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Indonesia dan Singapura akhirnya menyepakati perjanjian ekstradisi dua hari lalu. Selain itu, disepakati perjanjian pertahanan. Perjanjian ini akan ditandatangani di Istana Tampak Siring, Bali, Jumat mendatang, disaksikan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Perdana Menteri Singapura Lee Hsien Loong.
Menteri Luar Negeri Hassan Wirajuda menyatakan perundingan berlangsung alot. Dari pagi hingga pukul 23.00 waktu setempat, ujarnya di kantor kepresidenan, Jakarta, kemarin. Dalam perundingan juga turut serta Menteri Pertahanan Juwono Sudarsono dan Panglima TNI Marsekal Djoko Suyanto.
Menurut Hassan, ada 42 jenis tindak pidana yang diatur dalam perjanjian ekstradisi itu. Namun, dia menolak menjelaskan lebih jauh poin-poin penting dalam dua perjanjian itu.
Anggota Komisi Luar Negeri Dewan Perwakilan Rakyat, Yuddy Chrisnandi, menyambut gembira dengan akan ditekennya perjanjian ini. Dia meminta pemerintah segera membicarakan hal ini dengan parlemen. Bila pemerintah memutuskan ekstradisi sepihak tanpa DPR, jelas melanggar konstitusi, ujar politikus Partai Golkar ini.
Sementara itu, anggota Komisi Luar Negeri lainnya, Djoko Susilo, meminta pemerintah tidak tergesa-gesa menandatangani perjanjian ekstradisi dengan Singapura. Pemerintah juga harus memikirkan pengembalian uang koruptor yang dibawa ke Singapura, kata politikus Partai Amanat Nasional ini.
Koordinator Bidang Hukum Indonesia Corruption Watch Emerson Yuntho meminta agar perjanjian ekstradisi tak hanya di atas kertas. Dia khawatir Singapura tak serius dalam perjanjian tersebut. Soalnya, negara ini cukup diuntungkan dengan investasi yang ditanamkan para koruptor yang lari ke sana.
Selama ini Singapura dikenal sebagai surga bagi sejumlah tersangka koruptor dan terpidana kasus korupsi asal Indonesia, di antaranya Samadikun Hartono (pemilik Bank Modern), Sudjiono Timan, Maria Pauline Lumowa, dan Atang Latief.
Menghadapi perjanjian ekstradisi itu, kuasa hukum Atang Latief, Sugeng Teguh Santoso, mengatakan kliennya tak khawatir. Pak Atang bukan koruptor, silakan cek ke kepolisian atau kejaksaan, ujarnya. Menurut dia, Atang adalah pemegang saham Bank Bira, bukan anggota direksi yang menilep uang negara. SUTARTO | RADEN R | PRAMONO | GUNANTO | ERWIN | POERNOMO GR
_____________________________________________
Singapura Bukan Surga Lagi
Singapura, biar hanya berjarak satu jam penerbangan dari Jakarta, adalah benteng kukuh bagi para koruptor Indonesia. Di Negeri Singa tangan-tangan hukum Indonesia tak pernah bisa mengusik kenyamanan hidup mereka. Hal itu terjadi karena tiada perjanjian ekstradisi antara dua negara. Tapi mulai akhir pekan ini, Singapura bukan surga lagi bagi para pelarian itu. Indonesia dan Singapura akan meneken perjanjian ekstradisi Jumat mendatang. Itu sebabnya, sebagian buron itu konon kabur sebelum perjanjian berlaku.
Para Pelarian Itu
* Samadikun Hartono (pemilik Bank Modern, mengemplang dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia Rp 2,6 triliun, divonis 4 tahun penjara)
* Bambang Sutrisno dan Andrian Kiki Ariawan (Bank Surya, BLBI Rp 1,9 triliun)
* Eko Adi Putranto, Sherny Konjongiang (Bank Harapan Santosa, BLBI US$ 50-200 juta)
* Agus Anwar (Bank Pelita-Istimarat, BLBI Rp 1,9 triliun)
* Sudjiono Timan (korupsi BPUI US$ 126 juta, divonis 15 tahun)
* Maria Pauline Lumowa (L/C fiktif pembobolan Bank BNI Rp 1,3 triliun)
* Nader Taher (terpidana kasus kredit macet Rp 36 miliar Bank Mandiri)
* Irawan Salim (Bank Global, reksa dana fiktif Rp 600 miliar)
* Atang Latief (Bank Bira, BLBI US$ 360 juta, sudah pulang dan berjanji melunasi utangnya)
Yang Buron, yang Nyaman
Sjamsul Nursalim, konglomerat pemilik Grup Gadjah Tunggal, tersangkut dana BLBI Rp 27,4 triliun di Bank Dagang Nasional Indonesia. Ia menjadi tersangka pada 2000 dan setahun berikutnya menghilang di Singapura setelah mendapat izin berobat di sana. Selama di persembunyian itu, ia hidup mewah dan nyaman sampai akhirnya dinyatakan telah melunasi utangnya pada Juli 2004.
Buron yang Berinvestasi
Meski di Indonesia masih terlilit utang BLBI Rp 1,9 triliun dan dinyatakan buron, Agus Anwar malah membeli saham Keppel Telecommunication dan Singapore Petroleum Company yang tercatat di bursa Singapura. Tidak tanggung-tanggung, pemilih Bank Istimarat dan Bank Pelita itu membelanjakan dana tidak kurang dari Rp 1,5 triliun.
Sepertiga Kekayaan dari Indonesia
Sebuah lembaga survei, Merrill Lynch-Capgemini, menyebutkan bahwa sepertiga orang superkaya di Singapura adalah warga Indonesia. Itu artinya, dari 55 ribu orang sangat kaya di Negeri Singa dengan total kekayaan sekitar US$ 260 miliar, 18 ribu merupakan orang Indonesia. Total dana orang Indonesia yang diparkir di sana mencapai sekitar US$ 87 miliar atau setara dengan Rp 783 triliun.
Sumber: Koran Tempo, 25 April 2007