Sinivasan Serahkan Diri ke Polri; Setelah Buron 2 Tahun, Kejaksaan Siap Hentikan Kasus

Berakhir sudah pelarian mantan bos Texmaco Marimutu Sinivasan. Buron kasus dugaan kredit macet Bank Muamalat yang namanya sempat dimasukkan daftar pencarian orang serta red notice Interpol itu menyerah dan secara sukarela datang ke Bareskrim Polri kemarin (8/5) sore.

Berakhir sudah pelarian mantan bos Texmaco Marimutu Sinivasan. Buron kasus dugaan kredit macet Bank Muamalat yang namanya sempat dimasukkan daftar pencarian orang serta red notice Interpol itu menyerah dan secara sukarela datang ke Bareskrim Polri kemarin (8/5) sore.

Selama dalam pencarian, salah satu konglomerat industri tekstil itu sempat pergi ke India dan Singapura. Mabes Polri tak langsung menahan dia. Namun, Sinivasan langsung diboyong ke Kejati DKI karena berkas kasusnya sudah P-21.

Direktur II Ekonomi Khusus Bareskrim Brigjen Pol Wenny Warow saat dihubungi tadi malam membenarkan adanya penyerahan diri Sinivasan tersebut. Dia datang ke Indonesia karena orang tuanya sakit. Jadi, tidak kami tangkap. Dia menyerah tadi sore (kemarin, Red) dan langsung kami bawa ke Kejati DKI, jelas jenderal berbintang satu itu.

Menurut dia, kasus Sinivasan yang telah P-21 tersebut terkait dengan penipuan terhadap Bank Muamalat Rp 20 miliar. Kasus itu ditangani polisi sejak Agustus 2005. Kasus berawal dari pengajuan kredit oleh Sinivasan sebagai direktur utama PT Multi Karsa Utama ke PT Bank Duta senilai Rp 50 miliar. Bank Duta waktu itu hanya bisa memberikan Rp 30 miliar. Lantas, sisa kredit Rp 20 miliar ditanggung PT Bank Muamalat.

Belakangan, kredit PT Multi Karsa itu macet dan Bank Duta terkena kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Bank Duta akhirnya di-take over Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN). Namun, kredit macet yang ditanggung BPPN hanya Rp 30 miliar dan dana dari Bank Muamalat ke Marimutu tidak ter-cover, sehingga Bank Muamalat merasa dirugikan.

Karena merasa dirugikan, Juli 2005 kuasa hukum Direksi Bank Muamalat melaporkan kasus itu ke Mabes Polri. Saat ditetapkan sebagai tersangka, Sinivasan telanjur terbang ke luar negeri.

Dia mengawali pelariannya dengan pergi ke Singapura pada 15 Maret 2006, sementara surat cekal Kejaksaan Agung baru turun dua hari sesudahnya, yakni pada 17 Maret 2006. Jadi, dua hari sebelum dicekal, dia melarikan diri.

Makanya, kita juga sulit mengatakan dia itu kabur. Karena saat dicekal, dia memang sudah di luar negeri, tambah Wenny yang segera memasuki masa pensiun itu.

Kasusnya Akan Dihentikan
Jaksa Agung Muda Pidana Umum (JAM Pidum) Abdul Hakim Ritonga membenarkan pelimpahan berkas dan tersangka Marimutu Sinivasan ke Kejati DKI. Ya, tadi siang dilimpahkan. Saya baru saja dapat laporannya, kata Ritonga saat dihubungi koran ini kemarin. Ditanya apakah ditahan atau tidak, Ritonga mengatakan belum mendapat informasi.

Di tempat terpisah, Asisten Pidana Umum (Aspidum) Kejati DKI Agus Rismanto mengatakan, Sinivasan tidak ditahan dengan banyak pertimbangan. Selain usianya sudah lanjut, kasusnya lebih mengindikasikan pada keperdataan. Ini kan masalah simpan pinjam saja, kata Agus saat dihubungi koran ini tadi malam (8/5). Kejaksaan, lanjut Agus, juga mendapat janji Sinivasan yang akan bersikap kooperatif selama menjalani proses hukum.

Ditanya apakah kejaksaan akan mengeluarkan penghentian penuntutan alias SKPP (surat ketetapan penghentian penuntutan), Agus enggan memastikan. Saya perlu ekspos sekali lagi dengan Kejagung, kata mantan kepala Kejari (Kajari) Jogjakarta itu.

Menurut Agus, tim jaksa melanjutkan rekomendasi tim jaksa terdahulu yang pernah menangani kasus Sinivasan. Saat itu, berkas telah dinyatakan P-21 atau lengkap. Namun, polisi tidak dapat menghadirkan tersangka karena melarikan diri sehingga prosesnya tidak berlanjut, beber Agus.

Selain itu, lanjut Agus, hasil ekspos di Kejagung menyimpulkan bahwa kasus tersebut bersifat keperdataan sehingga layak diusulkan dihentikan melalui SKPP. Semua itu ada petunjuk tertulisnya, jelasnya.

Baik Lapas Cipinang maupun Rutan Salemba, hingga tadi malam tidak menerima penitipan tahanan Sinivasan. Sudah dua minggu ini, kami belum terima satu pun titipan tahanan dari kejaksaan, kata Kepala Rutan Salemba Bambang Sumardiono saat dihubungi tadi malam. Kalapas Cipinang Haviluddin juga setali tiga uang.

Bank Muamalat Pilih Diam
Dikonfirmasi mengenai penyerahan diri Sinivasan tersebut, Direktur Utama Bank Muamalat Riawan Amin menegaskan bahwa pihaknya tidak ingin berkomentar banyak tentang hal itu. Menurut dia, urusan Sinivasan yang sempat mendapat kucuran dana dari Bank Muamalat Rp 20 miliar sudah diselesaikan sejak tahun lalu. No comment karena urusan itu sudah diselesaikan tahun lalu melalui pengacara yang bersangkutan, tegasnya.

Sementara itu, Ketua Pusat Kajian Anti (PuKAT) Korupsi Universitas Gadjah Mada (UGM) Denny Indrayana meragukan bahwa Sinivasan menyerahkan diri secara sukarela. Dia lebih condong menilai bahwa Sinivasan menyerahkan diri karena sudah merasa aman. Mungkin sudah ada yang mengamankan di Mabes Polri sehingga dia yakin kasusnya akan dimenangkan, ungkapnya.

Menurut Denny, kasus yang melibatkan salah seorang obligor BLBI tersebut harus diserahkan ke KPK karena posisinya sangat rawan dan strategis. Jika diserahkan ke lembaga peradilan seperti kejaksaan, pihaknya khawatir kasusnya akan ditutup. Itu bisa saja terjadi karena mafia peradilan masih marak di Indonesia. Jangan sampai seperti kasus cukong kayu asal Medan (Adelin Lis) terulang. Awalnya dia juga menyerahkan diri karena ada yang mengamankan, tuturnya.

Usut Kasus BLBI
Di tempat terpisah, Koordinator Indonesian Corruption Watch (ICW) Teten Masduki menyesalkan rencana penghentian penuntutan kasus Sinivasan. Kejaksaan seharusnya tetap mengusut, apalagi Sinivasan masih punya tunggakan perkara lain. Ini momentum untuk memproses kasus hukum yang terkait Texmaco, kata Teten kepada koran ini kemarin (8/5).

Menurut dia, kejaksaan seharusnya justru menahan mantan bos Texmaco tersebut. Itu dimaksudkan untuk memudahkan penyidikan kasus korupsi lain, khususnya kasus BLBI Bank Putera Multikarsa senilai Rp 1,3 triliun. Kasus BLBI tersebut kini ditangani kejaksaan dan Depkeu. Dia (Sinivasan) juga punya kasus lain yang telah di-SP3 kejaksaan, ujar Teten. Kasus tersebut adalah dugaan penyimpangan penggunaan fasilitas kredit modal kerja melalui mekanisme rediskonto wesel ekspor pre-shipment di BNI senilai Rp 9,8 triliun.

Teten maupun aktivis ICW lainnya tahu detail kasus Sinivasan karena ICW pernah mengajukan praperadilan kasus pre-shipment tersebut meski belakangan dikandaskan PN Jakarta Selatan.

Menurut Teten, kejaksaan harus berani membuka kasus pre-shipment dan BLBI Bank Putera Multi Karsa. Uang negara harus dikembalikan, ujar Teten.

Soal kasus pre-shipment, Teten menjelaskan, Sinivasan punya andil besar. Sebab, Sinivasan melalui holding-nya, Grup Texmaco, menjaminkan aset bodong untuk mendapatkan kredit triliunan rupiah dari BNI. Ironisnya, saat hendak dijual, aset tersebut tidak laku, ujar Teten.

Dari catatan koran ini, 25 Agustus 2003, aktivis ICW Iskandar Sonhadji dan Bambang Widjojanto mendaftarkan gugatan praperadilan kasus pre-shipment. Kasus pre-shipment dihentikan setelah keluarnya SP3 di era Jaksa Agung Marzuki Darusman, 2001, karena tidak ditemukan kerugian negara. Kasus pre-shipment dilaporkan ICW dan Laksamana Sukardi.

Berdasar hasil investigasi ICW, ada sejumlah bukti yang menunjukkan adanya unsur melawan hukum, penyalahgunaan wewenang, merugikan negara, serta merugikan perekonomian negara dalam penggunaan fasilitas diskonto pre-shipment (pengapalan). Fasilitas yang semula untuk kepentingan ekspor itu ternyata disalahgunakan untuk membayar utang dan membiayai kepentingan usaha Grup Texmaco.(naz/agm/wir/tof)

Sumber: Jawa Pos, 9 Mei 2008

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan