Sisi Paradoks Si Whistle Blower
Menarik mencermati sisi paradoks Khairiansyah Salman. Keberanian atau bahkan kenekatannya membongkar skandal korupsi yang melilit Komisi Pemilihan Umum menjadikan mantan auditor Badan Pemeriksa Keuangan ini sebagai pahlawan. Tapi keterlibatannya sebagai penerima aliran dana korupsi Dana Abadi Umat Departemen Agama, sebaliknya, justru menobatkannya sebagai penjahat.
Sebagai sosok pahlawan misalnya, Ketua Dewan Eksekutif Transparency International (TI) Indonesia Todung Mulya Lubis menjulukinya whistle blower (peniup peluit), yang tiupannya menyebabkan kasus-kasus korupsi berhamburan ke mana-mana. Transparency International yang berpusat di Berlin, Jerman.
Penghargaan prestisius ini tidak main-main karena melalui seleksi ketat dewan juri dari berbagai belahan dunia. Misalnya, Claudio Weber Abramo (TI Brasil), Susan Cote Freeman (TI Inggris), Eva Joli (pemenang Integrity Award 2001), John Makumbe (Zimbabwe), Sion Asidon (Maroko), dan Hugette Labelle (Kanada). Di mata TI dan sebagian masyarakat Indonesia, Khairiansyah betul-betul pahlawan.
Tapi bersama Tohari, Heriyanto, dan Mukron, pada 21 November lalu Khairiansyah yang kini bekerja di Badan Rekonstruksi dan Rehabilitasi (BRR) Aceh dan Nias ditetapkan sebagai tersangka penerima korupsi dana abadi umat (DAU) sebesar Rp 10 juta. Bahkan, seperti dituturkan Kepala Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat Salman Maryadi, surat perintah penyidikan untuknya telah dikeluarkan. Karenanya yang terjadi, sosok Khairiansyah seakan memancarkan dua sinar sekaligus, sinar putih sebagai whistle blower dan sinar hitam sebagai penerima aliran DAU.
Apa yang terjadi kemudian? Opini publik terbelah dua, antara Khairiansyah Salman yang pahlawan dan Khairiansyah Salman yang penjahat. Pro-kontra pun berembus di mana-mana. Masing-masing melihat sesuai sudut kepentingannya. Melihat gelagat tidak sehat itu, Khairiansyah malah menunjukkan sikap dewasa. Ia legowo menyerahkan kembali penghargaan Integrity Award yang menobatkannya sebagai ”orang suci” itu kepada TI. Itu dilakukan, menurut dia, untuk memudahkan penyelesaian kasusnya. Ini menjadi sejarah baru bagi TI. Karena sejak tahun 2000 kiprah TI memberi Integrity Award, baru Khairiansyah yang mengembalikannya.
Menurut penulis, apa yang sedang bergolak pada sosok