Sistem Gaji PNS Salah; Ada Bupati Mendapatkan Uang Saku 20.000 Dollar AS
Sistem penggajian pegawai negeri sipil yang selama ini diterapkan salah. Berdasarkan hasil penelitian dan pengkajian Komisi Pemberantasan Korupsi, gaji pokok pegawai negeri sipil ternyata hanya 20-30 persen saja dari take home pay yang mereka bawa pulang.
Mayoritas uang yang diterima para pegawai negeri sipil berada pada wilayah abu-abu, kata Direktur Gratifikasi KPK Lambok Hamonangan Hutauruk saat berbicara dalam seminar Pengaduan Masyarakat dan Sosialisasi Antikorupsi di Jakarta, Senin (12/12). Seminar dibuka oleh Wakil Ketua KPK Erry Rijana Hardjapamekas, dengan pembicara beberapa deputi maupun direktur KPK.
Lambok menjelaskan, KPK mengelompokkan penghasilan para pegawai negeri sipil. Ada tiga kelompok, yaitu wilayah putih, gaji PNS hanya tercantum gaji pokok dan tunjangan-tunjangan yang mereka terima, seperti tunjangan beras, pensiunan, tunjangan keluarga, dan tunjangan jabatan.
Kemudian, wilayah hitam adalah segala sesuatu yang berupa penerimaan sesuatu. Sementara wilayah abu-abu sangat banyak, di antaranya honor rapat, uang perjalanan, dan honor proyek. Penerimaan yang masuk wilayah abu-abu inilah yang paling banyak terjadi.
Hal-hal yang juga banyak terjadi adalah berbagai ucapan terima kasih karena sudah dibantu oleh pegawai negeri tersebut.
Selain itu, Lambok juga menjelaskan berbagai modus yang membungkus gratifikasi. Berdasarkan hasil penelitian KPK, gratifikasi itu bisa dibungkus dengan agama, yaitu pemberian saat Lebaran, Natal, atau hari-hari keagamaan lainnya.
Uang saku
Gratifikasi juga bisa dibungkus dengan kemasan etnis, misalnya mendirikan sekolah di daerah asal pejabat atau penyelenggara negara itu.
Modus lainnya adalah gratifikasi bagi keluarga pejabat atau penyelenggara negara, seperti memberikan hadiah atau uang saku untuk wisata. Salah satu contoh, salah seorang bupati mendapatkan uang saku tur sebesar 20.000 dollar AS.
Penerimaan gratifikasi sangat erat dengan penghasilan pegawai negeri sipil yang belum cukup sehingga sangat terbuka kemungkinan PNS tersebut menerima gratifikasi, kata Lambok menjelaskan.
Erry Rijana Hardjapamekas menjelaskan, pemberantasan korupsi di Indonesia terkendala karena tidak adanya tiga Rancangan Undang-Undang (RUU) yang penting, yaitu RUU Perlindungan Saksi dan Korban, RUU Kebebasan Mengakses Informasi, dan RUU Pembuktian Terbalik.
KPK berharap DPR dan pemerintah segera membahas ketiga RUU yang sangat penting bagi upaya pemberantasan korupsi ini.
Deputi Bidang Pengawasan Internal dan Pengaduan Masyarakat Junino Jahja menjelaskan, KPK menyadari belum memuaskannya kinerja KPK.
Dari 9.200 laporan masyarakat yang masuk, baru 18 kasus yang sudah masuk tahap penyelidikan KPK. Pengaduan masyarakat yang masuk ke KPK banyak, tetapi sekitar 80 persen tidak bisa ditindaklanjuti, katanya. (VIN)
Sumber: Kompas, 13 Desember 2005