Sistem Pengelolaan Anggaran Pendidikan Harus Diperbaiki
Anggaran pendidikan sebesar 20 persen dari APBN tidak banyak pengaruhnya dalam peningkatan kualitas pendidikan. Sistem pengelolan anggaran dan birokrasi pendidikan harus diperbaiki.
Demikian hasil survei yang dilakukan Indonesia Corruption Watch (ICW) yang disampaikan oleh Manajer program monitoring pelayanan publik ICW, Ade Irawan, kepada detikcom di kantornya, Jl Kalibata Timur, Jakarta, Kamis (8/6/2006).
Survei itu dilakukan selama tahun 2004-2005 terhadap 500 responden di Jakarta dan Garut, Jawa Barat.
Dilihat dari tingkatan mikro atau pengelola pada tingkat sekolah, tidak banyak pengaruhnya dalam peningkatan mutu pelayanan. Jumlah tersebut juga tidak menekan pungutan yang dibebankan kepada orangtua murid, kata Ade.
Dijelaskannya, 63,35 persen sampai 87,75 persen dari total biaya pendidikan, ditanggung orangtua siswa. Sedangkan biaya pendidikan yang ditampung pemerintah dan masyarakat hanya sebesar 12,22 persen sampai 36,65 persen dari total biaya pendidikan sebesar Rp 36,7 triliun.
Ade mengatakan hal ini disebabkan masih buruknya birokrasi pendidikan. Kondisi ini menyebabkan anggaran pendidikan yang ada tidak bisa dimanfaatkan secara maksimal untuk memperbaiki pendidikan di Indonesia.
Menurut Ade, kenaikan anggaran pendidikan harus diikuti dengan upaya pembenahan sistem penganggaran. Jangan ada lagi sentralisasi kekuasaan pada birokrasi pendidikan, terutama di tingkat pusat agar tidak dikorupsi.
Kami mendukung kenaikan anggaran pendidikan. Sebab pendidikan memang butuh anggaran, tapi masalahnya bagaimana melihat birokrsinya. Adanya aliran dana dari sekolah yang masuk ke birokrasi pendidikan menunjukkan bahwa sekolah sampai saat ini menjadi sapi perahan, kata Ade.
Pemerintah dan DPR sepakat menetapkan anggaran pendidikan sebesar 20 persen dari APBN. Anggaran tersebut akan dipenuhi secara bertahap hingga tahun 2009. Untuk tahun 2006 ditargetkan sebesar 12 persen. Tetapi realisasinya hanya sebesar 8,1 persen.
Pada tahun 2005 total kebutuhan pembiayaan mencapai Rp 104,5 triliiun. Akan tetapi realisasinya hanya mencapai Rp 24,9 triliun atau ada kekurangan Rp 79,6 triliun. Karena itu tidak heran pembiayaan pendidikan lebih banyak dibebankan kepada publik, tutur Ade. (djo-
Chazizah Gusnita)
Sumber: Detikcom, Kamis, 08/06/2006 15:40 WIB