Skandal Bank Century Go International
Rakyat menyuarakan harapannya dengan tulus,maka Tuhan akan membukakan jalan. Dipetieskan di dalam negeri, skandal Bank Century “terpaksa” go international. Gugatan mantan pemilik eks Bank Century, Hesham Al-Waraq dan Rafat Ali Rizvi, terhadap pemerintah Indonesia di Pengadilan Arbitrase Internasional menjadi jalan terang.
Tidak ada keinginan sedikit pun untuk membela Hesham dan Rafat.Namun, ada sisi positif atau berkah dari gugatan Hesham-Rafat di Arbitrase Internasional. Pasalnya, gugatan itu layak menjadi faktor kekuatan tambahan bagi kita mendorong penuntasan proses hukum skandal itu di dalam negeri. Setidaknya, harapan rakyat agar skandal Bank Century dituntaskan bisa ditumbuhkan lagi.
Logikanya sederhana.Karena proses hukumnya diganjal di dalam negeri, skandal Bank Century terus mencari jalannya sendiri agar segala sesuatunya terungkap. Jalan yang ditemukan adalah go international. Agar tidak ada pihak lain di dalam negeri yang dikambinghitamkan, jalan go international itu justru dibuka dan ditempuh oleh mantan pemiliknya, Hesham dan Rafat.
Bagi rakyat kebanyakan, bailout Bank Century menjadi skandal tak terlupakan.Akan selalu muncul momentum yang mengingatkan kita semua mengenai skandal ini. Ibarat sebuah film berdaya pikat sangat kuat, kisah tentang skandal ini akan selalu ada dalam ingatan rakyat karena “dibintangi” figur-figur yang sangat terkenal karena jabatan publiknya serta karena kekuasaannya.
Bagi pasangan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wakil Presiden Boediono, apa yang dilakukan Hesham-Rafat jelas merugikan citra pemerintahan mereka di mata internasional. Dua investor di sektor finansial itu menggugat kebijakan bailout terhadap bank milik mereka, kasus yang rasarasanya sangat jarang terjadi.
Kekhawatiran
Dapat dibayangkan, di dalam negeri pemerintah akan menghadapi risiko politik yang tidak kecil.Jika Arbitrase Internasional memenangkan Hesham- Rafat, pemerintah harus membayar triliunan rupiah. Dan itu berarti, total bailout Bank Century tidak lagi Rp6,7 triliun. Jumlah itu akan membengkak. Faktor ini tentu akan menimbulkan kegaduhan baru. Dan,DPR tentu tidak akan tinggal diam menghadapi kenyataan itu.
Terlebih lagi,kemungkinannya menjadi semakin kuat bagi DPR untuk menggulirkan hak menyatakan pendapat. Saya memahami jika gugatan arbitrase itu membuat meriang pihak Istana. Sebab jika benar keputusan atau vonis Pengadilan Arbitrase Internasional memenangkan gugatan Hesham Al Waraq dan Rafat Ali Rizvi dalam kasus Bank Century di Indonesia,otomatis menjadi tambahan bukti tentang penyalahgunaan wewenang untuk memaksakan bailout Century.
Kemenangan Hesham dan Rafat itu mengonfirmasi ada pihak yang menggelapkan dana bailout itu. Kemenangan Hesham dan Rafat itu juga secara tidak langsung memaksa penegak hukum Indonesia mengkaji lagi urgensi kebijakan pemerintah dan Bank Indonesia mem-bailout Bank Century, dan membuka lagi penyelidikan tentang aliran dana bailout itu.
Kalau kedua pemilik Century itu merasa dirugikan dengan bailout,berarti dari sisi Hesham dan Rafat, bailout itu dipaksakan. Penegak hukum perlu mempelajari motif dari bailout Century yang dipak-sakan itu.Pertanyaannya, dialirkan ke mana saja dana bailout Rp6,7 triliun yang sudah dicairkan sebelumnya; sebab menurut mereka,kebutuhan Bank Century hanya Rp632 miliar.
Keputusan Pengadilan Arbitrase Internasional itu juga akan menguatkan dugaan bahwa bailout itu lebih bertujuan menunggangi masalah yang sedang dihadapi Bank Century saat itu, untuk mendapatkan alasan “menggaruk” uang negara Rp6,7 triliun.Siapa saja yang menunggangi masalah Bank Century rasanya mudah dijawab banyak kalangan. Akan tetapi, ke mana saja dana hasil tunggangan dialirkan? Mudah-mudahan kita bisa mendapatkan jawabannya.
Pemerintah rupanya tidak menyangka Hesham dan Rafat akan memasukan gugatan itu, sehingga tidak mengherankan jika respons pemerintah terhadap gugatan Hesham-Rafat pun sangat lamban. Seperti diketahui, keduanya memasukkan gugatan pada 15 Mei 2011. Arbitrase internasional minta wakil atau kuasa hukum pemerintah Indonesia hadir pada 17 Agustus 2011. Namun, wakil pemerintah RI tidak hadir.
Belakangan baru diketahui bahwa presiden, baru menunjuk Jaksa Agung pada 5 September 2011 untuk menghadapi gugatan itu. Berbagai kalangan di Jakarta sudah mendapat informasi bahwa putusan Pengadilan Arbitrase akan dikeluarkan pada Oktober mendatang, dengan atau tanpa kehadiran kuasa hukum pemerintah.
Selain faktor gugatan Hesham-Rafat, masih ada faktor lain yang akan mengemuka di ruang publik guna mengingatkan kita semua bahwa megaskandal ini belum mendapatkan penanganan sebagaimana mestinya. Masih ada faktor hasil audit forensik BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) dan faktor Misbakhun yang bisa tampil dengan tambahan bukti.Semua pihak tentu berharap penegak hukum termotivasi melaksanakan kewajiban mereka sebagaimana seharusnya.
Peringatan
Apa yang dilakukan Hesham dan Rafat merupakan pesan buruk tentang Indonesia kepada masyarakat internasional. Artinya, dengan mengambangkan proses hukum skandal ini, Indonesia merugi karena menguatnya kesan ketidakpastian hukum. Dengan mengambangkan proses hukum skandal Bank Century,pertanyaannya adalah sampai kapan pemerintah dan penegak hukum akan mampu bertahan.
Pasalnya, tekanannya datang dari dua medan sekaligus yakni gugatan Hesham- Rafat di Arbitrase Internasional, plus tekanan DPR serta publik di dalam negeri. Artinya, esensi gugatan Hesham-Rafat sejalan atau memperkuat pernyataan Robert Tantular bahwa manajemen Bank Century tak pernah meminta Fasilitas Pinjaman Jangka Pendek,apalagi bailout, baik kepada Bank Indonesia maupun Komite Stabilitas Sektor Keuangan (KSSK). Walaupun gugatan Hesham- Rafat dan pernyataan Robert Tantular belum tentu sepenuhnya benar, tetap saja mengindikasikan proses merumuskan kebijakan bailout itu berjalan tidak wajar.●
BAMBANG SOESATYO, Komisi III DPR RI, Anggota Tim Pengawas Century
Tulisan ini disalin dari Koran Sindo, 19 September 2011