Skandal DPR-Bank Indonesia Jilid II
Secara mengejutkan, salah satu mantan anggota Komisi IX Dewan Perwakilan Rakyat RI periode 1999-2004, Agus Condro, mengaku telah menerima traveler’s cheque senilai Rp 500 juta. Menurut pengakuannya, uang itu diberikan berkaitan dengan pemilihan Deputi Gubernur Senior BI pada 2004.
Menurut dia lagi, tak hanya dia yang menerima “hadiah” itu, koleganya yang lain di PDI Perjuangan juga telah memperoleh hal yang sama. Secara blak-blakan Agus bahkan menyebut nama tujuh orang anggota DPR RI dari Fraksi PDIP, semisal Dudi Murod, Max Muin, Emir Moeis, dan lain-lain. Nama-nama ini juga yang disebut oleh Hamka Yandhu sebagai penerima dana Yayasan Pengembangan Perbankan Indonesia (YPPI) dalam kasus suap Bank Indonesia senilai Rp 100 miliar.
Pengakuan Agus Condro tak bisa dikatakan main-main. Sulit juga untuk tidak mempercayainya. Pasalnya, jika tidak benar, Agus bisa terkena pasal pencemaran nama baik, melakukan kebohongan kepada publik, dan reputasinya sebagai pejabat publik akan sangat tercoreng. Alasan lain, traveler’s cheque senilai Rp 500 juta itu menurut pengakuannya telah dicairkan, dan uang itu telah ia pakai membeli dua buah mobil.
Pada perkembangannya, bukan hanya Agus yang secara pribadi telah memberikan testimoni atas pemberian uang tersebut. Belakangan, Hakam Naja, salah satu anggota DPR RI dari Partai Amanat Nasional, juga mengakui dirinya pernah dihubungi oleh utusan Miranda Goeltom yang menawarinya uang yang sama. Adanya PAN di luar PDIP yang mengakui adanya upaya suap tersebut telah menandaskan bahwa pemberian traveler’s cheque sangat mungkin diterima oleh fraksi besar lain di Komisi IX. Sangat tidak mungkin seorang Deputi Gubernur Senior BI terpilih dengan suara mayoritas jika tidak didukung oleh fraksi dominan di Komisi IX.
Informasi awal
Apa yang telah disampaikan oleh Agus Condro dan Hakam Naja harus dijadikan sebagai informasi yang berharga bagi KPK untuk membongkar kemungkinan skandal suap Bank Indonesia jilid II. Sebagaimana kita tahu, skandal suap di DPR sangat sulit dibongkar oleh aparat penegak hukum jika tidak diungkap sendiri oleh orang dalam atau anggota DPR sendiri. Karena itu, KPK kerap menggunakan pelaporan gratifikasi dari anggota DPR untuk membongkar skandal suap di lembaga terhormat tersebut, sebagaimana dalam kasus suap pengalihan fungsi hutan lindung.
Jika pun kemudian Agus Condro dalam faktanya turut menerima dana itu, posisinya tidak bisa lagi disejajarkan dengan anggota DPR lainnya yang tidak mau mengakui telah menerima dana tersebut. Dalam bahasa lain, posisi Agus adalah pelaku minor, yakni pelaku tindak pidana korupsi yang telah membantu aparat penegak hukum dalam membongkar skandal suap secara lebih menyeluruh. Karena itu, kelak, jika pun Agus harus menghadapi proses hukum, aparat penegak hukum dapat memberikan tuntutan hukuman yang ringan, dan hakim bisa memberikan vonis yang lebih ringan dibandingkan dengan pelaku lain yang tidak mau mengaku telah menerima suap dalam kaitannya dengan pemilihan Deputi Gubernur Senior BI.
Komisi Pemberantasan Korupsi dapat memulai menyelidiki kasus ini dengan mengungkap sumber dana yang dipakai untuk melakukan penyuapan dalam pemilihan Deputi Gubernur Senior BI. Dalam pengakuan Agus, traveler’s cheque yang diterimanya berasal dari salah satu perbankan swasta besar di Indonesia. Jika asumsinya seluruh anggota DPR yang menerima kertas berharga ini telah mencairkannya, KPK bisa bekerja sama dengan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan untuk mengungkap dokumen-dokumen yang terkait dengan proses pencairan itu. Identitas pihak yang mencairkan dana tersebut pastilah disimpan oleh pihak bank.
Dalam catatan Indonesia Corruption Watch (ICW), dana yang diduga digunakan Miranda Goeltom untuk menyuap Komisi IX tidak bersumber dari dana Bank Indonesia di YPPI senilai Rp 100 miliar yang kini tengah menjadi kasus korupsi di KPK dan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. Karena itu, KPK bisa meminta BPK melakukan audit investigatif terhadap dana BI lainnya sebagai upaya proyustisia untuk membuktikan benar-tidaknya hal tersebut. KPK juga perlu mengembangkan kemungkinan adanya pihak ketiga yang telah mensponsori pemilihan Deputi Gubernur Senior BI. Artinya, dana yang digunakan untuk praktek suap di DPR yang terkait langsung dengan pemilihan Deputi Gubernur Senior BI sangat mungkin bersumber dari pihak di luar BI yang memiliki kepentingan langsung dengan kebijakan Deputi Gubernur Senior BI.
Siapa-siapa saja mereka, tentu ini dapat dilacak dari penerbit traveler’s cheque tersebut, siapa yang membelitraveler’s cheque, dan para utusan Miranda Goeltom yang telah menemui anggota Komisi IX.
Dugaan operasi ilegal yang dituduhkan kepada Miranda Goeltom untuk memenangi pemilihan Deputi Gubernur Senior BI memang kecil kemungkinan dilakukan sendiri. Tentunya ada pihak-pihak lain yang disebut oleh Hamka Naja sebagai utusan Miranda yang menjadi penghubung langsung antara kepentingan Miranda dan anggota Komisi IX DPR. Mereka inilah yang harus diungkap oleh KPK karena sumber-sumber inilah yang akan lebih banyak membeberkan kasus suap ini secara lebih gamblang.
Bagaimanapun, political buying dalam pemilihan pejabat publik di DPR menjadi lebih berbahaya jika dalam prakteknya ada pihak ketiga yang menjadi cukong atau sponsor. Pasalnya, pejabat yang terpilih oleh DPR tidak lagi dapat bertindak independen dalam mengambil kebijakan publik yang penting, melainkan akan mengabdi pada kepentingan para cukong yang telah memodali pemilihan itu.
Transaksi jasa ilegal ini tak hanya berdampak negatif terhadap BI sebagai bank sentral yang independen, tapi juga berdampak pada citra BI yang menjadi ujung tombak integritas moneter dan fiskal Indonesia di mata internasional. Jika dunia internasional tidak lagi mempercayai rezim bank sentral di Indonesia, yang seharusnya independen, niscaya kita akan kehilangan momentum untuk mendorong masuknya investasi internasional dan pertumbuhan ekonomi yang lebih menjanjikan.
Adnan Topan Husodo, Koordinator Divisi Korupsi Politik Indonesia Corruption Watch
Tulisan ini disalin dari Koran Tempo, 5 September 2008