Soeharto Digugat, Siapa Menyusul?
Semangat Kejaksaan Agung untuk menuntut Soeharto secara perdata di pengadilan betul-betul menjadi kenyataan, walaupun upaya itu sempat melalui jalan panjang yang berliku. Diawali kali pertama Jaksa Agung Soejono C. Atmonegoro membentuk tim pengusut harta kekayaan Soeharto pada 1998-1999.
Kemudian, pada saat yang sama, Andi Ghalib untuk yang pertama memeriksa Soeharto dalam kasus penyelewengan dana yayasan dan proyek mobil nasional (mobnas). Ketika itu, upaya memburu harta Soeharto dilakukan sampai ke Swiss, meski tanpa hasil.
Tindakan mengejutkan terjadi ketika pejabat sementara Jaksa Agung Ismujoko mengeluarkan surat perintah penghentian penyidikan (SP3) pada Oktober 1999 dengan alasan tidak cukup bukti. Tapi, pada 2001 era Marzuki Darusman sebagai jaksa agung, SP3 tersebut dicabut dan penyidikan kembali dimulai dengan menetapkan Soeharto sebagai tersangka dan memberikan status tahanan rumah.
Gagasan untuk menggugat Soeharto secara perdata kali pertama dilontarkan Baharudin Lopa yang menggantikan Marzuki Darusman. Setelah itu, penyidikan terhadap Soeharto menggantung, sampai akhirnya dikeluarkan surat keputusan penghentian penuntutan perkara (SKP3) oleh jaksa agung yang dijabat Abdul Rahman Saleh pada 2004.
Lalu, dalam rangka mengembalikan kerugian keuangan negara, dibentuklah tim di bawah jaksa agung muda perdata dan tata usaha negara untuk menggugat Soeharto secara perdata.
Namun, sampai masa jabatannya berakhir, Abdul Rahman Saleh belum sempat mewujudkan rencana gugatan perdata terhadap Soeharto karena harus diganti Hendarman Supandji yang secara resmi mendaftarkan gugatan terhadap mantan presiden ke-2 RI tersebut ke pengadilan pada 10 Juli 2007. Kejaksaan Agung (Kejagung) resmi mendaftarkan gugatan perdata terhadap mantan Presiden Soeharto (Jawa Pos, 10/07/07).
Gugatan perdata itu berdasar asumsi terjadinya tindak pidana korupsi yang menimbulkan kerugian negara, meski tindak pidana korupsi tidak cukup bukti untuk diajukan atau karena sebab-sebab yang membuat gugurnya penuntutan dan pemidanaan sebagaimana ketentuan pasal 32 UU Antikorupsi. Peluang pasal 32 itulah yang mendasari jaksa agung selaku pengacara negara mengajukan gugatan perdata terhadap Soeharto.
Peluang menggugat perdata sesungguhnya tidak terbatas hanya karena alasan tidak ditemukannya unsur cukup bukti, tapi secara nyata ada kerugian negara, sebagaimana yang dimaksud pasal 32.
Gugatan perdata juga dimungkinkan dilakukan dengan alasan, saat penyidikan atau pemeriksaan persidangan, pelaku tindak pidana korupsi meninggal, sedangkan secara nyata telah ada kerugian keuangan negara. Maka, jaksa selaku pengacara negara atau instansi lain yang dirugikan bisa mengajukan gugatan perdata.
Bahkan, apabila putusan pengadilan telah mempunyai kekuatan hukum tetap dalam perkara tindak pidana korupsi, ternyata terpidana atau ahli warisnya memiliki harta yang disembunyikan yang diduga atau patut diduga berasal dari tindak pidana korupsi, itu bisa pula dijadikan dasar untuk mengajukan gugatan perdata.
Sayangnya, paparan tersebut baru pada tingkat bunyi pasal-pasal dalam UU Antikorupsi, belum teraplikasi secara nyata. Padahal, perkara-perkara korupsi yang berpotensi merugikan keuangan negara yang bisa digugat melalui jalur perdata seperti yang diamanatkan dalam UU Antikorupsi tidak hanya kasus Soeharto.
Masih banyak koruptor kelas kakap yang seharusnya bisa dituntut dan diseret ke pengadilan baik, secara pidana maupun perdata. Apalagi, secara normatif, UU Antikorupsi telah mengetengahkan konsep upaya pemulihan kerugian negara. Dengan konsep tersebut, diharapkan kerugian negara bisa dikembalikan, selain pelaku tindak pidana korupsi dikenai sanksi pidana.
Karena itu, UU Antikorupsi mengatur tiga hal dalam kaitan dengan pemulihan kerugian negara. Yaitu, pertama, gugatan perdata untuk mengembalikan kerugian keuangan negara yang nyata seperti yang diatur dalam pasal 32, 33, dan 34 UU Antikorupsi.
Kedua, gugatan perdata terhadap harta benda yang diduga berasal dari tindak pidana korupsi yang belum dikenakan perampasan untuk negara seperti yang diatur dalam pasal 38C UU Antikorupsi.
Ketiga, pidana tambahan berupa pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sebanyak-banyaknya sama dengan harta yang diperoleh dari tindak pidana korupsi seperti yang diatur dalam pasal 18 ayat 1 huruf b UU Antikorupsi.
Upaya mengembalikan kerugian negara akibat tindak pidana korupsi melalui gugatan perdata itu semakin kuat ketika Mahkamah Konstitusi (MK) mengeluarkan keputusan kontroversial. Yakni, sifat perbuatan melawan hukum secara materiil dalam tindak pidana korupsi seperti yang diatur dalam penjelasan pasal 2 ayat (1) UU No 31/1999 (yang telah diubah dengan UU No 20/2001) adalah batal dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Sebelum keputusan MK yang membatalkan sifat melawan hukum secara materiil dikeluarkan, aspek perdata kurang diperhatikan para penegak hukum. Karena itu, untuk menindak lanjuti orang-orang yang terbukti bertindak pidana korupsi, lebih diutamakan menggunakan aspek pidana. Sebab, dalam aspek pidana terdapat ketentuan berupa sanksi pidana yang dianggap cukup tegas, untuk menghukum para terdakwa kasus korupsi.
Namun, dalam praktiknya, sanksi pidana belum mampu mengembalikan kerugian yang diderita negara. Bahkan, sanksi pidana saja tidak cukup efektif menghukum para koruptor.
Dikeluarkannya putusan MK, ke depan, sangat berdampak positif terhadap penanganan kasus korupsi melalui jalur perdata. Sebab, putusan tersebut bisa memperjelas perbedaan perbuatan melawan hukum melalui jalur pidana.
Dalam pengertian perdata, perbuatan melawan hukum (onrechtmatigedaad) memiliki ruang lingkup lebih luas daripada pengertian perbuatan melawan hukum dalam hukum pidana (wederrechtelijkheid). Sebab, dalam wederrechtelijkheid, kepatutan dan keadilan bukanlah suatu ukuran.
Filosofi yang mendasari gugatan perdata pada dasarnya adalah adanya tujuan mengembalikan keuangan negara dan dalam rangka memenuhi rasa keadilan masyarakat.
Dengan demikian, langkah Kejaksaan Agung menggugat pelaku korupsi ke pengadilan sesungguhnya mewakili hak gugat negara yang wajib memberikan perlindungan terhadap segala bentuk kejahatan yang bisa menghambat proses menyejahterakan bangsa. Juga, memenuhi rasa keadilan masyarakat dengan cara memberantas korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN).
S. Eka Iskandar SH MH, praktisi hukum, mahasiswa S-3 ilmu hukum Universitas Airlangga
Tulisan ini disalin dari Jawa Pos, 13 Juli 2007