Solidaritas Global Menolak Pelemahan Komisi Anti Korupsi
Press Release untuk Konferensi Internasional Anti Korupsi atau Internasional Anti Corruption Conference (IACC) ke-14
Pelemahan terhadap lembaga pemberantas korupsi rupanya tidak hanya dialami oleh KPK di Indonesia. Pelemahan komisi independen anti korupsi juga terjadi di negara lain. Komisi Anti Korupsi yang independen dan memiliki kekuasaan untuk penyidikan dan penuntutan kini mengalami banyak ancaman pelemahan dan pembubaran. Di Nigeria, Nuhu Ribadu Ketua Komisi Kejahatan Ekonomi dan Finansial harus melarikan diri ke United Kingdom untuk menghindari ancaman pembunuhan. Di Di Korea Selatan, Korean Independent Comission Against Corruption (KICAC) telah dibubarkan dan diganti dengan Anti Corruption and Civil Right Commission.
Karena meningkatnya ancaman terhadap Komisi Anti Korupsi di berbagai negara, maka Konferensi Anti Korupsi Internasional mengagendakan khusus satu sesi untuk membahas ancaman itu. Dragos Kos, peneliti dari Groups of State Against Corruption (GRECO) dalam sesi "Threat to Anti Corruption Agency" merumuskan modus-modus pelemahan lembaga-lembaga anti korupsi dilakukan dengan, pertama mengubah UU untuk mengurangi kewenangan. Modus kedua dilakukan dengan melakukan restrukturisasi lembaga untuk mengurangi independensinya dan modus ketiga dengan mengurangi sumber daya atau anggaran. Dragos Kos juga menggarisbawahi ancaman utama terhadap komisi anti korupsi adalah sukses. Semakin sukses komisi anti korupsi, maka ancaman pelemahan akan semakin besar. Oleh karena itu, dasar hukum yang mengatur keberadaan komisi anti korupsi harus kuat, lebih baik kalau bisa dimasukkan dalam konstitusi sehingga tidak bisa diubah dengan mudah oleh kepentingan koruptor.
Bila lembaga anti korupsi di negara lain tidak mengalami pelemahan, itu soal waktu saja, karena cepat lambat akan menghadapi ancaman yang serupa. Koruptor di berbagai belahan dunia berpotensi menduplikasi keberhasilan melemahkan Komisi Antikorupsi saat ini. Oleh karena itu, dalam 14th IACC, ICW dan TI Indonesia menyerukan perlunya solidaritas global untuk melawan trend tersebut. Terutama karena ancaman pelemahan itu justru datang dari elit-elit politik yang terganggu dengan kampanye pemberantasan korupsi. Berbagai bentuk pelemahan, pembubaran atau pembungkaman terhadap lembaga anti korupsi atau pimpinannya akan terus dilakukan bila kepentingan politik elit terganggu. Fakta ini menunjukkan di tingkat global bahwa politik yang korup menjadi ancaman bagi pemberantasan korupsi.
Ancaman terhadap KPKDalam konteks Indonesia, ancaman tidak hanya datang dari elit politik. Ancaman yang harus dihadapi oleh KPK juga datang dari lembaga penegak hukum lainnya, terutama Kepolisian dan Kejaksaan. Kasus rekayasa penyuapan yang dikenakan terhadap Bibit dan Chandra adalah contoh nyata. Meskipun kasus Bibit dan Chandra telah diselesaikan di luar pengadilan, akan tetapi ancaman pelemahan terhadap KPK masih terus berlangsung. Apalagi KPK penuntutan KPK hanya berhenti pada Anggodo dan Ary Muladi. KPK tampaknya tidak mampu mengungkap lebih jauh siapa yang menjadi aktor utama dalam kasus Bibit dan Chandra. Padahal rekayasa itu tidak mungkin dilakukan oleh Anggodo karena rekayasa itu membutuhkan peran Polisi dan Jaksa. Tetapi sampai sekarang belum terungkap dalam penuntutan oleh KPK siapa saja polisi dan jaksa yang terlibat dalam rekayasa itu.
Posisi yang independen, tidak di bawah Presiden atau DPR, dan kewenangan yang luar biasa tidak menjamin kekebalan KPK terhadap intervensi politik dan kepentingan lainnya untuk memacetkan penegakan hukum. Dukungan dan komitmen politik dari Presiden dan elit politik lainnya terhadap KPK sangat penting untuk menjamin keberlanjutan pemberantasan korupsi di Indonesia. Dukungan politik tidak cukup hanya dengan kata-kata indah dan pidato. Dukungan politik harus diwujudkan dalam kebijakan yang nyata yang bisa dilakukan oleh Presiden yakni dengan memberantas korupsi di Kepolisian dan Kejaksaan. Presiden memang tidak bisa mencampuri penegakan hukum akan tetapi Kepolisian dan Kejaksaan adalah institusi yang berada di bawah Presiden. Presiden yang berwenang mengangkat dan memberhentikan Jaksa Agung. Presiden juga yang berwenang mengusulkan Kapolri kepada DPR untuk dipilih dan ditetapkan. Oleh sebab itu, korupsi yang membelit Polisi dan Kejaksaan adalah tanggung jawab Presiden sebagai atasan. Kasus rekening gendut polisi sesungguhnya merupakan ujian bagi keseriusan Presiden untuk mempimpin sendiri pemberantasan korupsi seperti yang pernah dijanjikannya kepada masyarakat Indonesia. Bila rekening gendut tidak tuntas, maka ancaman terhadap KPK sungguh nyata dan upaya kriminalisasi dan berbagai pelemahan lainnya bisa terulang lagi di masa mendatang.
Indonesia saat ini dipandang oleh komunitas internasional cukup berhasil melakukan pemberantasan korupsi, terutama dalam penegakan hukum. Keberhasilan KPK mendapatkan banyak perhatian dari delegasi negara-negara lain. Tetapi keberhasilan bisa dengan sekejap berubah menjadi kegagalan seperti halnya komisi anti korupsi di negara lain. Terutama bila Presiden tidak menunjukkan komitmen nyata dalam pemberantasan korupsi apalagi modus-modus pelemahan komisi anti korupsi juga terus dialami oleh KPK. Bukan hanya kriminalisasi tetapi juga soal pengurangan anggaran. Hal ini bisa dicegah oleh Presiden. Juga soal ancaman restrukturisasi lembaga, misalnya ancaman penarikan sejumlah polisi oleh Mabes Polri beberapa waktu yang lalu. Ancaman-ancaman itu bisa dicegah bila ada tindakan nyata dari Presiden. KPK memang lembaga independen, akan tetapi independensi itu membutuhkan dukungan yang cukup kuat dari Presiden, baik dengan memberantas korupsi polisi dan jaksa serta memastikan tidak ada ancaman pelemahan melalui revisi UU dan pengurangan anggaran.
Bangkok, 10 November 2010
Indonesia Corruption Watch