SP3 Kasus Korupsi Bakal Dibuka Lagi; Jakgung Tunjuk Tim 13 untuk Menyampaikan Second Opinion
Upaya Kejagung untuk membuka kasus korupsi yang pernah dihentikan, tampaknya, bukan omong kosong. Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh membentuk tim ahli (task force) untuk mengkaji seluruh kasus yang pernah mendapat surat perintah penghentian penyidikan alias SP3 pada masa jaksa agung (Jakgung) terdahulu.
Tim tersebut beranggota 13 orang dari berbagai latar belakang dan keahlian. Mereka adalah Harkristuti Harkrisnowo, Bambang Widjojanto, Iskandar Sonhadji, Sukma Violetta, Winarno Zein, Didin S. Maulana, Gde Made Sadguna, Zein Badjeber, A. Zen Umar Purba, Dadang Tri Sasongko, Linda Y Sulistiawati, Aryanti Hud, dan Ajeng Suwarta.
Ke-13 pakar itu bertugas mengkaji serta memberikan second opinion terhadap pertimbangan hukum yang menjadi dasar pemberian SP3. Sebagian kasus korupsi yang dibuka lagi, antara lain, dugaan korupsi technical assistance contract (TAC) Pertamina-PT Ustraindo Petro Gas (UPG) yang melibatkan mantan Mentamben Ginandjar Kartasasmita; dugaan korupsi jalan tol proyek Jakarta Outer Ringroad (JORR) yang melibatkan putri sulung mantan Presiden Soeharto, Siti Hardiyanti Rukmana alias Mbak Tutut; dugaan korupsi proyek Hutan Tanaman Industri (HTI) yang melibatkan konglomerat Prajogo Pangestu; serta berbagai kasus BLBI, termasuk yang melibatkan Sjamsul Nursalim.
Para pakar tersebut kemarin menggelar rapat di Gedung Kejagung untuk yang pertama. Dalam rapat yang dipimpin JAM Pidsus Hendarman Supandji dan dimoderatori Harkristuti Harkrisnowo tersebut disepakati bahwa kasus korupsi yang bakal dibuka adalah dugaan korupsi TAC. Para anggota tim kelak dimintai second opinion terkait kasus-kasus korupsi yang pernah dihentikan. Untuk yang pertama adalah kasus TAC, jelas Abdul Rahman Saleh setelah menerima kunjungan Kapolri Jenderal Pol Sutanto di ruang kerjanya di Gedung Kejagung, Jakarta, kemarin.
Hadir dalam acara tersebut Wakil Jaksa Agung Basrief Arief dan JAM Pidsus Hendarman Supandji. Hal senada dikemukakan Kapuspenkum R.J. Soehandoyo. Sayangnya, dia menolak menjelaskan hasil rapat pertama, khususnya kemungkinan telah diperolehnya second opinion dalam kasus TAC. Ya nggak bisa diumumkan sekarang. Second opinion itu harus masuk dulu ke jaksa agung, jelasnya.
Soal target penyelesaian pengkajiannya, Soehandoyo dan Abdul Rahman Saleh menegaskan bahwa tim akan bekerja secepatnya. Tidak ada target. Selesai seminggu boleh, dua minggu juga tidak apa-apa. Pokoknya, lebih cepat lebih baik, ujar jaksa agung.
Sebagaimana diberitakan, Kejagung menargetkan akan menuntaskan berbagai tunggakan perkara korupsi dalam tempo empat bulan. Totalnya 30 kasus. Sebanyak 6-7 kasus di antaranya adalah dugaan korupsi BLBI. Semua kasus tersebut masuk ke Kejagung mulai periode 1998 hingga 2003.
Sebelum dilakukan pengkajian, JAM Pidsus memerintahkan agar para jaksa menginventarisasi. Sisa perkara yang terjadi periode 1998 (yang sudah ditemukan perbuatan melawan hukum) diinventarisasi Agustus-September 2005. Sedangkan kasus BLBI periode 1999 dievaluasi mulai Oktober hingga November 2005.
Farid Faqih Dicekal
Sementara itu, Kejati NAD (Nanggroe Aceh Darussalam) telah mengajukan permohonan pencekalan alias larangan bepergian ke luar negeri terhadap Koordinator LSM Gowa Farid R. Faqih. Surat permohonan yang ditandatangani Kepala Kejati NAD Andi Amir itu dilanjutkan ke Ditjen Imigrasi melalui JAM Intelijen Muchtar Arifin.
Masa pencekalan terhitung sejak pengajuan pada Selasa (12/7) hingga setahun ke depan. Permohonan pencekalan itu sudah disetujui Jaksa Agung Muda Intelijen Mochtar Arifin dan disetujui jaksa agung, kata Kapuspenkum R.J. Soehandoyo di Gedung Kejagung, Jakarta, kemarin.
Menurut dia, pencekalan dilakukan untuk mengantisipasi kaburnya Farid ke luar negeri selama perkaranya belum berkekuatan hukum tetap. Farid menjadi tersangka kasus pengambilan barang-barang bantuan pascatsunami yang bukan miliknya secara ilegal. Pria berambut kuncir tersebut sekarang menghirup udara bebas setelah masa penahanannya dinyatakan habis.
Selain mencekal Farid, Kejati NAD mengajukan banding atas putusan Pengadilan Negeri Jantho karena menilai putusan terhadap Farid terlalu ringan. Majelis hakim PN Jantho, ibu kota Aceh Besar, pada 23 Juni 2005 menghukum Farid setahun penjara. Padahal, JPU sebelumnya menuntut Farid dengan hukuman tiga tahun penjara. (agm)
Sumber: Jawa Pos, 14 Juli 2005